Oleh: Okky Madasari
Ini tahun 2016. Masa di mana hampir semua orang sudah memiliki telepon genggam. Masa di mana orang-orang seusia saya yang biasa disebut sebagai generasi millenial atau generasi Y sudah terhubung satu sama lain melalui Facebook dan Twitter. Masa di mana perempuan bisa mengungkapkan pikiran-pikirannya dengan hanya memainkan jempol, dari isu politik hingga soal makanan anak, dari soal pekerjaan sampai soal kecantikan.
Kita hidup di zaman mutakhir, dan di masa ini pula, kita masih akan mendapati perdebatan di layar Facebook dan Twitter kita tentang mana yang lebih baik: Perempuan yang bekerja atau perempuan yang menjadi ibu rumah tangga? Perempuan yang memakai jilbab syari atau berpakaian seksi? Perempuan yang memakai rok atau memakai celana jeans? Perempuan yang menikah atau memilih lajang seumur hidup? Perempuan yang begini atau begitu dan sederat perdebatan lain tentang perempuan. Tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan.
Segala dalih dan dalil dikemukakan. Mulai dari ayat kitab suci, pepatah nenek moyang, kutipan dari buku-buku, hingga omongan pejabat dan ustadz-ustadz. Konten-konten yang menjadikan perempuan sebagai obyek yang harus diatur untuk menjadi begini dan begitu tak berhenti diproduksi, hilir mudik setiap hari, mulai dari yang panjangnya 140 karakter di Twitter, status di Facebook, hingga tulisan panjang di blog dan media-media lainnya.
Dari zaman Adam dan Hawa hingga zaman media sosial bangunan imaji atas sosok perempuan selalu menjadi medan pertempuran. Berbagai narasi dibuat untuk mengatur perempuan. Mulai dari kisah di kitab suci, dongeng yang dikisahkan turun-temurun, buku agama hingga karya sastra, dan kini konten-konten yang diproduksi di internet.
Kekuasaan agama melahirkan teks-teks kitab suci yang menjadi pedoman bagaimana harusnya menjadi perempuan. Bahkan dalam kisah yang pertama kali hadir di dunia tentang turunnya Adam dan Hawa, perempuan dihadirkan sebagai sosok penggoda yang mengakibatkan Adam melakukan hal yang dilarang Tuhan.
Beratus tahun kemudian, ada seorang laki-laki tampan bernama Yusuf yang digandrungi begitu banyak perempuan. Semuanya berebut ingin menarik perhatiannya, tak terkecuali ibu angkatnya. Ia pun dituduh memperkosa ibu angkatnya, padahal ibu angkatnya itulah yang terus merayu dan mengajaknya bercengkerama.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah itu, narasi tuduhan pemerkosaan Yusuf menjadi model cerita yang terus dikembangkan setiap ada laporan pemerkosaan hingga hari ini. “Suka sama suka” atau “Perempuannya yang merayu terus” menjadi suara umum dalam masyarakat kita tiap ada laporan pemerkosaan.
Di Indonesia hari ini, kita bisa melihat begitu banyak buku-buku yang menjadikan dirinya sebagai representasi kekuasaan agama. Karya-karya berlabel Islami dan Religi mendominasi toko-toko buku. Karya-karya seperti ini menggambarkan perempuan sebagai sosok yang menutup aurat, penurut, berbakti pada suami, dan mau dipoligami. Melalui kisah di novel, perempuan diberi pengetahuan cara berbusana sesuai aturan agama, cara memperlakukan suami, hukum perkawinan, hukum bergaul dan sebagainya. Melalui novel, perempuan diberi pengetahuan – yang sesungguhnya hanya merupakan cara kekuasaan untuk mengontrol dan mengatur perempuan sesuai keinginan mereka.
Lihat saja bagaimana Ayat-Ayat Cinta, novel yang laku keras dan mendapat perhatian besar dalam masyarakat menggambarkan perempuan. Fahri seorang laki-laki yang digilai banyak perempuan. Ia menikah dengan Aisha, perempuan cantik berjilbab dan bercadar, yang kelak mendorong suaminya untuk menikah lagi dengan Maria. Sementara ada satu sosok perempuan, yang membuat pengakuan palsu bahwa ia diperkosa Fahri. Bukankah ini semua adalah narasi yang lahir dari imajinasi patriarki?
Karya ini mendorong lahirnya karya-karya lain yang sejenis. Kepentingan patriarki yang menggunakan agama untuk mengendalikan tubuh, pikiran, dan imajinasi perempuan bertemu dengan logika pasar. Karya-karya semacam ini laku keras, salah satunya karena ada yang berpikir dengan membaca novel berlabel Islami mereka melakukan hal mulia dan mendapat pahala. Terlebih jika kisah yang dihadirkan mampu membuat pembaca terbuai dan larut dalam cerita, sehingga pembaca pun merasa terhibur.
Di zaman teknologi seperti ini, konten bisa diciptakan dengan mudah oleh siapapun. Mulai dari ustadz hingga yang hanya mengaku ustadz, dari penulis buku hingga penulis status media sosial. Dengan sekali klik pula setiap konten bisa disebarkan, menjadi viral di mana-mana, dibaca oleh banyak orang, mempengaruhi pikiran dan tak jarang mengintimidasi banyak orang terutama para perempuan.
Bayangkan situasi seorang perempuan bekerja yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor harus terus-menerus membaca serangkaian twit dan tulisan yang mendiskreditkan perempuan bekerja dengan mengutip berbagai dalil agama. Ironisnya hal seperti ini juga terus diamini dan disebarkan ulang oleh banyak perempuan hingga akhirnya menciptakan permusuhan di antara sesama perempuan sendiri.
Buku-buku yang lahir dari konten-konten seperti ini juga terus diterbitkan dan terjual laris sehingga mendorong banyak orang untuk menulis hal serupa. Perempuan senantiasa dijadikan pasar mulai dari produk hingga narasi dan pemikiran, dari twit hingga buku.
Dari zaman Kartini hingga hari ini, perjuangan untuk kesetaraan perempuan adalah pertarungan untuk melawan narasi-narasi utama yang dibentuk kekuasaan patriarki dalam politik, agama, dan adat istiadat. Dan bagi kita, para millenial, pertarungan itu bisa dimulai di linimasa dan buku-buku yang kita baca.