oleh: Okky Madasari
Kekuasaan di level apa pun selalu rawan disalahgunakan.
KEPALA desa atau yang di Jawa biasa dipanggil lurah bukan hanya simbol kekuasaan dan politik di level desa, tapi juga simbol kultural dalam masyarakat Indonesia. Sejak dulu jabatan kepala desa selalu dikelilingi mitos-mitos, cerita yang turun-temurun dipercaya warga desa. Dalam jabatan kepala desa melekat aroma magis yang mengalahkan jabatan presiden, gubernur, atau bupati. Ketika mitos dan magis bersanding, yang biasanya menjadi kepala desa adalah orang yang dianggap punya karisma, punya kaitan dengan sejarah panjang desa, punya garis keturunan dengan lurah sebelumnya. Kewibawaan jabatan kepala desa salah satunya terlihat dari panggilan Mbah Lurah atau Lurah Dongkol pada para mantan lurah.
Mitos dan magis juga selalu mewarnai proses pemilihan kepala desa. Dalam setiap pemilihan kepala desa (pilkades) masih dipercaya bahwa rumah calon yang akan terpilih akan didatangi pulung, cahaya dari langit yang serupa meteor atau bintang jatuh. Tak ada yang pernah bisa membuktikan seperti apa pulung itu dan apakah benar pulung akan mendatangi calon pemenang. Namun, kepercayaan pada pulung masih terawat hingga kini.
Penggunaan ilmu gaib dan keterlibatan dukun juga hal yang biasa dalam proses pilkades. Ada calon yang konon menyantet calon lain, ada calon yang datang ke dukun untuk minta ajian pengasih agar warga nurut dan nyoblos dirinya, ada calon yang menggunakan ajian sirep hingga membuat saingan-saingannya selalu ngantuk dan tertidur sejak sore. Sebagai bagian dari wong ndeso yang sejak lahir sudah hidup di desa, situasi sosiokultural pilkades seperti ini bukan hanya saya baca dari laporan penelitian, tapi betul-betul saya alami.
Pesta demokrasi yang paling nyata dirasakan masyarakat adalah saat pilkades. Ketika selama 32 tahun Orde Baru, presiden dipilih MPR dan pemilu hanya serupa basa-basi belaka, pilkades adalah kontestasi nyata kekuatan demokrasi sekaligus sisi terburuk demokrasi. Dalam pilkades, suara rakyat betul-betul berharga. Proses perhitungan yang dilaksanakan terbuka, bisa ditonton siapa saja, dan selesai saat itu juga tidak memberi ruang untuk memanipulasi angka perolehan masing-masing calon.
Dalam proses pilkades ini pula praktik politik uang bekerja tanpa basa-basi dan sudah serupa tradisi. Demokrasi hadir dengan wajah terburuknya. Awalnya serupa hukum rimba: siapa yang memberi amplop dengan isi yang paling banyak akan mendapat suara. Kalau satu keluarga ada dua calon pemilih, ya amplopnya harus dua. Namanya juga hukum rimba, setiap calon adu strategi, bahkan adu fisik tanpa ada aturan. Banyak-banyakan uang amplop hanyalah salah satu metode, tapi metode lain seperti intimidasi dan bentrokan fisik juga jadi jalan mencapai tujuan.
Seiring waktu, calon-calon lurah ini mulai berpikir, bagaimana caranya agar bisa menang pilkades tanpa harus habis-habisan uang, tanpa harus ada intimidasi dan bentrokan fisik. Di sisi lain, semuanya sadar bahwa amplop berisi uang sudah telanjur jadi tradisi. Tanpa ada amplop, warga tak akan mau berangkat ke tempat coblosan sebab mereka tak merasa diuntungkan apa-apa. Menerima amplop bukan lagi dianggap sebagai jual beli suara, tapi ganti rugi atas waktu dan tenaga yang diberikan untuk mencoblos. Sebab, gara-gara mencoblos, mereka jadi tak bisa ke sawah atau melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa mendatangkan upah.
Para calon pun kemudian bersiasat. Mereka tak lagi berlomba-lomba membeli suara, tapi bekerja sama untuk menanggung bersama jatah amplop untuk warga. Walaupun di banyak tempat masih saja ada calon-calon culas yang sengaja memakai jurus serangan fajar dengan mengeluarkan amplop tambahan untuk membeli suara. Pilkades juga tak lengkap tanpa kehadiran botoh-botoh. Para penjudi yang memasang taruhan untuk kemenangan satu calon tertentu. Karena mereka punya kepentingan agar calonnya menang, para botoh pun akan ikut berupaya untuk memenangkan calonnya. Di level nasional, botoh-botoh ini serupa dengan pemodal, pengusaha-pengusaha kakap yang bertaruh ratusan miliar bahkan triliunan untuk memenangkan calon-calon yang didukungnya.
Di masa Orde Baru, hajatan desa ini digelar 8 tahun sekali. Pada awal reformasi, undang-undang mengatur jabatan kepala desa lamanya 5 tahun untuk maksimal dua periode –sebagaimana jabatan presiden, gubernur, bupati, dan wali kota. Tahun 2004 ada perubahan aturan sehingga jabatan kepala desa menjadi 6 tahun dan maksimal dua periode.
Kini kepala desa se-Indonesia sedang berjuang agar masa jabatan diperpanjang jadi 9 tahun. Tuntutan yang kabarnya sudah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi. Tak cukup hanya di situ, para Kades juga meminta agar bisa menjabat maksimal untuk tiga periode alias 27 tahun. Alasannya karena pilkades menciptakan konflik di desa. Dengan masa jabatan 6 tahun, konflik yang belum reda itu akan kembali terulang. Enam tahun juga dianggap tak cukup untuk melaksanakan program-program yang direncanakan. Alasan yang mengada-ngada dan salah kaprah.
Bayangkan jika alasan yang sama digunakan untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Bukankah gesekan sosial dan polarisasi masyarakat juga nyata terjadi gara-gara pilpres? Alasan untuk menjalankan program juga pernah dilontarkan pendukung ide perpanjangan masa jabatan presiden. Ketika akuntabilitas pemimpin harus dipertanggungjawabkan secara berkala, 5 atau 6 tahun masa jabatan lalu bisa dipilih maksimal sekali lagi adalah sebuah mekanisme yang adil dan masuk akal.
Dari level kepala desa hingga presiden, gagasan untuk memperpanjang masa jabatan hanyalah upaya untuk mengamankan kepentingan pribadi dan melanggengkan kekuasaan. Untuk ini, hanya ada satu jawaban: tolak. (*)
Terbit di Jawa Pos Pak Lurah, Rakyat Dongkol