oleh Okky Madasari
Dalam sejarah epistemologi, setidaknya ada empat peristiwa yang membentuk wajah ilmu pengetahuan hari ini. Empat peristiwa itu adalah penaklukan Andalusia, penemuan benua Amerika oleh Columbus, penculikan bangsa Afrika untuk dijadikan budak di Amerika Utara, dan perburuan terhadap perempuan-perempuan yang dianggap penyihir yang kemudian dibakar hidup-hidup.
Empat peristiwa tersebut hakikatnya adalah pembantaian massal yang biasa disebut sebagai genosida. Yang tak selalu kita sadari, empat genosida tersebut tak hanya menghilangkan nyawa manusia tapi juga telah membantai suatu sistem ilmu pengetahuan tertentu.
Sosiolog Puerto Rico, Ramon Grosfoguel, memaparkan bagaimana pembantaian ilmu pengetahuan bisa terjadi karena pembunuhan massal menghilangkan nyawa para pemikir, ilmuwan, murid-murid dan generasi muda yang akan menjadi penerus dari ilmu pengetahuan yang sudah diajarkan. Di saat bersamaan, pemusnahan ilmu pengetahuan juga dilakukan dalam bentuk pembumihangusan perpustakaan dan buku-buku.
Dalam penaklukan Andalusia misalnya, perpustakaan Cordoba yang memiliki koleksi lebih dari 500.000 buku dibakar. Di masa itu, jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding koleksi buku perpustakaan Eropa yang tidak lebih dari 1000 buku.
Dalam penaklukan benua Amerika, terjadi pemusnahan terhadap ilmu pengetahuan lokal yang turun temurun telah hidup dan tumbuh di benua tersebut. Tidak semua ilmu pengetahuan masyarakat lokal ditulis. Kebanyakan ilmu itu disebarkan secara lisan. Bersamaan dengan terbunuhnya manusianya, maka hilanglah sudah ilmu pengetahuan tersebut. Hal serupa kelak terjadi di benua Afrika, Asia, dan Australia, seiring dengan perjalanan penjelajahan samudera dan kolonialisme Eropa di berbagai penjuru dunia.
Sejarah penculikan orang kulit hitam di Afrika untuk dijadikan budak dengan gamblang menjelaskan bagaimana produksi ilmu pengetahuan dari bangsa kulit hitam telah dimatikan dengan keji.
Sementara pembakaran perempuan yang dianggap penyihir bisa menjelaskan kenapa wajah perempuan hilang dalam ilmu pengetahuan. Apalagi ketika itu, kebanyakan para generasi pertama perempuan pemikir itu juga tidak menulis buku, tapi mengajarkan ilmunya melalui oral. Kisah filsuf Hypatia yang sudah diangkat ke layar labar, bisa menjadi ilustrasi tentang bagaimana sejarah awal pembantaian perempuan dalam sejarah ilmu pengetahuan.
Rasisme dan Seksisme
Di Indonesia, pembantaian ilmu pengetahuan setidaknya telah terjadi dua kali. Pertama ketika bangsa Eropa datang, menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal, membantai manusia-manusia yang telah lebih dulu mendiami kepulauan Nusantara. Dengan ditaklukkannya kerajaan-kerajaan lokal, para raja dan bangsawan pun lebih memilih untuk mengadopsi ilmu pengetahuan yang dibawa oleh penjajah yang tak lain adalah bangsa Eropa. Penguasa lokal negeri-negeri di Nusantara pun belajar bahasa-bahasa Eropa, bukan sebaliknya.
Pengetahuan lokal yang diajarkan turun-temurun melalui lisan tak lagi mendapat tempat. Seolah yang layak disebut ilmu pengetahuan adalah catatan-catatan tertulis yang dihasilkan oleh bangsa Eropa yang tentu saja ditulis dalam bahasa mereka. Di luar apa yang ditulis akan dengan mudah dianggap sebagai tak rasional, klenik, dan sudah jelas bukan bagian dari ilmu pengetahuan.
Ketika penjajahan memasuki masa politik etis yang mendorong pemerintah kolonial Belanda membangun sekolah-sekolah untuk para bumiputera, sesungguhnya itu tak lain adalah pelembagaan dari pembantaian ilmu pengetahuan lokal yang telah hidup di Nusantara jauh sebelum penjajah datang.
Sekolah-sekolah termasuk universitas yang dibangun pada masa penjajahan itu kemudian menjadi cikal-bakal sistem pendidikan di Indonesia hingga hari ini. Kurikulum yang diajarkan dalam sekolah-sekolah yang dibangun penjajah, sudah pasti akan menghadirkan wajah ilmu pengetahuan yang secara epistemologi telah dibentuk oleh empat genosida. Sebuah wajah pengetahuan yang terpusat pada maskulinitas Eropa, yang mengandung rasisme dan seksisme karena telah menghilangkan bangunan ilmu pengetahuan yang telah disusun oleh kelompok Muslim, Yahudi, kulit hitam Afrika, masyarakat lokal di wilayah jajahan, dan perempuan.
Pembantaian Ideologi Kritis
Pembantaian massal ilmu pengetahuan di Indonesia berikutnya terjadi seiring dengan peristiwa politik 1965 yang diikuti dengan pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia, simpatisannya, dan orang-orang yang dituduh terkait dengan PKI. Tentu saja, di antara korban itu banyak para politisi, pemikir, aktivis, seniman, penulis, wartawan, dosen, guru, mahasiswa – orang-orang yang secara aktif memproduksi dan menyebarkan gagasan.
Bersamaan dengan pembantaian itu, para pelajar yang sedang menuntut ilmu di luar negeri tak lagi bisa pulang. Padahal mereka adalah harapan untuk berkembangnya ilmu pengetahuan di Indonesia saat itu.
Selanjutnya, hasil pikiran dari mereka yang dianggap bagian dari PKI dibakar. Ribuan buku-buku dengan berbagai gagasan – yang tak hanya bicara komunisme dan marxisme – dimusnahkan. Bahkan pada tahun-tahun selanjutnya, ketika ada upaya dari mereka yang tersisa untuk terus menulis, seperti Pramoedya Ananta Toer, buku-bukunya pun tak bisa beredar dan dilarang untuk dibaca.
Satu hal lagi yang tak boleh luput dibicarakan, pembantaian pada anggota organisasi perempuan Gerwani telah menghentikan produksi pengetahuan dari generasi pertama perempuan aktivis/pemikir kritis ilmu pengetahuan di Indonesia.
Indonesia Hari Ini
Wajah ilmu pengetahuan Indonesia hari ini dibentuk oleh empat genosida yang menghasilkan wajah maskulin Eropa dan anti pada ideologi kritis atau yang biasa disebut sebagai ideologi kiri.
Reformasi 1998 yang menjanjikan kebebasan dengan meniadakan institusi penyensoran buku, ternyata tidak benar-benar menghilangkan upaya pembunuhan ilmu pengetahuan di negeri ini.
Razia dan pemberangusan buku terus terjadi di berbagai daerah. Pelakunya bisa tentara, organisasi keagamaan atau organisasi yang mengaku mengusung nasionalisme, orang tua maupun anak muda.
Mereka merampas buku-buku yang dijual di toko buku, mereka mendatangi rumah baca dan orang-orang yang menyimpan buku-buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme dan marxisme – bahkan ketika buku itu adalah kritik pada komunisme dan marxisme. Pada kasus lain, sekelompok orang bisa memaksa penerbit untuk menarik sebuah buku hanya karena buku itu dianggap mengandung unsur LGBT.
Aparat hukum hanya bisa diam melihat semua aksi yang jelas melawan hukum itu. Pemerintah tak melakukan upaya untuk mencegah pembunuhan ilmu pengetahuan terus terjadi. Kurikulum pelajaran sejarah pun masih penuh dengan ketidakjelasan dan ketidakjujuran.
Wajah ilmu pengetahuan seperti apa yang akan kita wariskan untuk generasi Indonesia selanjutnya? ***
Terbit Omong-Omong Media Pembantaian Ilmu Pengetahuan