oleh Okky Madasari
Pemecatan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena pelecehan seksual hanyalah bukti terbaru dari desain besar pembusukan institusi-institusi demokrasi.
Ketua KPU bukan satu-satunya pimpinan lembaga negara yang bermasalah di era pemerintahan Jokowi. Pimpinan Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Bawaslu juga tersandung masalah etik dan masalah hukum.
Skandal pimpinan lembaga negara ini tak bisa dilihat terpisah dan seolah merupakan masalah pribadi masing-masing pimpinan. Rangkaian permasalahan pimpinan lembaga negara ini harus dilihat sebagai indikator terjadinya pembusukan lembaga demokrasi (institutional decay) secara sengaja, sistematis, dan masif.
Mari kita telaah alurnya.
Pada KPU, pembusukan lembaga ini dimulai sejak pemilihan anggota panitia seleksi (pansel) yang akan menyeleksi siapa saja yang akan menjadi anggota KPU. Wakil-wakil pemerintah yang pasti akan tunduk oleh perintah Jokowi mendominasi keanggotaan pansel ini. Dengan demikian, sulit mengharapkan anggota KPU yang terpilih bisa bersikap independen.
Kualitas anggota KPU kemudian tecermin dari amburadulnya pelaksanaan pemilu. Kritik dan peringatan keras yang dilancarkan baik oleh masyarakat maupun peserta pemilu terhadap ketidakmampuan dan ketidaknetralan KPU sangat deras selama pemilu berlangsung. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), misalnya, hampir setiap bulan melayangkan peringatan terhadap hampir setiap anggota KPU karena bermacam pelanggaran.
Pada KPK, pembusukan itu dimulai sejak adanya revisi Undang-Undang KPK yang salah satunya mengatur bahwa pegawai KPK berstatus sebagai ASN. Upaya membangun institusi pemberantas korupsi yang independen runtuh begitu saja di era pemerintahan Jokowi.
Orang-orang yang tak punya integritas dan kompetensi ditempatkan sebagai pimpinan KPK, hingga kini bisa dilihat hasilnya bagaimana ketua KPK terkena persoalan hukum.
Ketika tiba waktunya untuk pemilihan pimpinan KPK yang baru, strategi pemerintah mendominasi panitia seleksi kemudian diulang dalam pemilihan anggota KPK yang sedang berlangsung sekarang ini. Wakil pemerintah kembali mendominasi pansel KPK.
Sementara itu, pembusukan MK dimulai sejak ketua MK menikah dengan adik Jokowi. Konflik kepentingan tidak hanya dibiarkan terjadi, tapi disengaja untuk terjadi. Akibatnya sudah kita ketahui bersama dan telah menjadi bagian dari sejarah memalukan yang selamanya harus ditanggung bangsa ini.
Celakanya, pembusukan lembaga-lembaga demokrasi ini masih terus berlangsung di ujung masa jabatan Jokowi yang sebenarnya telah berstatus outgoing president.
Saat ini TNI juga terancam dibusukkan. Selama era Jokowi, reformasi TNI mengalami kemunduran. Bukannya melanjutkan reformasi TNI sehingga prajurit-prajurit ini menjadi militer yang profesional, di ujung masa jabatan Jokowi malah muncul wacana menghidupkan dwifungsi bahkan multifungsi TNI, yang membuka peluang TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil serta mempunyai bisnis. Pemerintah Jokowi dan DPR telah membahas tentang perubahan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan berencana menghapus larangan TNI untuk berbisnis.
Secara teori, konsesi yang diberikan oleh pihak sipil kepada militer menunjukkan ketakutan sipil bahwa militer sedang tidak puas dan dapat melangkah lebih jauh. Dari pihak militer, mereka melihat bahwa pemerintah sipil di bawah Jokowi sedang lemah dan bisa ditekan.
Apa pun situasinya, mengundang militer ke ranah sipil sangat berbahaya. Ini adalah pembusukan institusi militer karena mereka keluar dari tugas dan wewenang alaminya dan mulai mengancam prinsip supremasi sipil yang menjadi dasar negara demokrasi.
Di ujung pemerintahan Jokowi, muncul juga rencana melebur Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan menghidupkan kembali Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dihapuskan oleh semangat reformasi karena dianggap lembaga mubazir tanpa kerja yang jelas. Terdapat kesan bahwa pembentukan lembaga tinggi negara ini dilakukan hanya untuk mengakomodasi Jokowi setelah ia tidak menjadi presiden lagi.
Dalam ilmu politik, posisi seperti Jokowi yang tak lama lagi akan berakhir masa jabatannya ini disebut sudah menjadi bebek lumpuh –lame duck. Seekor bebek lumpuh seharusnya sudah tidak perlu lagi membuat kebijakan-kebijakan strategis, apalagi ketika kebijakan tersebut akan berdampak buruk bagi pemerintahan mendatang.
Seorang presiden di akhir masa jabatannya seharusnya berkonsentrasi memastikan transfer kekuasaan berlangsung secara mulus dan membantu presiden berikutnya supaya dapat bertugas dengan sebaik-baiknya. Tetapi sebaliknya, sebagai lame duck, Jokowi malah menjadi semakin aktif melemahkan lembaga-lembaga negara.
Secara bersamaan, langkah-langkah Jokowi saat ini juga telah membawa lembaga kepresidenan ke jalur yang berbahaya. Apa yang akan terjadi jika setiap presiden melakukan hal-hal yang menguntungkan dirinya di ujung masa jabatannya? Lembaga kepresidenan pun telah terkena virus pembusukan itu.
Lembaga-lembaga negara merupakan bagian penting dari demokrasi. Karena itulah, reformasi dimulai dengan dibangun dan ditatanya institusi-institusi penopang demokrasi.
Pembusukan lembaga-lembaga negara ini tidak hanya berakibat pada rusaknya lembaga-lembaga tersebut, namun juga pada robohnya demokrasi. Sepanjang sejarah, pembusukan demokrasi senantiasa diawali dengan pembusukan lembaga demokrasi.
Ketika lembaga-lembaga negara bermasalah, ia tak akan bisa menjalankan fungsi sesuai amanat konstitusi. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme akan semakin merajalela karena yang seharusnya menjadi lembaga pengawas atau yang melakukan check and balance telah dilemahkan.
Membangun demokrasi dan menjaga agar demokratisasi itu tetap di jalurnya adalah sebuah proses panjang yang tak ada akhirnya. Pertanyaannya, apakah akan kita biarkan pohon demokrasi Indonesia membusuk sebelum berkembang dan berbuah begitu saja? (*)
Terbit di Jawa Pos Pembusukan