Okky Madasari

Beban itu akhirnya terangkat. Kebohongan tersebut akhirnya diakui. Tujuh puluh delapan tahun setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta, Perdana Menteri Mark Rutte atas nama pemerintah Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 dalam pidatonya di parlemen negara tersebut pada Rabu, 14 Juni. Seberapa penting arti pengakuan ini? 

Bagi Belanda pengakuan ini paling tidak menghilangkan beban memalukan yang mereka bawa selama puluhan tahun demi gengsi penguasa dan elite mereka yang berkeras bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil negosiasi yang dimungkinkan oleh kebesaran hati bangsa mereka. Dengan kata lain dengan menciptakan narasi (colonial fabricated narratives atau colonial knowledge) bahwa kemerdekaan Indonesia adalah pada 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945, mereka ingin menciptakan sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia adalah buah dari kebaikan hati mereka dan bukan hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Narasi ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa bangsa Belanda bukanlah penjajah tetapi pembebas, dan “kebaikan hati” ini sepertinya bertujuan menghapus kekejaman yang mereka lakukan selama berabad-abad bercokol di Nusantara.  

Pada kenyataannya – pengakuan ini juga membuktikan – usaha mengulur tanggal kemerdekaan Indonesia tidak lebih adalah salah satu strategi untuk memperpanjang penjajahan Belanda di Indonesia.

Berkembangnya kesadaran akan pentingnya hak asasi manusia dan demokrasi serta perkembangan teknologi menyadarkan publik Belanda, Eropa serta banyak negara lain di dunia betapa jahatnya penjajahan dan negara-negara penjajah yang menjustifikasi tindakan-tindakan mereka dengan kebohongan-kebohongan. Belanda terpojok di antara negara-negara yang menganggap diri mereka negara-negara maju dengan peradaban tinggi. Kebohongan-kebohongan ini tidak dapat bertahan. Rakyat Belanda menyadari hal ini dan terpilihnya Rutte, seorang liberal, serta dapatnya ia bertahan sebagai pemimpin Belanda selama empat periode sejak 2010 – yang berarti perdana menteri terlama dalam sejarah Belanda – sebagian disebabkan karena kesadaran ini.   

Keputusan Rutte untuk mengakui kemerdekaan Indonesia jatuh pada 17 Agustus 1945 secara penuh dan tanpa ada keberatan apapun atau dalih lainnya (fully and without reservation) setelah sebelumnya ia juga meminta maaf atas kekejaman Belanda selama pendudukannya di Nusantara mencerminkan keinginan mayoritas rakyat Belanda meskipun tentu keputusan ini memancing debat panas karena ada saja pihak yang kontra di parlemen negara tersebut.

Dengan pengakuan terbaru ini satu demi satu fabrikasi kebohongan runtuh. Ini juga memungkin generasi baru bangsa Belanda dapat sedikit demi sedikit berdamai dengan masa lalu bangsa mereka yang telah menyebabkan kesengsaraan dan kematian jutaan orang di Indonesia dan negara-negara jajahan Belanda yang lain. Pengakuan ini akan meringankan langkah bangsa Belanda, terutama generasi sekarang yang tidak tersangkut dengang kejahatan masa lalu, ke depan. 

Pemerintah Belanda memang dengan cepat memberi keterangan bahwa pengakuan ini tidak membawa dampak hukum untuk mencegah tuntutan hukum dan tuntutan ganti rugi dari pihak Indonesia serta meringankan tekanan pihak oposisi yang akan menggunakan sebagai senjata dalam politik dalam negeri Belanda.

Namun, bagi Indonesia pengakuan Belanda ini sangat penting dan lebih dari sekadar masalah hukum dan tuntutan ganti rugi. Narasi dan kepercayaan rakyat Indonesia selama ini bahwa bangsanya adalah bangsa bermartabat tinggi yang merebut kemerdekaannya dengan nyawa, darah dan air matanya sendiri bukan hadiah dari bangsa lain telah terkonfirmasi. Dengan sejarah seperti ini seharusnya bangsa Indonesia dapat memandang ke masa depan dengan kepercayaan diri yang kuat karena memang bangsa Indonesia bukanlah bangsa kaleng-kaleng. Kebenaran sejarah ini juga menunjukkan bahwa jika bersatu dan bekerja keras bangsa ini bisa bersaing dengan bangsa lain di dunia.

Pengakuan ini juga berarti narasi bahwa Indonesia merdeka sejak 27 Desember 1949 sudah harus dikubur. Sampai saat ini masih banyak pemimpin dan intelektual serta periset terutama di negara-negara maju yang menganggap kemerdekaan Indonesia adalah dimulai pada tanggal ini. Dengan pengakuan ini, kemerdekaan Indonesia sudah tidak goyah adalah tanggal 17 Agustus 1945. Ini juga berarti pengorbanan ribuan bahkan jutaan rakyat Indonesia dalam berjuang di masa 1945-1949 adalah tidak sia-sia. Proklamasi Soekarno-Hatta menjadi kunci. Perjuangan ini terbukti adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Orang-orang yang berjuang dan gugur pada masa ini adalah pahlawan pembela kemerdekaan.

Penyangkalan

Ketika pihak luar telah menunjukkan kesadaran untuk mengakui kesalahan dan kebohongannya terhadap Indonesia, sudah saatnya penguasa Indonesia juga mengakui kesalahan dan kebohongan apalagi terhadap rakyatnya sendiri. Indonesia punya sejarah kelam dari pembantaian 1965, Talangsari, Tanjung Priok, Aceh, Timor-Leste, pembunuhan Munir, penembakan Trisakti hingga ke kekerasan di Papua, atau yang terbaru tragedi Kanjuruhan. Tidak ada satupun dari kasus tersebut yang selesai.

Pengakuan Belanda ini seharusnya menyadarkan Indonesia akan arti penting kejujuran untuk melihat kesalahan sendiri. Namun, alih-alih pengakuan, yang ada sampai saat ini adalah penyangkalan, cover up, pembungkaman, dan impunitas.

Pelanggaran HAM hanya digunakan sebagai kosmetik politik menjelang Pemilu. Calon Presiden yang merasa dirinya bukan bagian dari kesalahan masa lalu akan menjanjikan pengusutan. Sebagaimana Jokowi yang dulu menjanjikan akan mengusut hilangnya Wiji Thukul, namun hingga menjelang akhir dari sepuluh tahun pemerintahannya, janji itu tak juga terwujud. 

Penyangkalan akan terus menghalangi langkah bangsa ini untuk maju ke depan. Masa lalu akan terus memburu kita. ***

Terbit di Jawa Pos
 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan