oleh: Okky Madasari
Suprapti Fauzi, perempuan Malang kader salah satu partai politik itu, mengaku bahwa dirinya yang membuat rekaman suara penjual dawet di Kanjuruhan. Suara penjual dawet yang mengatakan bahwa Aremania mengeroyok polisi, mabuk, dan memakai narkoba itu sudah jelas hoaks belaka.
---
KINI video Suprapti yang sedang menangis meminta maaf pada salah satu keluarga korban Kanjuruhan tersebar di media sosial. Katanya, tidak ada tujuan untuk menjelekkan nama siapa-siapa. Rekaman itu, katanya, dibuat tanpa ada setting-an apa-apa dan tanpa disuruh siapa-siapa. Tentu sulit untuk begitu saja memercayai pengakuan Suprapti.
Dalam kolom saya di Jawa Pos 1 November 2020 berjudul Pabrik Hoaks dan Para Pengecernya, saya uraikan bagaimana hoaks sengaja diproduksi, diduplikasi, disebarkan oleh agen-agen pengecer, hingga akhirnya diterima sebagai kebenaran. Produksi hoaks telah menjadi industri dalam sebuah rezim misinformasi. Kabar bohong tercipta dan tersebar bukan karena ketidaksengajaan atau keisengan belaka.
Distribusi hoaks kian melimpah ketika terjadi sebuah peristiwa yang memakan banyak korban. Di tengah situasi yang keruh dan informasi yang simpang siur, kabar-kabar yang tak terverifikasi begitu mudah untuk disebarluaskan dan memengaruhi masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, kita mencatat bagaimana hari-hari pascakudeta 30 September 1965 dipenuhi dengan kabar bohong dan propaganda. Hoaks-hoaks itu berakibat fatal karena berhasil membangun kebencian, bahkan mendorong orang untuk melakukan pembunuhan. Akibatnya, setidaknya lebih dari 500 ribu orang tewas dalam kemelut 1965.
Pada kerusuhan Mei 1998, hoaks pun menjadi penyulut utama penjarahan, pembakaran, hingga pemerkosaan. Kita pun bisa mengamati bagaimana hoaks terkait isu Papua selalu diproduksi –baik itu yang menyiratkan dukungan pada gerakan Papua merdeka maupun yang membela pemerintah dan TNI. Dalam kasus yang lebih anyar dan skala lebih kecil, kita bisa melihat bagaimana hoaks terkait pembunuhan Brigadir Yosua tak berhenti beredar hingga hari ini. Pada peristiwa-peristiwa seperti ini, hoaks berfungsi untuk menutupi fakta yang sebenarnya, membangun narasi baru yang bisa melindungi pelaku kejahatan, dan menjaga kepentingan si pembuat hoaks.
Hoaks tidak hanya digunakan dalam tragedi yang memakan korban jiwa. Pada situasi yang relatif damai, pabrik hoaks tak berhenti beroperasi. Hoaks-hoaks diproduksi untuk membangun atau meruntuhkan citra seseorang, membangun opini publik, menyelamatkan seseorang dari tuduhan korupsi, menggalang suara, bahkan mengumpulkan dana dari masyarakat.
Baik dalam situasi rusuh maupun tenang, produksi dan distribusi hoaks selalu menggunakan pola yang nyaris sama. Pertama adalah penggunaan media massa. Di era sebelum teknologi informasi berkembang, media massa hanya terbatas pada televisi, koran, dan radio. Kini media massa itu mencakup media sosial, termasuk WhatsApp group (WAG). Kedua adalah adanya gerakan sistematis dari berbagai aktor yang saling mendukung dan menguatkan narasi hoaks. Ketiga, adanya keterlibatan aparat negara, baik sebagai pelaku yang hendak dilindungi maupun sebagai bagian dari pembuat dan penyebar hoaks.
Hoaks penjual dawet yang menggegerkan itu dibuat dengan memanfaatkan fitur rekaman suara di ponsel, lalu disebarkan dari satu WAG ke WAG lainnya. Sebagaimana kecepatan virus yang berpindah dari satu tubuh hingga akhirnya bisa menjangkiti ribuan orang, sebuah hoaks bisa tersebar cepat hingga menjangkau sudut-sudut yang terpisah oleh jarak, menghampiri orang-orang yang sama sekali tak punya persinggungan apa-apa dari kelompok-kelompok yang berada di sekitar si pembuat hoaks.
Bersamaan dengan beredarnya hoaks penjual dawet, produksi narasi yang bernada menyalahkan suporter Aremania terus dibuat oleh banyak pihak. Ada Ade Armando yang dalam sebuah video yang diproduksinya memojokkan Aremania, menyebut Aremania berperilaku seperti preman dan sok jagoan sehingga terjadi tragedi Kanjuruhan. Ada perbedaan antara upaya memahami sebuah peristiwa lebih komprehensif dengan melihat berbagai aspek dengan upaya untuk mengaburkan fakta kesalahan polisi dalam menembakkan gas air mata yang menyebabkan 132 orang kehilangan nyawa. Apa yang disampaikan Ade Armando lebih merupakan upaya untuk membela polisi, apalagi dia menyebut bahwa ada upaya untuk mengarahkan telunjuk atau menggiring opini untuk menyalahkan polisi.
Narasi-narasi untuk menyalahkan Aremania dan menutupi kesalahan polisi diperkuat oleh pernyataan Presiden Jokowi setelah kunjungannya ke Malang. Jokowi menyatakan bahwa penyebab jatuhnya banyak korban adalah pintu stadion yang terkunci dan tangga yang terlalu curam. Ia pun membandingkan dengan Stadion Gelora Bung Karno yang bisa menampung 80 ribu orang dan tak memakan korban. Jokowi sama sekali tak menyebut penembakan gas air mata oleh polisi sebagai faktor utama yang menyebabkan ratusan nyawa hilang sia-sia. Apalagi kemudian juga terungkap fakta bahwa gas air mata tersebut kedaluwarsa yang justru dampak pada korban lebih parah dibandingkan yang tidak kedaluwarsa.
Dalam bahasa yang lebih simbolis, narasi menyalahkan Aremania juga muncul dalam berita penemuan botol-botol miras. Berita seperti ini jelas akan membentuk persepsi bahwa memang betul Aremania mabuk saat menonton pertandingan dan itulah yang menjadi penyebab kerusuhan dan kematian ratusan orang. Belakangan Komnas HAM menyampaikan bahwa botol-botol miras itu bukanlah milik Aremania dan yang disebut sebagai botol miras itu sesungguhnya adalah obat sapi.
Industri hoaks telah menjadi bagian dari instrumen kekuasaan. Sindikasi hoaks dengan lihai bisa menjadikan kita bagian dari penjaja hoaks –bahkan tanpa kita menyadarinya. (*)
Terbit di Jawa Pos Penjaja Hoaks Kanjuruhan