Oleh: Okky Madasari
Apa itu humor? Apa pula teror?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab di negeri ini. Teror-teror diabaikan hingga orang-orang hanya menjadikanya sebagai bahan celaan dan tertawaan. Lama-lama orang menganggap serupa teror-lah semestinya sebuah humor: memancing perhatian, celaan, dan bisa jadi bahan tertawaan.
Sebuah perusahaan pemasaran telah memberi contoh bagaimana sulitnya membedakan apa itu humor dan apa itu teror. Peti-peti mati menjadi alat promosi. Dikirimkan ke orang-orang, lembaga, dan perusahaan-perusahaan. Pengirim menganggapnya sebagai humor. Cara memancing perhatian. Sekadar bentuk promosi agar apa yang dijualnya bisa dibeli. Tapi siapa yang senang dikirimi peti mati? Penerima pun berspekulasi. Apalagi ketika peti mati dikirim ke media massa dan tokoh-tokoh yang dianggap memiliki potensi untuk dijadikan sasaran teror. Setiap orang memiliki dugaan sendiri-sendiri kenapa si A atau si B mendapat teror peti mati. Ada yang lega, ada pula yang kecewa setelah kenyataan tak seperti dugaan. Yang pasti hampir semua orang marah pada si pengirim ”teror”. Peti mati dianggap tak layak dijadikan alat promosi. Alih-alih barang jualan dibeli, perusahaan pemasaran itu menuai benci.
Pembiaran Teror
Teror dalam KBBI didefinisikan sebagai usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Bentuk nya bisa berupa kegaduhan, kerusuhan, intimidasi dan kekerasan.
Maka kita bisa menyebut daftar panjang teror di negeri ini. Tidak hanya teror yang selalu diidentikkan dengan bom dan jaringan terorisme, tapi teror-teror yang dilakukan oleh berbagai aktor, mulai dari negara, kelompok masyarakat, hingga individu.
Mari sebut beberapa. Dimulai dari teror negara pada orang-orang yang dianggap punya kaitan dengan PKI. Tangan-tangan negara menyebar ketakutan, keresahan, kepanikan, juga kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa orang. Sebuah teror lama yang hingga kini belum menemukan penyelesaian. Juga bagaimana dengan penculikan dan pembunuhan aktivis yang tak juga menemukan keadilan?
Di tangan non-negara, teror-teror dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang melakukan kekerasan pada kelompok lain. Kedok agama digunakan. Tapi sungguh ini bukan soal agama dan keyakinan, tapi soal bagaimana teror telah digunakan untuk mencapai kepentingan. Satu kali mereka meneror tanpa mendapat hukuman, teror-teror berikutnya akan terus berdatangan. Peneror semakin merasa apa yang dilakukanya benar. Diulang dan diulang. Hingga teror tak lagi menjadi teror, kekerasan bukan lagi kekerasan. Semuanya dianggap sebagai kewajaran. Ada teror maka ada berita. Ada teror maka ada yang bisa dijadikan bahan pembicaraan, bahan celaaan bahkan bahan tertawaan.
Matinya Hukum
Maka jangan salahkan masyarakat jika akhirnya tak bisa membedakan mana humor dan mana teror. Jangan-jangan aparat keamanan, juga penguasa negeri ini pun tidak bisa membedakan yang mana teror dan mana humor. Penebar teror dibiarkan, bahkan dituruti dan didengar. Korban teror disalahkan, dianggap sebagai yang membangkang.
Negara tak lagi bisa dijadikan sandaran. Setiap orang harus mencari cara sendiri-sendiri untuk bisa merasa aman. Ketika kekerasan terlanjur terjadi dan korban berjatuhan, negara ikut menjadikan semuanya sebagai tontonan. Semakin banyak pelaku teror dengan beragam alasan, semakin lihai negara berkelit untuk mengambil tindakan.
Hukum dan keadilan telah dijadikan sebuah humor. Jika ini yang selamanya terjadi, negeri ini memang sudah butuh peti mati.