oleh Okky Madasari
Adakah puasa bagi mereka yang haus kuasa?
MEMBICARAKAN puasa dan kekuasaan mengingatkan saya pada pernyataan Megawati Soekarnoputri pada tahun 2014, seusai pasangan Jokowi-Jusuf Kalla diumumkan memenangi hitung cepat pilpres. Di hadapan wartawan dan ditonton langsung jutaan penonton lewat siaran langsung televisi, Mega, ketua umum PDIP, berkata bahwa kemenangan Jokowi-JK mengakhiri puasa PDIP selama 10 tahun.
Dengan sadar Megawati menggunakan diksi ”puasa”, mengisyaratkan bahwa selama 10 tahun menjadi oposisi ia dan partainya seharusnya menahan segala nafsu dan keinginan, harus prihatin. Ketika dengan penuh haru dan kebahagiaan Mega mengatakan bahwa puasa 10 tahun telah berakhir, tak dapat ditutupi bahwa 1 dekade berpuasa bukanlah sebuah wujud tirakat atau ibadah yang dijalani dengan ikhlas dan sukacita.
Berbeda dengan ibadah puasa yang dijalani dengan kesadaran ibadah dan tirakat untuk mencari rahmat, puasa kekuasaan tak pernah dilakukan dengan sengaja dijalani dengan niat sejak awal. Puasa kekuasaan hanya terjadi ketika seseorang tak lagi punya pilihan karena tersingkir dalam kontestasi, karena tak lagi punya jalan untuk berada di tengah pusaran.
Pernyataan Mega bahwa 10 tahun puasa berakhir juga bisa dimaknai bahwa sudah waktunya untuk berbuka puasa, untuk berpesta menikmati segala hidangan. Tak lagi perlu menahan nafsu.
Serakah dan Lapar
Sejarah dunia digerakkan oleh keserakahan dan rasa lapar atas kekuasaan. Begitu tesis utama yang disajikan penulis Kanada yang sekaligus mantan penasihat Perdana Menteri Pierre Trudeau, Philipe Gigantes, dalam bukunya Power and Greed: A Short History of the World. Gigantes menunjukkan bagaimana sejarah dibentuk oleh para penakluk, yang melanggar aturan apa pun agar bisa memperbesar kekuasaan.
Terlepas dari pendapat Gigantes, siapa pun yang belajar sejarah di bangku sekolah akan tahu bagaimana dalam narasi utama sejarah, catatan atas kebesaran seorang penguasa diukur dari kemampuannya untuk menaklukkan dan memperluas wilayah yang dikuasainya. Kehebatan seorang penguasa dilihat dari seberapa lama ia mampu mempertahankan kekuasaan dan kejayaan penguasa dilihat dari seberapa banyak ia mampu mengumpulkan harta kekayaan.
Lihat saja bagaimana deskripsi sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara dalam buku-buku pelajaran. Kebesaran seorang raja pun dilihat dari seberapa luas wilayah kekuasaannya atau seberapa lama ia berkuasa. Sriwijaya disebut kerajaan Nusantara pertama karena bisa menguasai sebagian Sumatera, Jawa Barat, Kalimantan Barat, hingga Semenanjung Melayu. Hayam Wuruk menjadi raja terbesar Majapahit karena berhasil menaklukkan seluruh kepulauan Nusantara, termasuk Semenanjung Malaya, Singapura, dan sebagian Kepulauan Filipina. Sultan Iskandar Muda berhasil membawa Kesultanan Aceh ke puncak kejayaan karena menaklukkan Pahang dan melakukan penyerangan pada Portugis di Malaka.
Kolonialisme Eropa menjadi wajah nyata penaklukan-penaklukan secara masif di berbagai wilayah dunia yang sekaligus menaklukkan kekuasaan-kekuasaan lokal di Nusantara. Kolonialisme juga merupakan perwujudan dari gerak sistematis keserakahan. Sejak kedatangan pertama pasukan Spanyol di Benua Amerika hingga hari ini ketika kita melihat bagaimana Israel terus berupaya menguasai tanah Palestina, kekuasaan yang serakah terus mengontrol dunia kita.
Penguasa dan kekuasaan tidak hanya berbentuk kekuasaan politik, tetapi juga kekuasaan agama dan kekuasaan modal. Pemimpin besar Islam, dari Umar bin Khattab hingga Salahuddin Ayyubi, dikenal kebesarannya terutama karena kemampuannya memenangi peperangan dan memperluas daerah penaklukan. Perang Salib pun didorong oleh kekuasaan agama.
Dalam kehidupan masa kini, kekuasaan agama pun terus bekerja mempertahankan otoritas sekaligus memperbesar pengaruh. Dalam hal yang kasatmata, pengaruh kekuasaan agama terlihat dari jumlah pengikut. Bahkan ketika Islam telah menjadi agama mayoritas di Indonesia, upaya untuk memperluas pengikut masih terus dilakukan. Karena itu, kita bisa melihat ketika ada kabar seseorang menjadi mualaf atau sebaliknya, seseorang meninggalkan Islam, akan menjadi perbincangan besar. Baru-baru ini, dikabarkan bahwa warga satu kampung di Baduy berhasil diajak masuk Islam.
Kekuasaan agama juga terus bekerja di sektor publik dan politik. Ulama, pimpinan agama, memanfaatkan posisinya untuk ikut berperan dalam politik praktis, baik secara terang-terangan maupun diam-diam. Sayangnya, sebagaimana sifat khas kekuasaan, semuanya didorong oleh keserakahan; rasa lapar kekuasaan, dibanding keinginan untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Akibatnya, kekuasaan agama justru berkoalisi dengan kekuasaan politik untuk melayani keserakahan mereka. Masing-masing sedang berusaha menyelamatkan kekuasaan, berupaya mencari jalan untuk melanggengkan kekuasaan. Yang punya kekuasaan politik butuh dukungan kekuasaan agama, yang punya kepercayaan dari umat butuh sokongan dana dan jaminan kekuasaan. Maka, di zaman ini kita bisa melihat berulangnya sejarah persekongkolan antara kekuasaan politik (negara) dan kekuasaan agama (ulama) –salah satu faktor yang berabad-abad silam mengakibatkan kemunduran Islam.
Dalam pentas perpolitikan Indonesia, kita melihat bagaimana para pemimpin, mulai pemimpin negara hingga pemimpin agama, tak mampu untuk menahan hasrat berkuasa. Kekuasaan telah menjadi candu yang begitu memabukkan, yang terus membuat siapa pun yang pernah mencicipi akan terus merasa kurang, merasa lapar.
Puasa kuasa telah menjadi sesuatu yang begitu menakutkan. Partai-partai tak punya nyali menjadi oposisi dan lebih memilih menjadi tikus-tikus yang ikut berbagi remahan kue kekuasaan. Ulama-ulama pun takut kehilangan cantolan dan sokongan.
Orang-orang inilah yang selalu berceramah tentang kewajiban puasa di bulan Ramadan, mengingatkan umat betapa pentingnya menahan segala nafsu selama puasa. Padahal, yang jauh lebih berbahaya daripada nafsu makan dan minum adalah nafsu berkuasa, dan yang lebih dibutuhkan untuk negara ini adalah puasa kuasa. (*)
Terbit di Puasa Kuasa