oleh: Okky Madasari
”Tidak masalah hartamu hasil korupsi. Yang penting jangan kamu pamerkan di media sosial.” Eh?
KALA itu akhir Desember 2014 ketika Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang sedang berlibur akhir tahun bersama keluarga di Hawaii harus mempersingkat liburan untuk kembali ke Malaysia yang sedang diterjang banjir parah. Istri Najib, Rosmah Mansor, pun kesal karena rencana liburan berantakan, apalagi Desember adalah bulan kelahiran Rosmah.
Untuk mengobati kekesalan istrinya, Najib membawa Rosmah ke gerai Chanel, jenama barang mewah asal Prancis, dan membelikan istrinya jam tangan senilai USD 130 ribu atau setara dengan lebih dari Rp 2 miliar. Najib membayar dengan kartu kredit yang kelak menjadi salah satu bukti dari berbagai transaksi, penggelapan, dan korupsi kasus yang dikenal dengan skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Pengadilan pun menyita ratusan tas Hermes dan perhiasan mewah koleksi Rosmah. Saat ini Najib dan Rosmah menjalani hukuman penjara masing-masing 12 tahun dan 10 tahun.
Penelusuran atas koleksi dan pembelian barang-barang mewah memang kerap mewarnai kasus korupsi. Lebih dari 35 tahun lalu, ketika rezim Marcos di Filipina ditumbangkan, salah satu yang menjadi perhatian dan pembicaraan bahkan hingga hari ini adalah ribuan pasang koleksi sepatu mewah milik istrinya, Imelda. Tak hanya cerita di luar negeri, dalam persidangan kasus korupsi di pengadilan tipikor, barang-barang mewah pun kerap jadi barang bukti untuk kemudian disita dan dilelang oleh negara. Korupsi tidak hanya terjadi dalam bentuk pembelian barang mewah dengan uang negara, tapi juga melalui penerimaan barang-barang mewah sebagai hadiah bagi pejabat publik.
Dalam penyidikan kasus korupsi, ada satu idiom follow the money yang kali pertama diperkenalkan lewat film tentang skandal korupsi yang melibatkan Presiden Amerika Serikat, All the President’s Men (1976). Inti dari follow the money adalah dengan mengikuti aliran uang, bisa dikuak semua pihak yang terlibat dalam korupsi. Mengikuti logika follow the money, dengan mempertanyakan barang-barang mewah milik keluarga pejabat, kita pun bisa mendapat penjelasan dari mana sumber uangnya dan kemungkinan skandal apa yang ada di baliknya.
Maka, tidak terlalu mengherankan jika sekarang ini publik dengan penuh kemarahan menyebarkan foto-foto anggota keluarga aparat negara yang menampilkan berbagai barang mewah, padahal kita semua tahu berapa gaji dan tunjangan mereka setiap bulan. Selain karena jengkel dengan korupsi, publik muak dengan ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang terus dipertontonkan.
Masalahnya, sebagaimana kata Mochtar Lubis, orang Indonesia itu munafik. Eits… jangan buru-buru marah ketika mendengar pernyataan ini. Tak perlu juga mengelak dengan mengatakan ”Tak semua orang Indonesia seperti itu” seraya menolak segala bentuk generalisasi.
Mochtar menyimpulkan bahwa manusia Indonesia munafik dengan menelaah perilaku para elite dan orang awam yang selalu ingin mencitrakan diri sebagai yang bersih dan suci, yang paling religius, padahal dalam kenyataannya tidak demikian. Lihat saja bagaimana setiap menjelang pemilu politisi tiba-tiba tampil dengan peci dan kerudung sebab mereka percaya masyarakat akan memilih seseorang yang terlihat religius. Juga amati bagaimana pidato pejabat memberi nasihat soal integritas, padahal dia sendiri juga korupsi. Atau, bagaimana tiba-tiba politisi makan di warteg, naik KRL, masuk gorong-gorong, mencuci mobil, untuk mendapat simpati.
Lihat saja reaksi berbagai institusi ketika melihat foto keluarga ASN dengan barang mewahnya viral. Berbagai institusi ramai-ramai menerbitkan larangan untuk pamer kemewahan. Mereka semua berlagak bodoh bahwa pamer kemewahan itulah akar masalahnya. Semua sudah TST, tahu sama tahu, sudah 86, tak usah saling menunjuk dan mempertanyakan harta masing-masing. Yang penting jangan dipamerkan di media sosial.
Seruan larangan kemewahan ini jadi kian terdengar munafik ketika disampaikan oleh pejabat tinggi yang juga tak sepenuhnya lepas dari kehidupan mewah. Ketika Menkeu Sri Mulyani memerintahkan agar klub motor Ditjen Pajak dibubarkan dan mengatakan bahwa mengendarai moge itu tak sesuai dengan prinsip keadilan publik, ternyata Menkeu sendiri punya moge, tapi melarang suaminya untuk memakai karena itu simbol kemewahan. Dari sini saja terlihat bahwa yang penting itu tidak memamerkan apa yang kamu punya, bukan memastikan bahwa sumbernya memang bukan dari penyalahgunaan kekuasaan atau mengambil uang negara. Padahal, mengingat riwayat karier Menkeu, ya wajar saja kalau dia bisa membeli moge seharga Rp 150 juta.
Hal serupa terjadi ketika Presiden Jokowi beberapa kali menyinggung orang dan instansi yang suka beli barang impor, seolah lupa bahwa ibu negara sendiri juga senang mengoleksi tas Chanel, Dior, Fendi, Gucci, jenama-jenama yang menjadi simbol kemewahan. Citra yang dilekatkan bahwa keluarga Jokowi adalah keluarga yang suka tampil sederhana sebenarnya tidak selaras dengan koleksi barang-barang mewah yang dimiliki dan dipakai anggota keluarganya.
Apakah keluarga Jokowi dilarang memiliki barang-barang mewah tersebut? Tentu saja tidak demikian. Setiap orang berhak untuk mengoleksi barang-barang mahal asal sumber uangnya jelas.
Moge Menkeu dan tas mewah ibu negara ini adalah ilustrasi sederhana bahwa jawaban atas kemarahan publik bukan pada larangan hidup mewah. Semakin para pejabat menggarisbawahi soal kemewahan, semakin terlihat kemunafikan mereka dalam perilaku dan keculasan dalam menghadapi persoalan. (*)
Terbit di Jawa Pos: Pura-Pura Sederhana