oleh: Okky Madasari
Ramadan terasa kian bising: Penanda sahur yang berteriak-teriak memekakkan telinga, orang-orang berdesakan di supermarket dengan trolley-trolley penuh belanjaan, restoran-restoran yang penuh wajah tak sabar, jalanan yang jauh lebih macet daripada hari-hari sebelumnya, undangan buka bersama yang tanpa henti dari teman kerja, teman kuliah hingga teman SD, saudara hingga tetangga.
Kebisingan itu juga nyata di ruang-ruang rumah kita: Iklan makanan dan minuman di televisi yang tanpa jeda, dapur yang sibuk menyiapkan hidangan sahur dan buka, hingga lalu-lalang percakapan dan perdebatan yang khusyuk kita ikuti di layar telepon genggam kita.
Puasa kini serupa festival. Kerumunan, keriuhan, perayaan. Puasa bukan lagi sebuah laku dalam diam, yang dilakukan sambil berbisik-bisik, sambil merendahkan suara dan segala keinginan.
Tumbuh dalam keluarga Jawa yang masih mengakrabi tradisi, puasa telah menjadi bagian kental dalam kehidupan keluarga kami. Puasa adalah laku spiritual untuk mencapai kekayaan batin. Puasa juga merupakan bentuk tirakat - bagian dari perjuangan mencapai apa yang diinginkan. Puasa bagi kami bukan hanya sebulan saat Ramadan, tapi sepanjang waktu.
Ketika ajaran agama memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kami, puasa di luar Ramadan salah satunya menjelma dalam puasa yang dilakukan di hari Senin dan Kamis. Semuanya dilakukan diam-diam, kadang sembunyi-sembunyi.
Sungguh, merupakan hal biasa menolak ajakan makan di hari Senin dan Kamis dengan berkata, “Saya sudah makan.” Ada rasa malu dan kikuk kalau saya harus menjawab, “Saya sedang puasa,” karena kalimat itu akan sama artinya dengan, “Saya sedang tirakat.”
Sebagai laku tirakat, puasa merupakan kesempatan kita untuk secara sadar mengendalikan segala diri dan keinginan. Puasa juga semestinya membuat kita secara sadar mengambil posisi meditasi dan berkontemplasi di tengah dunia yang begitu berisik dan penuh kerumunan di mana-mana.
Puasa justru menguatkan kita untuk menantang semuanya. Bukan dengan manja meminta orang di sekitar kita untuk tidak makan dan meminta semua warung ditutup di siang hari demi menghormati puasa kita.
Dengan kesadaran seperti itu, puasa bukan lagi sesuatu yang istimewa dan menuntut perhatian kita semua. Puasa juga tak akan jadi sebuah kesempatan untuk mengonsumsi secara berlebihan, untuk membelanjakan uang lebih besar dibanding hari-hari lainnya, untuk menghabiskan energi dan pikiran kita untuk "merayakan" puasa itu sendiri.
Menjadikan puasa bagian dari tirakat dan laku keseharian juga akan menjauhkan Ramadan dari ajang hitung-hitungan. Kita hampir selalu menghitung berapa banyak pahala akan kita dapat jika kita tidur atau kita membaca saat puasa. Kita menghitung pahala saat ikut sholat di masjid. Kita hitung pahala setiap kali kita bersuara membangunkan orang untuk sahur. Kita pun tak lupa menghitung pahala saat bersedekah, membagi takjil pada orang tak punya.
Maka Ramadan pun serupa dengan perlombaan. Setiap orang berebut memesan kapling surga, menjadikan itu sebagai tujuan utama.
Jika pahala atau dosa bisa dihitung sebagaimana kita menghitung simpanan uang di bank, tentu akan sangat gampang untuk melakukan perhitungan dengan Tuhan.
Kita akan bertanya, berapa minimal pahala yang harus kita kumpulkan agar kita bisa masuk surga. Kalau Tuhan berkata seribu, kita tinggal mengumpulkan angka itu sepanjang hidup kita, lalu sim salabim kita akan masuk surga.
Tentunya Tuhan akan tertawa saat kita sibuk dengan hitung-hitungan macam itu. Tertawa karena melihat umatnya yang begitu lugu dan sok tahu. Tertawa melihat orang-orang yang sepanjang hidup berlomba mendapatkan tiket ke surga.
Sebab Tuhan memberi kita hidup bukan hanya untuk menunggu mati. Sebab kita beragama bukan sekadar untuk mendapatkan surga. ***
*Dimuat di Jawa Pos