oleh Okky Madasari
Yang terpenting dari demokrasi adalah prosesnya, bukan melulu hasilnya. Jika memang prosesnya menghendaki dua putaran, mengapa harus dipaksakan satu putaran demi ambisi kekuasaan?
SALAH satu sifat dasar manusia adalah ingin menjadi pemenang –atau setidaknya menjadi bagian dari pihak pemenang. Mentalitas kerumunan membuat setiap orang merasa berarti ketika menjadi bagian dari kelompok, bagian dari kerumunan. Pada saat bersamaan, saat berada dalam kerumunan itu, manusia kerap kehilangan kehendak dan semata ikut-ikutan.
Ikut menjadi bagian dari kerumunan memberi rasa aman. Pemikir besar psikologi sosial Erich Fromm mengurai bagaimana individu dibentuk untuk takut merdeka. Kemerdekaan yang memberi kemandirian berpikir dan membuat keputusan justru menimbulkan rasa tidak aman dan perasaan terancam. Banyak orang yang memilih untuk sukarela menjadi bagian dari kelompok yang diatur kekuatan kekuasaan. Semakin kuat cengkeraman kekuasaan itu, semakin mereka merasa aman. Inilah yang kemudian menjadi alasan kenapa Nazi dengan segala kebengisannya bisa memenangi pemilu di Jerman.
Kerapuhan manusia untuk sendiri dan mandiri itu yang kemudian dikapitalisasi industri marketing politik. Survei popularitas atau survei elektabilitas sesungguhnya adalah sebuah alat untuk memengaruhi pilihan publik. Dengan melihat siapa yang menjadi pemenang survei, para pemilih diharapkan akan ikut-ikutan untuk memilih si pemenang di hari pemungutan suara, atau apa yang disebut dalam ilmu psikologi politik sebagai bandwagoning.
Demikian juga dengan alat promosi visual mulai foto-foto yang disebarkan di media atau baliho-baliho yang dipasang di jalanan. Dalam politik Indonesia, salah satu momen penting dalam Pemilu 2014 yang akhirnya mengantarkan Jokowi terpilih sebagai presiden adalah penyelenggaraan Konser Dua Jari. Foto-foto yang dipublikasikan hampir seluruh media memperlihatkan bagaimana konser tersebut seolah-olah dihadiri jutaan orang. Efek psikologi dari foto-foto ini adalah menancapkan kesan bahwa Jokowi seperti didukung mayoritas masyarakat dan tak terbendung lagi menjadi pemenang pilpres. Ini memberikan bandwagoning effect yang dahsyat memengaruhi massa mengambang (swing voters) dan pemilih yang belum memutuskan pilihannya (undecided voters) untuk memilih Jokowi.
Pola dan strategi serupa diulang di masa menjelang Pemilu 2024 ini. Dari survei satu ke survei lainnya yang hampir selalu menampilkan kemenangan besar pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, psikologi massa terus digiring untuk takut tertinggal gerbong pemenang. Mula-mula pasangan ini diunggulkan dalam survei dengan perolehan suara mendekati 40 persen. Kemudian di survei-survei berikutnya mereka sudah memimpin dengan perolehan suara di atas 40 persen. Bahkan beberapa survei sudah berani mengunggulkan Prabowo-Gibran dengan perolehan suara sedikit di atas 50 persen yang berarti tujuan menang satu putaran sangat mungkin, bahkan pasti tercapai.
Perlunya survei-survei yang memenangkan Prabowo-Gibran adalah jelas untuk bandwagoning effect. Tapi, apa perlunya survei-survei tersebut harus mengeluarkan hasil bahwa Prabowo-Gibran memperoleh suara di atas 50 persen? Toh, jika dipilih mayoritas rakyat, mereka akan menang, baik itu dengan satu putaran maupun dua putaran.
Di sinilah terletak masalahnya. Pasangan Prabowo-Gibran dan para pendukungnya tidak punya rasa percaya diri mereka akan menang jika pilpres berlangsung dua putaran.
Kekalahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) oleh Anies Baswedan di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2017 rupanya sangat membekas dan menjadi pelajaran berharga bagi kelompok pendukung Prabowo-Gibran. Ahok keluar sebagai pengumpul suara terbanyak di putaran pertama pilkada tersebut. Tetapi, ia kemudian dikalahkan telak oleh Anies di putaran kedua. Pasangan Prabowo-Gibran rupanya tidak ingin mengalami kejadian yang sama.
Kelihatannya, mereka akan melakukan apa pun untuk langsung dapat memenangi pilpres dalam satu putaran dan menghindari putaran kedua di mana kemungkinan besar mereka akan kalah. Turunnya Presiden Jokowi untuk cawe-cawe merupakan bagian dari upaya all-out untuk memenangkan anak sulungnya, Gibran. Dilihat dari sisi ini, kecurigaan banyak orang bahwa aparat negara dimobilisasi untuk memenangkan pasangan nomor 2 jadi beralasan.
Dan di sinilah juga peran hasil survei-survei di atas 50 persen ini. Survei-survei akan dipakai sebagai pembenaran nantinya jika mereka benar dapat menang dalam satu putaran –hal yang oleh banyak kalangan sebagai mustahil. Pendukung pasangan ini akan mengatakan bahwa survei-survei juga sudah membenarkan kemenangan satu putaran ini.
Survei-survei terus diproduksi dan dikeluarkan lembaga-lembaga dengan berbagai macam nama, singkatan, dan akronim yang bahkan belum pernah kita dengar sebelumnya. Akibatnya, survei-survei ini sudah tidak dianggap serius oleh masyarakat sehingga pengaruh bandwagon-nya sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan semula pemodal survei.
Jika survei sudah tidak lagi memberi pengaruh yang signifikan, harus diproduksi narasi lain untuk pembenaran perlunya pemilu satu putaran. Pembenaran ini haruslah seolah-olah demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Maka, keluarlah narasi bahwa pilpres dua putaran adalah buang-buang waktu dan uang sehingga bersatu saja mencoblos pasangan yang sudah pasti menang. Lagi pula, mereka berdalih lebih lanjut, mencoblos yang sudah pasti kalah hanya akan membuat suara kita terbuang sia-sia.
Tapi, apakah benar narasi pilpres dua putaran hanya buang-buang uang? Total anggaran pemilu presiden (putaran pertama dan kedua) dan legislatif sekitar 70 triliun rupiah. Dari jumlah ini, komponen pilpres putaran kedua hanya 17 triliun rupiah. Jumlah ini terbilang kecil untuk salah satu pesta demokrasi terbesar di dunia yang menentukan nasib 280 juta manusia. Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan proyek kontroversial kereta api cepat Jakarta–Bandung yang memakan biaya 112 triliun rupiah. Apalagi jika dibandingkan dengan proyek IKN yang akan memakan biaya 500 triliun rupiah.
Anggaran belanja pemilu juga bukan terbuang sia-sia. Uang tersebut akan mengalir ke pengusaha-pengusaha dalam negeri seperti produsen kertas, tinta, kaus, spanduk, dan lain-lain. Uang ini juga akan mengalir berupa gaji-gaji dan honor-honor pegawai dan pekerja lokal yang akan dibelanjakan untuk konsumsi dalam negeri. Ujungnya, uang tersebut akan memberi dampak multiplier dan memacu perekonomian. Jadi, tidak ada yang akan sia-sia.
Pertanyaan besarnya sebenarnya adalah apakah ambisi kemenangan akan menghalalkan semua cara? (*)
Terbit di Rayuan Satu Putaran