oleh Okky Madasari

Pada awal mula, segala sastra adalah religius. Demikian kata YB Mangunwijaya, sastrawan yang akrab kita sapa sebagai Romo Mangun. 

Namun apakah religius itu? 

Religius telah disalah artikan sebagai ketaatan atas ritual beragama. Seseorang yang selalu menjalankan sholat lima waktu dan rajin pergi ke gereja setiap Minggu akan dipandang sebagai seorang yang religius. Religius atau religiositas selalu dilekatkan pada agama.

Padahal bukan itu sesungguhnya makna dari religius atau religiositas. Romo Mangun yang seorang pastor itu pun melihat agama hanya sebagai simbol kelembagaan, sementara religiositas jauh lebih luas dan lebih mendalam dari sekadar sebuah simbol. Religiositas ada dalam kesadaran diri manusia, pemaknaan individu atas Tuhan, iman, dan kehidupan - yang kerap tak ada urusannya dengan ketaatan ritual. Dalam ungkapan Romo Mangun, religiositas adalah tataran isi hati, riak getaran jiwa manusia, sikap personal yang sedikit misteri bagi orang lain.

Setiap sastra pada mulanya adalah religius sebab sastra menghantarkan manusia pada pencarian dan pemaknaan. Religiositas dalam sastra tak ditentukan oleh banyaknya simbol-simbol agama atau istilah-istilah keagamaan. Meski demikian, kita bisa melihat bagaimana kini kata religi telah digunakan sebagai alat bantu pemasaran, sebuah label yang dilekatkan pada karya sastra, film, atau sinetron untuk menandai bahwa karya-karya tersebut religius - dalam arti karya-karya tersebut mengajak pembaca dan penontonnya untuk memelihara ketaatan dalam beragama. Kata religi, religius dan religiositas telah mengalami peyorasi, pendangkalan dan penyempitan makna.

Amos Ursia adalah seorang yang religius. Sebagai penyair, religiositas Amos tercermin dalam puisi-puisinya. Amos mengakrabi agama sebagai bagian dari kehidupan. 

Di tangan Amos, simbol-simbol agama tak lagi menjadi sakral dan menakutkan.Tuhan ia ajak bercanda dan masak bersama, perayaan Natal diolah dengan banal, dan Mama Maria adalah kita. 

Agama sebagai sebuah institusi, mengundang berbagai pertanyaan tentang kuasa, tentang monopoli makna, juga tentang penyelewengan iman. Amos menyentil umat yang telah jadi petinggi Mahkamah Agama, menyindir gereja yang menjelma jadi dinding tinggi, dan Natal yang tak lagi milik semua. 

Puisi-puisi Amos mengajak kita untuk menemukan Tuhan pada wajah-wajah yang kelaparan, pada tangis mereka yang jadi korban kekuasaan. Menyelami puisi-puisi Amos adalah sebuah pengembaraan batin yang membawa kita pada pada semangat religiositas baru: Religiositas Amos. 

Yogyakarta, September 2023

*Kata pengantar untuk buku puisi Amos Ursia 
 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan