Budaya selametan sangat ditonjolkan dalam novel entrok. Apa yang sebenarnya ingin disampaikan melalui budaya selametan tersebut?
Budaya selametan memang unsur penting pada seting yang diceritakan dalam Entrok, yaitu masyarakat Jawa. Di dalam novel Entrok, selametan tidak hanya hadir sebagai tempelan atau berfungsi sebagai ornamen untuk membangun latar cerita, tapi itu juga menjadi bagian dari konflik, dari inti cerita. Selametan menjadi pangkal konflik antar karakter yang masih menjalankan tradisi lokal dengan karakter yang ingin menjalankan Islam secara formal dan murni, yang menolak segala bentuk akulturasi, bahkan menganggap tradisi lokal seperti selametan merupakan hal yang sesat. Pertentangan antara dua pandangan dalam relasi manusia dengan tuhannya merupakan salah satu konflik utama yang dihadirkan oleh Entrok.
Terkait dengan nilai pendidikan karakter. Menurut penulis tokoh mana yang dianggap memiliki nilai pendidikan karakter religius serta alasanya?
Religiusitas bagi saya bukanlah sebuah sikap atau nilai yang terbatas pada ketaatan dalam menjalankan ibadah. Religiusitas merupakan penghayatan atas relasi manusia dengan tuhannya, dengan sesama manusia, dengan lingkungannya. Tuhan di sini juga tidak terbatas pada Tuhan dalam agama samawi yang biasa kita sebut Allah.
Seorang Marni dalam Entrok memiliki tuhan yang ia sebut sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Laku spiritual dan keberagamaan Marni tidak pernah diatur dalam sebuah kitab suci atau aturan-aturan tertulis. Ia juga tak pernah dijanjikan keberadaan surga dan neraka. Dalam laku spiritual Marni, yang menjadi dasar adalah nilai kebaikan dan kemanusiaan. Ia menjadikan hukum sebab-akibat dan logika kehidupan sehari-hari sebagai sebuah hukum nilai tertinggi tanpa berpikir soal kehidupan setelah mati. Tanpa menjadi penganut agama formal tertentu, karakter Marni mewakili sosok karakter yang religius.
Wawancara dengan Novita Herdiawati, S2 UNS, Desember 2019