Oleh : Tommy F Awuy
Kehidupan adalah sebuah mesin repetisi. Semua makhluk hidup terkenai repetisi dan manusia mengalaminya secara khas dan kompleks. Sekalipun pada dasarnya tak sanggup ke luar dari repetisi namun manusia menghadapinya dengan segala perlawanan dalam sepanjang hidupnya. Hal itu dilakukannya, sadar atau tidak, dengan berbagai macam potensi diri yang menunjukan perbedaannya dengan makhluk hidup lainnya. Kesadaran menghadapi dan mengatasi repetisi kehidupan membuat manusia berjarak dengan dunia kehidupannya sendiri. Jarak inilah yang kita sebut pengetahuan.
Novel Okky Madasari, 86, sudah sejak awal cerita mengemukakan problem manusia yang paling mendasar ini. Manusia memang makhluk repetitif namun masing-masing kita menjalankannya dengan cara berbeda. Tokoh utama novel ini, sarjana yang kebetulan menjadi seorang pegawai negeri rendahan, juru ketik dan foto kopi di sebuah institusi pengadilan negeri, punya cerita hidup repetisinya sendiri.
Repetisi merupakan narasi kehidupan yang mengandalkan bagaimana setiap diri manusia, suka atau tidak, bagian dari hukum alam atau cerita yang memiliki awal dan pasti ada akhirnya sebagai sebuah rangkaian historik. Kesadaran manusia atas hukum ini berjalan secara intuitif. Mudah saja pemahamannya bahwa ketika kita sadar sebagai makhluk hidup maka pasti kita akan mati dan tak seorang pun dapat mengelaknya. Kenyataan inilah sebagai repetisi.
Repetisi bukan berarti tanpa perubahan dan di dalam perubahan repetisi itu akan tetap hadir. Apa yang kita maksudkan bahwa sebuah perjalanan hidup manusia senantiasa berlangsung atau memiliki fase-fase tertentu, hal itu tak lain karena repetisi mengalihkan dirinya ke ruang dan semangat yang berbeda.
Repetisi merupakan sebuah tantangan bagi manusia dan setiap tantangan butuh semangat tertentu untuk mengatasinya yang dalam pengertian keseharian kita menyebutnya sebagai ujian lalu dari sini kita mengadu nasib. Oleh Okky Madasari, tokoh Arimbi dihadapkan pada aduan nasib yang berawal dari kesadaran yang polos tapi secara perlahan dan pasti masuk ke sebuah konstruksi kehidupan yang paradoks, pelik tapi gampang (86).
Repetisi paradoksal menurut hemat saya merupakan jantung persoalan dalam novel 86 ini. Cerita tentang sebuah kepolosan yang memasuki narasi hidup yang pelik dengan variabel demikian menggoda : damai=cincai, 86, dalam sebuah perkara. Betapa pun suatu hal dianggap tak lazim namun jika dipraktikan terus-menerus, repetitif, maka segera atau nanti hal itu akan menjadi biasa, selazim-lazimnya, yakni apa yang kita sebut budaya.
Arimbi mengalami repetisi dalam sebuah fase, sekitar empat tahun lamanya dengan hanya menyadari bahwa kerjaannya mengetik berkas perkara pengadilan dan memfotokopi lalu diserahkan pada atasannya.
Hingga suatu waktu ada yang menyelinap dalam repetisi itu yang membuat hidup Arimbi berubah secara sangat signifikan, yakni 86 atau uang pelicin perkara yang disodorkan oleh pengacara.
Arimbi seorang gadis desa yang khas, lugu. Dengan berstatus pegawai negeri derajat hidup keluarganya di desa menjadi tersanjung sekalipun Arimbi sendiri merasa getir memikirkan bagaimana kalau mereka tahu hidup kesehariannya yang miskin di kota, kost di tempat kumuh, bagai tak berpengharapan karena gaji pas-pasan.
Bagaimana mungkin terbayang oleh Arimbi ketika suatu ketika dia harus menerima nasib dipenjara gara-gara terperangkap dalam praktik 86 yang sudah membudaya di tempat kerjanya, lembaga pengadilan negeri? Suatu hal yang ironis hal itu dialaminya saat dia baru saja menikah dengan laki-laki yang sangat dicintainya.
Di penjara dia mengalami fase atau situasi repetitif yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dia diajarkan sebagaimana lazimnya nilai-nilai keagamaan soal heteroseksual namun pada kenyataannya dia bisa menikmati hubungan seksual sejenis dan mau tak mau harus melatih diri untuk mampu menyimpan rahasia itu pada suaminya yang tetap rajin mengunjunginya. Repetisi hidup dalam penjara sangat jelas membangun mentalitas atau paradigma baru Arimbi.
Repetisi-paradoks Arimbi ternyata menghantarkannya pada bagian tragedi yang mendalam. Bukan hanya sisi seksualitasnya yang dibenturkan di dalam penjara namun kepoloson mentalnya dirasuk oleh keadaan yang memaksakannya untuk menjadi anggota pengedar sabu-sabu bahkan melibatkan suaminya sendiri demi kesehatan sang ibu tercinta.
Repetisi-paradoks dari kepolosan diri Arimbi dan situasi kompleks yang dia alami nampaknya mengingatkan kita pada pergulatan klasik hidup manusia antara keinginan atau pilihan individual dengan kehendak masyarakat. Bagi Okky Madasari, institusi pengadilan dan budaya 86 terasa sudah cukup untuk membuka borok kehidupan masyarakat dalam kesehariannya. Arimbi yang disimbolkan sebagai yang polos ternyata terhimbas oleh semangat yang tak lagi punya rasa malu, demi uang. Institusi masyarakat nyaris sebuah jebakan melululantakan kepolosan sang individu. Ruang kehidupan pun lalu tak lagi berjarak baik ke luar maupun di dalam sama-sama gelap rupa. Tak ada jalan ke luar, sebagaimana Arimbi tak kuasa menerima nasib suaminya yang tertangkap oleh aparat sebagai pengedar sabu-sabu. ***
Tommy F Awuy, pengajar di Departemen Filsafat UI. Makalah ini disampaikan dalam diskusi “Kebangkitan Sastra Realis Indonesia” yang diselengarakan mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, UI, 28-29 Maret 2011.