oleh Okky Madasari
Apa yang bisa dicapai sebuah bangsa dalam usia 21 tahun? Semaju apakah sebuah negara yang sudah merdeka selama 78 tahun? Bagaimana bisa sebuah negara yang usianya 20 tahun lebih muda dari Indonesia menjadi salah satu yang termakmur dan termaju di dunia?
Pertanyaan-pertanyaan itu menggelayuti pikiran saya dalam kunjungan ke Dili, Timor-Leste, pekan pertama bulan Juli lalu. Kedatangan saya kali ini untuk menghadiri pelantikan Perdana Menteri Timor-Leste, Xanana Gusmao atas undangan dari Presiden Timor-Leste, Jose Ramos-Horta.
Mendengar dua nama itu, mungkin banyak dari kita akan berpikir “itu lagi, itu lagi”. Xanana dan Ramos-Horta merupakan pejuang kemerdekaan Timor-Leste sejak wilayah bekas jajahan Portugis tersebut dianeksasi Indonesia tahun 1975 hingga akhirnya merdeka tahun 2002. Selama pendudukan Indonesia, Xanana sempat dipenjara di Cipinang, sementara Ramos-Horta hidup berpindah dari satu negara ke negara lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negaranya melalui jalur diplomasi. Keduanya adalah pendiri negara Timor-Leste, pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dan Presiden, dan kini keduanya kembali terpilih untuk memimpin negara tersebut.
Sekilas, bisa dikatakan negara muda ini gagal menyiapkan generasi baru pemimpin mereka. Namun, jika dilihat lebih seksama dan menyeluruh, kegagalan regenerasi di usia yang baru 21 tahun ini bukanlah sebuah kegagalan dalam upaya sebuah bangsa untuk berdikari dan mencapai kemajuan.
Kita bisa membandingkan dengan Indonesia pada usia dua puluh tahun. Upaya kudeta terjadi tahun 1965 yang kemudian diikuti dengan pembantaian ratusan ribu rakyat di berbagai daerah. Regenerasi kepemimpinan memang terjadi setahun setelahnya, dengan pergantian kepemimpinan dari Sukarno ke Soeharto. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar untuk itu, termasuk utang nyawa dan utang keadilan yang hingga hari ini belum tertuntaskan.
Bagi perjalanan sebuah bangsa, dua puluh tahun adalah periode yang singkat. Pada dua dekade pertama, sebuah negara yang baru merdeka akan penuh dengan gejolak dan ketidakstabilan, rentan dengan konflik dan perpecahan, sementara di satu sisi kemiskinan menjadi masalah nyata yang harus dientaskan. Demikian juga dengan kualitas sumber daya manusia - yang menjadi syarat utama dari regenerasi dan kemajuan sebuah bangsa.
Meski demikian, Timor-Leste di usia yang masih sangat muda ini bisa meraih indeks demokrasi tertinggi di Asia Tenggara, jauh mengalahkan Indonesia. Timor-Leste juga meraih skor tinggi dalam kebebasan pers - yang tentu saja jauh di atas Singapura. Wilayah yang telah melewati konflik berkepanjangan itu, kini juga dengan bangga menunjukkan betapa negaranya adalah negara yang damai, yang menerima tamu dari mana saja dengan tangan terbuka.
Tiga Negara
Agustus ini, Indonesia sudah merdeka selama 78 tahun. Pada bulan yang sama 58 tahun yang lalu Singapura juga menjadi negara yang berdaulat. Sementara itu, Timor-Leste baru merdeka selama 21 tahun.
Dari kondisi tiga negara di atas terlihat bahwa lamanya suatu negara lepas dari penjajahan dan menjadi negara yang merdeka tidak menentukan maju tidaknya suatu bangsa atau makmur tidaknya rakyat negara tersebut.
Ukuran luas suatu negara dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya juga bukan sebuah jaminan. Indonesia masih terperangkap dalam jebakan negara pendapatan menengah (middle-income trap) tanpa dapat melompat menjadi negara maju (high-income country). Bukannya naik kelas, Indonesia di masa pemerintahan Presiden Jokowi bahkan sempat diturunkan kelasnya oleh Bank Dunia dari negara golongan menengah atas (upper-middle income) menjadi golongan menengah bawah (lower-middle income) pada 2021 lalu.
Bandingkan dengan Singapura yang meskipun luasnya hanya kira-kira sebesar Jakarta serta hampir tidak mempunyai sumber daya alam, dapat menjadi salah satu negara termakmur di dunia dengan pendapatan per kapita rata-rata sebesar hampir USD 83.000 (sekitar 1.3 miliar rupiah) atau hampir 20 kali pendapatan perkapita rata-rata penduduk Indonesia yang sebesar USD 4.700.
Banyak pihak yang akan dengan cepat mengejek perbandingan ini dengan alasan bahwa Singapura kan negara kecil dan jauh lebih mudah diatur. Padahal justru itu poinnya, kenapa negara sekecil itu, bisa semaju itu.
Resep utama dari kemajuan Singapura ada pada kreativitas dan kualitas sumber daya manusia. Ketika sebuah bangsa tidak memiliki kekayaan alam, satu-satunya hal yang harus mereka lakukan adalah memikirkan cara-cara kreatif untuk bertahan hidup. Ini yang sepertinya berbeda dengan sebuah bangsa yang beruntung dianugerahi segala kekayaan alam yang melimpah. Keyakinan atas tanah yang subur, yang tanpa perlu kerja keras akan memberi hasil yang melimpah - terlanjur terpatri di benak kita, dari pemimpin hingga rakyat. Sebagaimana lagu Koes Plus orang bilang tanah kita tanah surga / tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Karakter Singapura yang selalu merasa tak pernah aman memaksa mereka untuk sangat berhati-hati dalam melangkah. Mereka membuat aturan hukum yang sangat tegas, menata masyarakatnya sedemikian rupa, sebab mereka tahu bahwa mereka tak punya apa-apa yang bisa diandalkan.
Timor-Leste sebagai negara muda yang juga kecil dan miskin sumber daya alam, namun memiliki tekad besar untuk maju dan memakmurkan rakyatnya, telah memiliki contoh nyata dari dua negara tetangganya - Indonesia dan Singapura. Ia dapat belajar dari kelebihan-kelebihan Singapura dan kekurangan-kekurangan Indonesia tanpa beban sebelum semuanya terlambat dan terlalu mahal.
Sementara bagi Indonesia, Timor-Leste adalah sebuah pengingat lembut, bahwa jika kita tak berhati-hati dalam mengelola kekayaan kita, bukan hal mustahil jika dua puluh tahun mendatang negara tersebut akan melampaui kita. ***
Terbit di Jawa Pos