Oleh: Okky Madasari
Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom
Hari itu, puluhan ribu orang berdesakan di jalanan di kotaku. Semuanya memakai baju putih, berbaris rapi, bergandengan tangan, senyap tanpa suara. Mereka datang dari banyak kota, berrombongan dalam bus-bus besar, berdesakan dalam gerbong-gerbong kereta, juga berjalan kaki berhari-hari.
Hari itu, hujan deras turun sejak pagi. Barisan orang-orang berbaju putih itu kuyup, namun tetap berdiri gigih di bawah hujan. Dari kejauhan mereka seperti tissue-tissue basah yang berserakan di sepanjang jalanan Jakarta yang basah.
Kami melihat semua itu di depan televisi di ruang tamu rumah kami. Aku tak masuk kerja karena kantorku libur hari ini. Ibu duduk sambil mengiris wortel, kentang, dan merajang bawang merah. Ia bawa semua sayur yang akan dia masak hari ini, juga telenan dan baskom besar penuh air ke depan televisi. Sementara Bapak duduk di kursinya, kursi yang selalu didudukinya sepanjang hari sejak ia kena stroke tiga tahun lalu. Adikku yang mahasiswa semester pertama berdiri di dekat pintu sembari terus gelisah memeriksa handphone-nya.
Bapak tak berhenti mengomel sejak pagi. Ia memang semakin sering marah-marah sejak kena stroke, tapi tak pernah seperti hari ini. Garangnya mulut laki-laki tua itu tak sebanding dengan tubuhnya yang tak lagi mampu melakukan apa-apa. Sering aku tak paham apa yang ia ucapkan. Persis seperti orang pikun yang hanya sedang bicara pada dirinya sendiri. Tapi hari ini, setiap kata-katanya jelas terdengar dan setiap kemarahannya bisa membuat siapapun ikut tergetar.
“Rusak… rusak… rusak ini negara. Gara-gara satu orang, ribut semua satu negara,” kata Bapak dengan mulutnya yang agak peyot setelah kena stroke.
Bapak selalu berkata-kata setiap kali penyiar TV bicara. Sehingga kami tak terlalu jelas mendengar siaran televisi. Kami hanya bisa melihat gambar, menyaksikan barisan orang-orang yang terguyur hujan, membaca spanduk-spanduk yang dibentangkan, dengan suara Bapak yang seolah menerangkan semuanya.
“Siapapun boleh menghina kita, tapi tak satu orang pun boleh menghina agama kita. Apalagi kalau dia seorang kafir.”
Bapak bicara layaknya ia seorang ahli agama. Padahal, kami semua di rumah ini tahu, Bapak bukan orang seperti itu. Sepanjang usiaku yang sudah mau dua puluh sembilan tahun ini, belum pernah sekalipun kulihat Bapak salat selain salat Jumat. Ia puasa setiap hari pertama Ramadan hingga paling lama lima hari berikutnya. Setelah itu, ia akan mengendap-endap menuju dapur, mengambil makan dan melahapnya di pojokan dapur. Kalau hari kerja, ia akan mampir ke warung-warung yang agak jauh dari kantornya, agar tak ada yang tahu dia sedang tak puasa. Lalu ketika bedug Maghrib terdengar, Bapak akan minum teh manis hangat dan makan kolak yang dibuat ibu untuk kami semua, seolah-olah ia berpuasa sepanjang hari.
“Astaghfirullah… astaghfirullah!” Bapak berteriak keras hingga membuat kami semua kaget dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa, Pak?” seru Ibu sambil berdiri lalu berjalan mendekati Bapak.
Ibu memeriksa keadaan Bapak dan Bapak malah jadi marah-marah.
“Apa?!” hardik Bapak saat Ibu mulai menyentuh tubuhnya. “Itu lho… Itu! Negara kita sedang geger seperti itu. Agama kita seenaknya dihina… ini kalian malah ribut sendiri di sini!”
“Oalah… kupikir ada apa,” kata Ibu sambil berjalan kembali ke tempatnya mengiris sayuran. “Urusan negara sudah banyak yang ngurus. Jangan sampai bikin kita sendiri malah jantungan.”
“Lha ini… orang-orang macam kamu ini yang bikin rusak semuanya. Apa jadinya kalau kita sendiri sudah tak peduli saat agama kita dihina orang? Ya kayak gini ini jadinya. Kafir berkuasa. Munafik di mana-mana. Termasuk kalian ini. Munafik semuanya.”
“Ngomong apa tho, Pak…” Ibu berkata pelan, entah apakah Bapak bisa mendengarnya atau tidak.
“Ngomong apa… ngomong apa!” Bapak berteriak. Ternyata dia bisa mendengar kata-kata Ibu. “Itu lihat yang di TV itu!”
“Matikan sajalah TV-nya!” Kataku saat telingaku sudah tak tahan lagi mendengar omelan Bapak.
“Matikan apanya? Bunuh dulu aku kalau mau matikan TV-nya.”
Aku mendadak seperti anak kucing yang tiba-tiba disiram seember air. Menggigil ketakutan dengan mata memerah menunggu pertolongan.
Aku tak mengira Bapak akan sedemikian marahnya mendengar kata-kataku. Tentu aku tak benar-benar ingin mematikan TV. Aku hanya ingin sedikit menggertak Bapak agar tak terus-terusan mengomel tanpa arah. Memang bukan aku yang sedang diomeli, tapi telingaku perih rasanya mendengar semua kata-katanya. Mau keluar rumah masih hujan deras. Lagipula siapa yang berani keluar rumah ketika semua jalanan penuh dengan orang seperti itu. Karena itu juga kantorku memilih meliburkan semua karyawannya hari ini.
“Kalian semua harusnya malu dengan mereka.” Bapak kembali bicara. Kali ini jelas-jelas ditujukan ke kami. “Orang-orang datang dari jauh, kehujanan seperti itu, sementara kalian ini apa? Hanya malas-malasan di rumah. Itu juga tanda munafik!”
Kami semua diam. Tak ada yang menanggapi kata-kata Bapak. Suara pisau Ibu semakin terdengar keras beradu dengan telenan kayu yang jadi alas. Adikku masih juga berdiri di pintu, sibuk dengan HP-nya dan pura-pura tak mendengar omongan bapak. Hujan kian deras di luar, sesekali terdengar kilat. Di televisi, barisan orang-orang berbaju putih semakin memadati jalanan, berbaris rapat di tengah guyuran hujan.
“Kalau aku masih sehat, pasti sudah ada di jalanan aku sekarang. Jihad!”
Kami semua masih diam.
“Sekarang aku tak bisa apa-apa. Punya anak tak bisa diuntung. Sibuk urusan dunia. Tak ada yang peduli orangtuanya, apalagi peduli agamanya.”
“Paaak!” Aku tak tahan untuk tak bersuara. “Terserah Bapak mau bicara apa saja, tapi jangan ngomong kayak gitu soal anakmu sendiri.”
“Lha ya seperti ini, anak malah berani sama bapaknya sendiri. Kebanyakan makan duit orang Cina kamu tuh!”
“Pak!”
“Sudah… Sudah.” Ibu bicara sambil tetap mengiris sayuran.
“Sudah apanya, Bu?” tanya Bapak.
“Ya, sudah. Diam semuanya. Negara mau ribut juga nggak ada urusannya sama kita.”
“Nggak ada urusannya sama kita gimana?” tanya Bapak dengan suara tinggi. “Kalian mau negara kita dipimpin sama orang kafir?”
“Mau kafir mau bukan, nggak ngaruh sama kita,” jawab Ibu dengan nada datar.
Sama sekali tak ada kemarahan dalam kata-kata ibu. Barangkali karena ia sudah sangat kebal dengan sifat Bapak. Sudah biasa mendengar omelan Bapak, sepanjang hari selama tiga tahun ini. Barangkali juga karena ia sama sekali tak peduli dengan apa yang terjadi di luar sana, dengan yang sedang sama-sama kami tonton di televisi.
“Ya ini, gara-gara ibunya kayak gini ini, anak-anak kita sekarang kayak gini.”
Ibu diam. Aku juga tak punya kata-kata untuk membela diri.
“Lihat itu anak laki-lakimu, Si Arman. Cuma sibuk saja main HP. Mau jadi apa kamu, Man?”
“Yaelah, Pak.” Adikku akhirnya bersuara. “Santai dikit kenapa?”
“Santai…santai! Kamu lihat itu di TV! Orang-orang itu turun ke jalan, hujan-hujanan, demi agama kita. Kamu cuma santai-santai?”
“Terus mau apa lagi, Pak?”
“Kamu dengar tidak Bapak ngomong apa?”
“Iya, dengar. Makanya saya tanya, terus saya mesti gimana?”
"Tuh, Bu, lihat kelakuan anakmu!”
“Punya dua anak nggak bener semua. Anak laki-laki nggak bisa diharapkan jadi imam. Yang perempuan cuma sibuk ngejar uang, lupa kodrat!”
“Pak!” Aku berteriak keras. Hingga kurasakan kerongkonganku nyeri setelahnya. Selain agar suaraku bisa beradu dengan suara petir dan hujan, juga karena luapan kemarahan yang tak bisa lagi kutahan.
“Bapak ini maunya apa sih?” Kini suaraku melunak, karena kembali kusadari Bapak hanyalah seonggok tubuh tua yang tak lagi bisa berbuat apa-apa selain bicara.
Bapak tak menjawab. Pandangannya lurus ke televisi. Sekarang orang-orang berbaju putih itu tampak sedang salat bersama-sama. Hujan masih turun dengan deras, di tayangan televisi juga di luar rumah kami.
“Bapak mau mati saja.” Kini Bapak menjawab dengan datar, tidak lagi berteriak-teriak penuh amarah. “Tidak sudi Bapak dipimpin orang kafir.”
“Ya Allah, Paaak….!” Aku berseru dengan sengaja memanjangkan kalimatku. Aku ingin Bapak tahu betapa menjengkelkan mendengar semua omongannya ini. Omongan yang sama sekali tak menarik dan tak penting untuk keluarga kami.
“Bapak juga nggak mau lama-lama hidup sama orang munafik.”
“Bapak butuh minum obat kali tuh, Bu,” kata adikku dengan nada setengah mengejek.
“Ini, kelakuan anak seperti ini, yang bikin aku pilih cepat mati saja,” teriak Bapak.
Aku mendengar adikku cekikikan.
“Man…!” Aku menegurnya. Bagaimanapun aku tak mau adikku tak sopan sama Bapak.
“Ya sudah,” kata Arman sambil memasukkan HP ke kantongnya. “Saya pergi dulu, Pak, mau ikut jihad.”
Tanpa menunggu jawaban, Arman keluar rumah tanpa payung, menembus hujan yang lebat.
Kini tinggal kami bertiga. Ibu masih saja sibuk dengan pisaunya. Televisi masih tetap menayangkan gambar orang-orang berbaju putih yang memadati jalanan. Hujan tak juga kunjung reda.
“Daripada ngurusi negara, pusing kofar-kafir, mending doakan anak perempuanmu ini tak jadi perawan tua,” kata Ibu sambil mengiris bawang merah.
“Bu!” Aku membentak Ibu. Kata-katanya membuatku terkejut, marah, sekaligus malu. Bertahun-tahun, sejak sebelum Bapak stroke hingga hari ini, selalu saja semua pembicaraan berakhir di soal ini. Inilah yang membuatku selalu beralasan lembur setiap hari agar sampai rumah larut malam, langsung masuk kamar dan tidur, lalu berangkat lagi keesokan pagi. Setiap kali libur, aku juga selalu keluyuran, ke mana saja asal tidak di rumah.
“Ya ini tadi yang aku bicarakan dari tadi,” kata Bapak. “Lupa kodrat. Tak ada bedanya dengan orang munafik.”
“Pak!” Aku berseru sambil berdiri. Tanpa kata-kata aku keluar dari rumah meninggalkan Bapak dan Ibu berdua bersama televisi yang masih menyala. Hujan masih lebat dan puluhan ribu orang berbaju putih masih berbaris rapat di sepanjang jalan.
Februari 2017
***
Cerita pendek ini terbit dalam buku kumpulan cerita Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (Gramedia Pustaka Utama, 2017). Sebelumnya juga terbit di Detik.com Saat Ribuan Manusia Berbaris di Kotaku