Bisa ceritakan bagaimana ide dan proses kreatif Mata di Tanah Melus juga berapa lama pembuatannya?

Ide Mata di Tanah Melus hadir saat saya dikirim oleh Badan Bahasa ke Belu, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 2016. Badan Bahasa memiliki program pengiriman sastrawan ke daerah-daerah terluar, terpencil, tertinggal. Saya adalah satu dari sastrawan angkatan pertama yang mendapat kesempatan itu.

Saya berangkat ke Belu dengan membawa anak saya yang saat itu baru berusia 2 tahun. Saya jadi melihat banyak hal dari sudut pandang yang berbeda. Dari situlah saya yakin untuk menulis karya fiksi untuk anak-anak yang terinspirasi dari perjalanan kami ke Belu.

Saya mulai menulis sepulang dari Belu November 2016 dan menyelesaikannya Oktober 2017 di Iowa saat saya mengikuti fall residency dari International Writing Program. Mata di Tanah Melus terbit Januari 2018.

 

Saya jadi teringat beberapa kisah penulis cerita anak dari luar seperti Alan Alexander Milne yang menulis dan menciptakan kareakter Winnie The Pooh untuk anaknya. Apakah Mbak Okky juga demikian? Atau adakah motif lain yang mendasari Mbak Okky untuk menulis cerita anak?

Ya, keinginan saya menulis cerita anak baru ada setelah saya memiliki anak. Sebelumnya sama sekali tak terpikir bahwa suatu saat saya akan menulis cerita untuk anak. Anak saya suka dibacakan cerita. Saya pun mulai mencari dan membaca cerita-cerita anak. Di titik itu pula saya sadar betapa terbatasnya pilihan cerita anak Indonesia. Kebanyakan adalah cerita-cerita terjemahan.

 

Mengapa Mbak Okky mengambil seting lokal?

Saya menulis novel anak setelah menulis dan menerbitkan lima novel dan satu kumpulan cerita. Karya-karya saya selalu mengangkat persoalan-persoalan dalam masyarakat khususnya masyarakat kita di Indonesia dengan berbagai seting, mulai dari pedesaan Jawa hingga kehidupan urban di Jakarta, cerita minoritas di Lombok hingga cerita pasca-konflik di Ambon. Ketika menulis cerita anak, saya sama sekali tak meniatkan bahwa itu haruslah berseting lokal. Tapi ketika saya melakukan perjalanan ke Belu dan terinspirasi, kenapa tidak?

Di sisi lain, sebagai penulis dan pembaca saya juga sadar tentang keterbatasan cerita yang berlatar daerah-daerah di nusantara. Padahal ini adalah sumber cerita yang luar biasa. Bukan hanya sekadar soal eksotisme, tapi soal persoalan nyata masyarakat Indonesia dengan berbagai latar belakang kehidupannya.

 

Apakah ada kesulitan dalam menulis cerita anak? Seperti apa?

Bagi saya, proses kreatif menulis cerita anak tak berbeda dengan proses kreatif saya saat menulis cerita untuk orang dewasa. Tingkat kesulitannya sama, upa yang harus dilakukan juga tak berbeda. Yang membedakan hanyalah dalam menulis cerita anak saya harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang anak-anak. Di titik ini bisa jadi menulis cerita anak justru jadi lebih sulit daripada menulis cerita untuk dewasa.

Saya sama sekali tak sepakat bahwa dalam menulis cerita anak kita harus membuatnya lebih mudah, bahasanya dibuat sok anak-anak, sengaja untuk membuatnya tidak terlalu nyastra dan sebagainya. Tidak, tidak seperti itu. Yang harus dilakukan adalah melihat dari sudut pandang anak-anak. Dengan demikian, karakter, bangunan konflik, rangkaian plot, dan seluruh cerita akan terlain menjadi semesta anak-anak.

Dan saya percaya, cerita anak yang baik adalah cerita yang juga bisa dinikmati oleh pembaca dewasa.

 

Kita mengetahui bahwa peredaran buku-buku cerita anak dari luar sangat memengaruhi literasi anak-anak kita. Meskipun pesan yang disampaikan baik, tetapi bagaimana Mbak Okky melihat persaingannya dengan buku-buku cerita anak kita?

Masalah utamanya adalah buku cerita anak yang ditulis penulis Indonesia masih sangat terbatas. Dalam jumlah yang terbatas itu, makin terbatas pula yang ceritanya menarik, original, dan bisa berpengaruh bagi anak. Sementara buku-buku anak dari luar semakin mendominasi di toko buku. Promosi buku anak dari luar pun juga lebih marak ditopang oleh film, tayangan Youtube dan sebagainya. Akibatnya orangtua pun jadi lebih kenal dengan buku cerita dari luar dan memilih membelikan buku cerita anak dari luar untuk anaknya.

Tak ada yang salah dengan membelikan buku cerita dari luar untuk anak. Saya pun melakukannya karena itu juga bagian dari upaya memperluas cakrawala. Tapi ketika ada buku anak dari penulis Indonesia yang bercerita tentang masyarakat Indonesia saya tentu akan menjadikan buku itu prioritas untuk dibeli dan dibaca oleh anak saya maupun oleh saya sendiri.

 

Apakah buku-buku cerita anak Indonesia dapat bersaing dengan cerita anak di luar?

Setidaknya setahun terakhir ini saya banyak membaca cerita anak dari luar maupun dari dalam negeri. Selain untuk keperluan riset saya dalam menulis cerita anak juga untuk saya bacakan pada anak saya.

Tentu saja tak semua buku cerita anak Indonesia bisa bersaing dengan cerita anak di luar. Tapi kita punya buku-buku cerita anak yang berkualitas yang saya yakin sesungguhnya bisa bersaing. Sebut saja karya Djoko Lelono atau yang lebih baru karya Clara Ng.

Kita betul-betul butuh cerita anak yang ditulis dengan serius, tidak sekadar asal ada gambar atau sekadar ada pesan moral.

 

Bagaimana tanggapan Mbak Okky mengenai cerita anak kita di masa kini?

Karena jumlahnya terbatas, otomatis ragam ceritanya pun tak terlalu beragam. Saat saya berusaha mencari buku anak lokal, yang banyak adalah cerita-cerita anak Islami yang tujuannya memang untuk menanamkan nilai-nilai keislaman sejak dini. Persoalan dengan buku-buku cerita macam ini adalah tidak menawarkan imajinasi dan keluasan cara pandang bagi anak sebab memang tujuannya untuk dakwah.

 

Menurut Mbak Okky, apa kekurangan buku cerita anak kita?

Cerita dan penulisan yang dibuat asal-asalan karena menganggap anak-anak memiliki daya tangkap rendah. Juga seperti yang sudah saya sampaikan, semangat untuk sekadar berdakwah.

 

Apa yang harusnya dimiliki oleh penulis cerita anak kita?

Imajinasi dan pikiran yang kritis. Saya percaya bahwa anak-anak sesungguhnya sangat cerdas. Orang dewasa kerap memandang rendah, karenanya ketika menulis sengaja dibuat mudah dan sebagainya. Banyak juga yang berpikir menulis cerita anak itu mudah, lebih mudah daripada menulis cerita untuk orang dewasa. Itu salah besar!

Dengan memiliki pikiran kritis, seorang penulis cerita anak akan mampu menangkap pertanyaan-pertanyaan yang hadir dalam benak anak ketika melihat realita di sekelilingnya. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah sesungguhnya sebuah cerita lahir.

 

Cerita anak seperti apa yang menurut mbak Okky baik untuk anak-anak zaman sekarang, ketika era digital dan kemajuan teknologi turut menghiasi imajinasi anak-anak?

Yang membawa anak-anak ke dunia baru yang berbeda dari yang sehari-hari ia jumpai. Dunia baru di sini bukan melulu soal tempat, tapi cara berpikir, situasi, interaksi manusia, dan sebagainya.

 

Bagaimana kiranya agar anak-anak tetap suka membaca buku anak?

Pertama, orangtuanya harus suka membaca. Membaca buku harus menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari dalam keluarga. Yang menjadi masalah sekarang ini adalah banyak orangtua ingin anaknya membaca, mereka mampu membelikan berbagai buku, tapi mereka sendiri tak pernah membaca buku.

Kedua, tentu saja dengan  memberikan buku anak yang menarik.

 

Apa harapan terbesar mbak Okky terhadap buku ceria anak Indonesia?

Semoga semakin banyak penulis Indonesia yang menulis cerita anak dengan beragam tema, seting, dan gaya penulisan.

 

Apakah ke depannya Mbak Okky akan terus menulis cerita anak?

Menulis sudah menjadi jalan hidup saya. Apakah novel, cerita pendek, atau cerita anak, semuanya adalah bagian dari karya-karya yang akan terus saya lahirkan. Mata di Tanah Melus adalah cerita anak pertama yang saya tulis dan jelas bukan yang terakhir.

Saya selalu percaya pada kekuatan sebuah cerita dalam membentuk kesadaran dan cara pikir pembaca. Dalam cerita anak, pembaca adalah anak-anak, rentang usia yang sangat penting dalam membentuk karakter manusia. Maka bagi saya sekarang, menulis cerita anak sama pentingnya dengan menulis cerita untuk dewasa. Menulis cerita anak adalah bagian dari kerja ideologis dan pertarungan diskursus dalam membentuk karakter manusia yang akan mewarnai masyarakat kita di masa depan.

 

Buku apa dan tentang apa yang sedang Mbak okky persiapkan saat ini?

Nah ini, saat ini saya sedang mempersiapkan novel anak-anak saya yang berikutnya setelah Mata di Tanah Melus. Setelah menulis lima novel dan satu kumpulan cerita, saatnya saya untuk sejenak istirahat dari semesta orang dewasa, keluar dari perangkap kenyamanan dalam proses kreatif, sekaligus saatnya untuk kembali membaca banyak buku, mengasah pikiran dan mengosongkan diri agar bisa terbangun imajinasi-imajinasi baru. Menulis cerita anak menjadi salah satu cara saya untuk memberi jeda dalam rutinitas saya menulis cerita untuk orang dewasa.

Banyak yang bertanya, kapan saya kembali menulis dan menerbitkan karya untuk orang dewasa. Jawab saya, “Nanti, setelah tahun politik usai!” Haha. ***

 

Wawancara dengan Jurnal Ruang, Februari 2018

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan