oleh: Okky Madasari
Perahu itu terus bergerak ke kiri dan ke kanan, membumbung tinggi, terhempas, beberapa saat mengapung tenang, tapi kemudian seketika ombak menampar hingga membuat kuyup penumpangnya. Si ibu memeluk erat anak perempuannya yang terus menangis. Anak perempuan itu baru berumur dua tahun lewat beberapa minggu. Sementara bocah laki-laki yang umurnya belum juga delapan tahun itu berdiri tegak, berkacak pinggang, dengan dagu dinaikkan. Ia seperti sedang ingin menantang ombak, menantang langit, menantang seluruh ketakutan yang ada di hadapannya. Sementara sang ayah berdiri di ujung perahu dengan memegang galah panjang, berusaha untuk terus menjaga perahu itu agar tak terbalik dan karam meski ombak menghantam.
“Kita harus berhenti,” teriak si ibu.
Tak ada yang menjawab teriakan itu. Bocah laki-laki itu sebentar menengok ke arah ibunya, melihat adiknya yang terus menangis, lalu melihat ke ayahnya yang tetap teguh memandang ke lautan.
“Anakmu ini sakit. Kita harus menepi.” Lagi-lagi si ibu itu berteriak, kini sambil menangis. Sementara anak yang ada di dekapannya tak juga mau menghentikan tangis.
Bocah laki-laki itu kini menatap ayahnya. Mata mereka bertemu, tapi kemudian buru-buru ayahnya mengalihkan pandangan, menatap ke daratan yang membentang tak sampai berpuluh kali hempasan ombak di hadapannya.
“Kita mau berhenti di sini, Yah?” tanya si bocah.
“Ini bukan tempat yang mau kita tuju.”
“Tapi adik sakit, Yah.”
Si ayah tetap diam. Kini ia memandang jauh ke daratan. Barisan perahu-perahu di tepian, kapal besar yang berlalu-lalang, aroma padi dan gandum, nasi atau roti, yang sudah hampir seminggu ini mereka rindukan.
“Kita bisa berhenti sebentar, sampai anakmu ini sembuh.” Kini sang istri berujar pelan, tak lagi dengan suara tinggi dan teriakan. “Kita juga harus mencari makanan.”
Sang ayah tetap diam. Si istri pun sudah tak mampu lagi berkata-kata, sementara anak yang ada dalam dekapannya terus menangis.
Seminggu sudah mereka berada di lautan. Meninggalkan pulau yang telah puluhan tahun mereka diami, pulau yang telah menjadi rumah mereka sejak lahir. Mereka memilih pergi, menuju pulau besar, benua lain di selatan sana. Sebuah tanah baru yang menjanjikan kehidupan baru untuk mereka. Kehidupan yang aman, tenang, dan memberi kebebasan untuk mereka melakukan apa saja selama tak mengganggu orang lain. Kehidupan baru yang tak lagi menyoal cara mereka berdoa dan tuhan mana yang mereka imani.
Mereka tinggalkan semua yang mereka miliki; rumah dan isinya, sisa-sisa keluarga dan teman-teman yang makin lama seperti orang yang tak mereka kenal, sekolah anak, semua kehidupan yang telah mereka jalani.
Mereka ingin juga meninggalkan luka-luka itu, segenap kesedihan dan kemarahan, segala trauma dan ketakutan. Walau tentu tak akan pernah bisa. Entah sampai kapan mereka harus menanggung semuanya. Entah sampai kapan ingatan itu akan mengikuti setiap langkah mereka. Entah sampai kapan ketakutan dan kemarahan akan terus membayangi mereka. Bahkan dalam tidur pun, mereka masih terus didatangi berbagai mimpi buruk dari tanah yang telah mereka tinggalkan.
Mereka tak akan bisa melupakan apa yang terjadi pada malam itu. Malam terakhir mereka di rumah yang telah hampir sepuluh tahun mereka tempati, beberapa saat sebelum keluarga itu memutuskan untuk meloncat ke perahu dan berlayar menuju benua baru.
Malam itu, orang-orang mendatangi rumah keluarga kecil itu. Orang-orang berteriak-teriak dengan penuh amarah. Mereka mengepung rumah. Sementara empat orang di dalamnya, dua orang dewasa dan dua anak berpelukan dengan penuh ketakutan.
Kian malam teriakan kian beringas. Ada yang berteriak “sesat”, ada yang berteriak “minggat”, ada yang berteriak “bunuh”.
Empat orang di dalam rumah makin ketakutan. Bahkan si anak balita yang mestinya belum mengerti apa-apa, jadi menangis dengan histeris. Sepertinya ia pun bisa merasakan apa yang sedang dirasakan orangtuanya dan kakaknya. Anak itu sepertinya juga mengerti arti keributan di luar rumah dan teriakan-teriakan yang didengarnya.
Si ibu terus berusaha menenangkan anak balita yang kini digendongnya. Berkali-kali ia berbisik, “Sssst… ssssttt…” Sesekali dia juga berkata, “Jangan takut, jangan takut.” Si anak balita tetap saja menangis. Sang ibu pun jadi ikut menangis.
Sementara anak laki-lakinya berusaha untuk tetap kuat meski sorot matanya penuh rasa takut. Ia terus menempel tubuh ibunya, bukan untuk mencari perlindungan, tapi justru ingin mengatakan agar ibunya tak perlu khawatir sebab ia akan selalu menjaga ibunya dan adik perempuannya.
Sang ayah hanya diam. Matanya merah menahan rasa takut, rasa marah, sekaligus menahan air mata agar tak tumpah.
“Kita harus pergi,” katanya lirih.
“Ke mana?” tanya istrinya.
“Ke tempat baru. Tempat jauh. Tempat yang aman.”
“Ke mana?” istrinya terus mendesak.
“Australia.”
Mata istrinya membelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Australia itu luar negeri, bukan sekadar luar pulau, bukan sekadar luar provinsi. Australia bahkan sudah berbeda benua dengan benua yang mereka tempati sekarang - satu-satunya benua yang mereka ketahui sejak lahir. Manusia-manusia di sana pasti akan sangat berbeda dengan manusia-manusia di pulau ini. Bahasa mereka pun akan berbeda. Bagaimana mereka nanti hidup di Australia, kalau Bahasa Inggris saja tak bisa. Belum lagi soal surat-surat. Mereka tak punya paspor. Belum pernah ke luar negeri sebelumnya. Bagaimana bisa mereka masuk ke Australia tanpa paspor. Sang istri mulai macam-macam pikirannya. Ia pandang suaminya lekat-lekat, mencari tahu apakah suaminya masih waras atau jangan-jangan hanya telinganya saja yang salah dengar.
“Kita ke Australia,” kata suaminya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih tegas dan penuh keyakinan. “Kita akan mulai hidup baru di sana. Anak-anak kita bisa sekolah dengan tenang. Kita tak lagi bisa ketakutan tiap hari.”
Istrinya masih tak percaya. Ia terus memandang suaminya, tepat pada matanya. Ia ingin kembali menyadarkan suaminya dari igauan yang keterlaluan ini. Apalagi dalam keadaan segenting ini, ketika mereka dikepung orang dan nyawa mereka jadi taruhan, bagaimana bisa suaminya masih sempat bermimpi seperti itu.
Sang suami pun tahu, istrinya meragukan semua yang dikatakannya.
“Aku sudah baca banyak informasi,” kata suaminya. “Sudah lama aku pikirkan hal ini. Sudah bertahun-tahun orang-orang mengganggu kita. Kamu juga tahu, ini bukan yang pertama mereka menggeruduk rumah kita seperti ini.”
“Tapi kamu bilang Australia?” Si istri kembali meyakinkan.
Suaminya mengangguk dengan pasti.
“Hanya di sana kita betul-betul bisa aman. Kita bisa memulai hidup baru. Pindah pulau atau pindah kota akan tetap sama saja. Di mana-mana orang akan bilang kita orang sesat. Di mana-mana kita akan dipaksa masuk agama yang mereka percaya.”
“Tapi bagaimana bisa kita ke Australia?” tanya istrinya. “Kamu punya uang buat beli tiket pesawat? Kamu punya paspor? Kamu punya izin masuk ke sana?”
Suaminya menggeleng. Si istri mendengus kesal. Ia memeluk erat anak balitanya yang masih belum berhenti menangis. Sementara di luar rumah, orang-orang terus berteriak-teriak.
Hal seperti ini memang bukan yang pertama terjadi. Hal seperti ini sudah berulang kali terjadi. Orang-orang itu akan bubar sendiri nanti. Lalu malam berganti pagi, hidup kembali berjalan, keluarga itu harus tetap bertahan di tengah cibiran dan omongan orang, menunggu sewaktu-waktu orang-orang akan kembali datang ke rumah mereka, menggeruduk, berteriak memaki-maki, mengintimidasi mereka untuk pergi dari kampung atau memilih untuk masuk ke agama yang sama dengan orang-orang itu jika masih mau tinggal di kampung ini.
Bertahun-tahun keluarga itu menelan semua kenyataan itu. Mereka tak punya pilihan. Masuk ke agama yang sama dengan kebanyakan orang di kampung yang mereka tinggali bukanlah pilihan bagi mereka.
“Aku sudah pikirkan semuanya,” kata sang suami. “Kita bisa tetap pergi tanpa semua itu. Kita bisa. Kita harus. Kita tak bisa hidup seperti ini terus. Kasihan anak-anak kita.”
“Bagaimana caranya?” sang istri menatap dengan penuh harapan sekaligus keraguan.
“Kita pergi dengan perahu kita.”
“Perahu kita?!”
Si suami mengangguk.
“Kamu gila!”
“Aku tidak gila. Bahkan lautan jauh lebih aman untuk anak-anak kita daripada tetap berada di kampung ini.”
“Kita naik perahu ke Australia?” Si istri bertanya dengan suara penuh penekanan. Dia masih tak bisa percaya.
Si suami lagi-lagi mengangguk. “Banyak yang sudah berhasil. Mereka bahkan berlayar dari tempat-tempat yang jauh lebih jauh.”
Kini sang istri mulai membayangkan deburan ombak yang menghantam perahu yang mereka berempat naiki. Kapal itu akan oleng, mereka semua akan mual. Di tengah lautan luas mereka akan terombang-ambing mengikuti arah angin, sewaktu-waktu bisa menabrak karang, atau tertelan ombak hingga perahu terbalik dan mereka semua tenggelam.
Sang Istri merinding membayangkan itu semua. Ia semakin mendekap erat anak perempuannya, juga menarik anak laki-lakinya agar makin dekat ke dadanya. Ia sedang melindungi anak-anaknya dari rencana gila bapak mereka. Tapi ia juga sadar, ia tak mampu melindungi anak-anak itu dari semua ancaman di luar sana. Mereka tak bisa seterusnya tumbuh dengan ketakutan seperti ini. Belum lagi kemungkinan bahwa segala ancaman itu bisa benar-benar terjadi. Bahwa mereka sewaktu-waktu bisa dikeroyok dan dibunuh.
“Banyak yang sudah berhasil.” Sang suami kembali mengulang kata-katanya. Kali ini sambil mendekatkan dirinya ke tubuh istrinya. Seolah ia mau menunjukkan ia akan selalu bersama anak dan istrinya. “Semua yang bisa sampai ke Australia, akan bisa masuk dan hidup di sana. Kita hanya butuh untuk bisa sampai di sana. Setelah itu akan mudah semuanya.”
“Aku bisa cari kerja yang gajinya lumayan. Kamu juga bisa kerja. Banyak pekerjaan di sana. Anak-anak kita bisa sekolah yang bagus. Mereka nanti bisa ngomong Inggris, tidak seperti kita. Nanti mereka bisa jadi apa saja yang mereka mau. Bisa jadi orang sukses.”
Sang istri tetap diam. Si bocah laki-laki tampak berubah raut mukanya. Ia senang dengan apa yang baru didengarnya. Ia ingin hidup di Australia. Ia mau sekolah di sekolah yang bagus. Ia mau punya teman-teman baru yang tak mengolok-olok dia dan keluarganya. Si anak balita pun kini jadi tenang. Ia tak lagi menangis. Si ibu pun jadi bertanya-tanya, apakah itu sebuah pertanda bahwa ia harus mengikuti rencana suaminya.
“Perahu kita hanya perahu nelayan kecil,” kata si istri.
“Itu bukan masalah,” jawab sang suami. “Banyak yang berhasil walau hanya pakai rakit. Nasib ada di tangan Tuhan. Tak ada yang tak mungkin jika Tuhan sudah mengizinkan.”
“Sudah kamu pikirkan bagaimana kalau ada ombak besar? Bagaimana kalau ada badai?”
“Semua bisa dilalui jika Tuhan mengizinkan. Bagaimana pun kita sudah berusaha. Daripada kita harus mati di kampung ini. Atau kamu mau kita masuk agama orang-orang itu?”
Sang istri menggeleng. Ia kini temukan kebenaran dalam kata-kata suaminya. Ia tahu, mereka tak punya pilihan lain selain berusaha untuk mencari tempat baru bagi mereka, terutama bagi anak-anak mereka.
“Kapan kita mau berangkat?” tanya si istri.
“Secepatnya,” jawab si suami. “Kita tak butuh apa-apa. Hanya bekal makanan saja.”
Sang istri tak lagi berkata-kata. Ia tak juga memikirkan apa-apa. Ia hanya sedang berdoa, meminta keselamatan dan perlindungan dari Sang Penguasa Semesta.
Malam kian larut. Suara teriakan orang-orang yang mengepung rumah itu perlahan mereda. Satu per satu orang pergi meninggalkan rumah itu. Mereka akan kembali lagi lagi sewaktu-waktu.
BRAAAK! Baru saja keluarga itu menarik napas lega, pintu rumah mereka didobrak dari luar. Tiga orang masuk ke dalam rumah itu sambil mengacungkan golok dan celurit.
“Pergi dari kampung ini,” kata salah satu dari mereka. “Sudah terlalu lama kita bersabar. Sekarang waktunya kalian harus pergi atau kalian semua akan mati.”
Tiga orang itu lalu keluar dari rumah. Di depan pintu yang terbuka, salah satu dari mereka menyempatkan diri untuk berhenti dan berbalik melihat keluarga pemilik rumah lalu meludah dan mengacungkan celurit yang dipegangnya.
Keluarga itu mematung, tak bergerak, tak bersuara, tak menangis. Hingga kemudian rumah itu senyap kembali. Semua orang yang mengepung rumah itu sudah pergi.
Selama beberapa saat, empat orang di dalam rumah itu seperti orang linglung. Hingga sang istri bangkit dari duduknya sambil tetap menggendong anak balitanya. Ia menuju dapur. Ia memasak semua persediaan beras yang ia punya. Ia rebus seluruh ubi dan singkong yang tersimpan di dapurnya. Ia masukkan tas besar apa pun yang bisa dimakan. Lalu ia tinggalkan dapur, menemui suami dan anak laki-lakinya.
“Sudah siap semuanya,” kata sang istri.
Sang suami tergagap. Ia sesaat bingung. Tapi kemudian ia tersenyum. Si bocah laki-laki itu pun langsung bangkit dari duduknya. Ia lari masuk ke kamarnya, melihat sebentar, lalu meyakini tak ada satu pun hal yang ia butuhkan. Ia akan mendapatkan barang-barang baru saat tiba di Australia nanti.
Keluarga itu meninggalkan rumah sebelum cahaya pagi datang. Mereka berjalan menuju dermaga, tempat perahu-perahu nelayan yang hidup di kampung ini ditambatkan, salah satunya perahu yang mereka miliki.
Sang istri naik lebih dulu ke perahu sambil mendekap anak perempuannya. Lalu diikuti si bocah laki-laki. Sang suami melepas tali yang mengikat perahu ke tambatan, mendorongnya ke arah lautan, lalu segera meloncat ke atas perahu dan memainkan dayungnya.
Perahu itu perlahan menjauh dari daratan, menuju lautan lepas, mengarah ke selatan, ke benua baru yang akan menjadi rumah baru untuk mereka.
Mereka menghitung waktu hanya dengan melihat matahari. Siang pertama berlalu tanpa ada hambatan, malam pertama berhasil mereka lalui dengan penuh kehati-hatian. Hingga beberapa siang dan malam berikutnya, mereka terus menatap penuh keyakinan horison yang ada di hadapan mereka. Mereka yakin, mereka semakin dekat dengan benua baru yang mereka tuju.
Pada malam kelima, angin besar datang. Perahu mereka terseret jauh, tergulung ombak, terhempas ke timur utara, kembali menjauh dari jalur yang akan membawa mereka ke Australia.
Semuanya tak lagi mudah setelah itu. Angin selalu bertiup berlawanan dengan arah tujuan mereka. Kalau pun perahu itu bisa melaju ke arah selatan, ia hanya mampu bergeser sedikit saja setiap harinya.
Bekal makanan mereka kian menipis. Anak perempuan itu makin sering menangis karena kedinginan oleh angin. Si ibu semakin gelisah. Sang ayah berpura-pura tetap teguh dan yakin mereka akan tetap bisa tiba di tujuan. Sementara si bocah laki-laki itu masih terus membayangkan hari-hari barunya di Australia nanti.
Hingga kemudian angin besar kembali datang. Ombak menggulung perahu itu, lalu menghempasnya dengan kuat, hingga jauh…
Hingga daratan terlihat di hadapan mereka. Tapi itu bukan Australia. Itu hanya pulau tetangga mereka. Itu hanya pulau lain di negara mereka.
***
Sanur, Juli 2018
Diterbitkan Jurnal Perempuan, Agustus 2018