Oleh: Okky Madasari
Saya menginjakkan kaki pertama kali di Belu pada bulan Oktober tahun 2016, tepat tiga tahun lalu. Saat itu, bekal pengetahuan yang saya punya hanyalah bahwa Belu merupakan daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste dengan pusat kota Atambua. Itu pun, saya lebih akrab dengan kata Atambua dibanding Belu. Saya tak pernah tahu bahwa nama kabupaten ini adalah Belu, dan Atambua adalah pusat kota di Belu.
Memahami bahwa Belu merupakan perbatasan dengan Timor-Leste, imajinasi awal saya tentang Belu hanya terbatas pada masalah terkait referendum Timor-Timur yang memaksa banyak orang mengungsi ke Belu dan tentu saja, sebagaimana umumnya imajinasi orang Jakarta terhadap daerah di Nusa Tenggara Timur, imajinasi utama saya pastilah tentang kemiskinan.
Selama sepuluh hari pertama (lalu ditambah sepuluh hari kedua, 3 minggu kemudian) berada di Belu untuk riset, banyak hal yang akhirnya saya pahami tentang kabupaten ini, lebih dari soal bekas pengungsi Timor Timur dan kemiskinan.
Dalam proses riset itu, saya datang ke berbagai tempat, mulai dari pasar hingga sekolah, dari padang Fulan Fehan hingga telaga yang menginpirasi Koes Plus menciptakan lagu berjudul “Kolam Susu”, dari rumah adat tradisional hingga perbatasan negara tetangga. Saya bicara dengan warga Belu dari berbagai kalangan: mama-mama pedagang di pasar, mama-mama penjual tenun, bapa penjaga rumah adat, bapa tetua pemimpin upacara di benteng tujuh lapis, birokrat, guru, anak sekolah, anak muda, juga para pendatang yang banyak mencari rezeki dan menetap di Belu bertahun-tahun.
Dari berbagai pengalaman langsung dan informasi yang saya dapatkan selama riset, saya membagi cerita tentang Belu dalam 5 kelompok imajinasi: a) Sejarah b) Mitos dan legenda lokal c) Adat dan agama lokal d)Kondisi sosial, politik, dan ekonomi kontemporer e) Relasi dengan masyarakat di luar Belu dan relasinya dengan negara.
Berbekal lima kelompok imajinasi itu, saya menulis Mata di Tanah Melus. Sebuah cerita fiksi, novel, dengan tokoh utama seorang anak berusia 12 tahun.
Saya memilih fiksi, sebab fiksi memberikan ruang kebebasan untuk bereksplorasi, untuk menghadirkan sebuah semesta baru yang dekat dengan dunia nyata. Dengan fiksi, seorang pembaca bisa mendapatkan pengalaman dan kebenaran. Fiksi juga memberi ruang untuk menjelajahi setiap kemungkinan-kemungkinan sehingga kita tak hanya terjebak pada apa yang ada di depan mata, tapi juga bisa melihat lebih dalam, ke lapisan-lapisan yang tak terlihat di balik sebuah fenomena.
Novel yang saya tulis berangkat dari cerita bapa tetua di rumah adat tentang suku-suku pertama yang mendiami wilayah Belu. Cerita itu saya gabungkan dengan informasi yang saya dapatkan dari dinas pariwisata tentang sejarah Belu. Saya lengkapi dua sumber utama itu dengan berbagai referensi baik dari buku maupun dari internet. Dari semua bahan-bahan itu, saya mencoba menyusun kembali sejarah Belu dimulai dari keberadaan suku Melus yang sekarang sudah punah.
Pengalaman langsung selama proses riset juga memiliki andil besar dalam cerita yang saya bangun. Yang paling utama adalah apa yang saya alami selama saya berada di Fulan Fehan. Saat datang ke Fulan Fehan saya bersama anak saya yang waktu baru berusia dua tahun. Anak saya yang biasanya baik-baik saja, menangis histeris tanpa henti di Fulan Fehan. Sebuah keanehan, walaupun bagi orang yang mau tetap teguh pada rasionalitas akan berkata: Ah, kan memang anak kecil. Biasa menangis seperti itu.
Tapi dari warga yang saya temui saya mendapat cerita berbeda. Ada kepercayaan lokal masyarakat tentang Fulan Fehan. Fulan Fehan yang bagi orang luar hanya semata tempat indah yang penting untuk masuk dalam album foto, ternyata memiliki posisi istimewa dalam kepercayaan lokal masyarakat. Bagi penduduk Belu, ketika ke Fulan Fehan kita harus lebih dulu permisi, melakukan berbagai ritual seperti menabur beras dan uang. Saya pun mempelajari ritual tersebut dan bahkan ikut melaksanakan ritual bersama tetua di Benteng Tujuh Lapis.
Dalam cerita yang saya tulis, tentu saja saya juga memotret kondisi masyarakat hari ini. Masalah kemiskinan tentu tak bisa kita abaikan. Tapi saya percaya, ketika bicara kemiskinan, itu bukan semata disebabkan faktor internal misalnya karena penduduknya yang malas atau bodoh. Lebih dari itu, kerap sekali kemiskinan yang terjadi di sebuah daerah disebabkan oleh faktor-faktor di luar penduduk asli. Segala kepentingan dari luar yang mengakibatkan ketidakadilan, yang telah menggerus aneka kekayaan – baik yang terlihat maupun yang tak terlihat – dari sebuah daerah.
Mata di Tanah Melus merupakan cara saya untuk membangun narasi baru tentang Belu dengan melibatkan lima aspek itu. Narasi utama tentang Belu atau tentang daerah lain di NTT selama ini hanya berpusat pada persoalan kemiskinan atau pemandangan eksotis untuk wisata sehingga abai terhadap aspek-aspek lain yang justru menjadi kekuatan Belu dan masyarakatnya. ***
*) Disampaikan dalam peluncuran Mata di Tanah Melus di Atambua, September 2019