Oleh: Okky Madasari
KOMISI Pemberantasan Korupsi memang tak pernah benar-benar diinginkan di negeri ini. Ia bayi reformasi yang terlahir di tengah orang-orang dewasa –para pemegang kuasa– yang tak menghendakinya ada.
Sebagai bagian dari generasi awal wartawan peliput KPK, saya turut mencatat bagaimana sejak berdiri pada 2002, keberadaan KPK selalu dipertanyakan. Gigitan pertamanya dalam membongkar korupsi pembelian helikopter yang melibatkan gubernur Aceh kala itu, Abdullah Puteh, dirayakan oleh publik yang sudah geram dengan korupsi yang merajalela. Tapi sekaligus menyadarkan politisi bahwa bayi yang tak dikehendaki itu tak boleh lama-lama hidup.
Sejak hari-hari pertama usianya, KPK dikerubungi berbagai bisikan dan teriakan bahwa ia hanya akan hidup sementara, bahwa ia adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu bisa dibubarkan.
Politisi pun tanpa malu senantiasa mempertanyakan posisi KPK yang dianggap tidak tepat dalam tatanan hukum dan perundang-undangan. Di titik itu, dengan terus mempersoalkan hal sepele dibanding tujuan KPK untuk memberantas korupsi, sudah sangat jelas bahwa pemberantasan korupsi tak pernah menjadi agenda para elite penguasa.
Keinginan politisi untuk segera mengamputasi KPK secara sah melalui prosedur hukum dan tatanan demokrasi mulai bergulir pertengahan 2008, menyusul penetapan Antasari Azhar, ketua KPK saat itu, sebagai tersangka kasus pembunuhan.
Terlepas dari kasus Antasari yang menyisakan banyak pertanyaan, pada periode kepemimpinan Antasari, KPK menangani berbagai kasus besar yang menyita banyak perhatian. Di antaranya, kasus aliran dana Bank Indonesia yang salah satu pelakunya adalah besan Presiden SBY dan dimulainya penyelidikan kasus Bank Century yang juga menyenggol SBY.
Kasus Antasari menjadi momentum bagi beberapa anggota DPR untuk secara terbuka berani menyatakan bahwa KPK lebih baik dibubarkan saja. Ketegangan terus berlanjut melibatkan kepolisian hingga keluarlah kata-kata ”cicak lawan buaya”. Cicak adalah personifikasi dari KPK yang dipandang kecil dan buaya adalah kepolisian dan kejaksaan, kekuatan besar lembaga penegak hukum.
Puncak dari konfrontasi itu adalah unjuk rasa besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Suara masyarakat didengar. Rancangan undang-undang yang sudah diajukan kepada DPR batal disahkan.
Huru-hara revisi Undang-Undang KPK yang terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi sesungguhnya adalah bagian dari hasrat besar politisi untuk menghabisi KPK sejak ia lahir.
Bedanya, kali ini suara masyarakat tak didengar. Presiden kali ini seperti berlagak bebal.
Presiden yang tak mau mendengar dan politisi yang ingin mengamankan diri telah bekerja bersama-sama membuat KPK tak lagi bergigi. Kadang tebersit pikiran untuk mencoba memahami posisi presiden yang terjepit dalam berbagai kepentingan, untuk sepenuhnya menyalahkan DPR karena merekalah yang membuat undang-undang.
Tentu saja itu pikiran naif yang dengan mudah bisa dimentahkan. Presiden punya kewenangan untuk menolak adanya perubahan undang-undang. Apalagi ketika jelas undang-undang itu mengebiri kewenangan KPK, terutama dalam soal pembentukan dewan pengawas dan prosedur penyadapan.
Ini bukan kali pertama Presiden Jokowi berlagak bebal dalam urusan KPK. Lihat saja mata Novel Baswedan yang hingga kini masih menanti jawaban.
Menghukum Gelandangan
Setelah gagal menghadang revisi Undang-Undang KPK, nasib negeri ini kembali dipertaruhkan dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seperti proses legislasi Undang-Undang KPK yang tak mendengarkan suara masyarakat, rancangan KUHP juga diproses para wakil rakyat dengan kacamata kuda di ruangan kedap suara.
Masalahnya, kacamata kuda para anggota dewan tidak hanya membuat mereka tak bisa melihat apa yang ada di sekitar. Tapi juga membuat mereka tak mampu membaca dan memahami apa sesungguhnya aturan yang sedang mereka buat untuk seluruh rakyat Indonesia.
Ketika revisi Undang-Undang KPK menggerogoti kewenangan KPK, rancangan KUHP yang tinggal selangkah lagi disahkan itu menggerogoti jaminan keamanan dan hak kebebasan setiap individu yang terikat dengan hukum Republik Indonesia.
Banyak sekali ditemukan pasal yang secara kasatmata bertentangan dengan akal sehat dan keadilan hukum. Misalnya pasal yang menyatakan bahwa gelandangan, pengamen, siapa pun yang dianggap sebagai gelandangan hanya karena malam-malam terlunta-lunta di jalanan akan kena denda 1 juta rupiah.
Juga pasal yang mengatur bahwa pelaku kritik kepada presiden diancam 3,5 tahun penjara. Belum lagi pasal soal aborsi dan perzinaan yang semakin membuat perempuan terdiskriminasi secara legal oleh sistem perundang-undangan.
Memang benar bahwa KUHP adalah warisan kolonial dan perlu segera ada perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika zaman, semangat kesetaraan, dan kemanusiaan. Tapi, membaca draf yang sekarang sudah di tangan DPR, dekolonialisasi KUHP justru membawa kita jauh ke masa kegelapan.
Presiden memang sudah meminta DPR untuk menunda pengesahannya. Jadi, setiap saat masih bisa disahkan. Karena itu, Presiden Jokowi masih punya kesempatan untuk menyelamatkan bangsa ini. (*)
*) Sastrawan, kandidat PhD National University of Singapore
Terbit di Jawa Pos Siapa yang Bebal?