oleh Okky Madasari

Ada polisi-polisi yang sepanjang waktu mengawasi status Facebook, memantau twit-twit, dan menyisir setiap komentar kita di Instagram.

MEREKA terbitkan surat tilang, memaksa orang menghapus apa yang ditulis, atau langsung diciduk saja; didatangi ke rumah, dibawa ke kantor polisi, lalu entah apa yang terjadi di sana. Ini bukan fiksi. Ini adalah kenyataan Indonesia hari ini.

Polisi-polisi yang berpatroli di media sosial itu menamakan dirinya polisi virtual atau polisi siber, berada di bawah Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Hasil kerja mereka yang kali pertama diumumkan ke publik adalah teguran kepada seseorang yang berkomentar di akun Instagram penyanyi Nissa Sabyan. Dalam surat tilangnya, polisi mempermasalahkan penggunaan kata ”anjing” dan ”jahanam” yang dianggap sebagai ekspresi cemoohan dalam bahasa Indonesia dan karena itu memenuhi unsur pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Ada dua persoalan utama dalam surat tilang polisi ini. Pertama, polisi sudah berlagak seperti polisi bahasa yang memantau penggunaan kata, yang menentukan mana kata yang boleh atau tak boleh digunakan dalam berkomunikasi di media sosial. Ketika mereka mengaku menggunakan jasa ahli bahasa dan surat teguran dikeluarkan sesuai pendapat ahli bahasa, pendapat ahli bahasa itu juga harus dipertanyakan. Bagaimana mungkin kata anjing dan jahanam yang merupakan bagian dari ekspresi komunikasi sehari-hari langsung diartikan sebagai bentuk penghinaan dan pencemaran nama baik, bahkan tanpa melihat konteks dan motif penggunaan kata itu.

Dalam masyarakat Jawa, kita mengenal pisuhan, ekspresi berbahasa yang terasa kasar, bersifat menyumpahi atau mengatai, tapi pada saat bersamaan juga merupakan bentuk ekspresi spontan dalam proses komunikasi. Jancuk, jamput, diancuk, asu, wedhus, bahkan kontol adalah contoh pisuhan yang sehari-hari digunakan masyarakat. Menggarisbawahi penggunaan kata anjing dan jahanam sebagai wujud perilaku penghinaan dan pencemaran jelas merupakan bentuk ketidakpahaman atas cara kerja bahasa, proses komunikasi, kultur, dan sosiologi masyarakat.

Persoalan kedua, polisi bergerak aktif menegur orang tanpa adanya laporan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan. Di sini jelas, polisi bahkan tak paham aturan hukum. Penghinaan dan pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses jika ada laporan dari seseorang yang merasa terhina dan dicemarkan nama baiknya. Itu pun masih butuh proses hukum lebih lanjut untuk membuktikan bahwa perasaan terhina dan tercemar itu valid.

Kesalahan polisi virtual terulang saat menciduk seorang mahasiswa dari Tegal yang menulis komentar tentang Wali Kota Solo Gibran Rakabuming. Hanya karena berkomentar ”Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja”, mahasiswa itu dijemput polisi, dipaksa menghapus komentarnya, meminta maaf, dan divideokan. Polisi lagi-lagi sewenang-wenang dan ngawur dalam mengartikan komentar warganet dan lagi-lagi tanpa ada laporan dari pihak yang merasa dirugikan. Kalaupun polisi berdalih komentar itu adalah hoaks alias kabar bohong, makin menunjukkan kengawuran polisi.

Masyarakat Pengintai

Kengawuran polisi virtual semakin membabi buta saat baru-baru ini mengumumkan pemberian badge award (lencana penghargaan) untuk warga yang aktif melaporkan dugaan pelanggaran pidana di media sosial. Dalam kondisi ideal, pelibatan masyarakat ini akan membantu polisi untuk bisa mengusut perkara penipuan yang membuat orang kehilangan uang. Tapi, sebagaimana yang telah dicontohkan polisi sendiri, ini bisa dimaknai sebagai ajakan untuk memantau komentar teman, tetangga, kenalan, bahkan orang yang tak dikenal di media sosial. Semua orang akan berlagak sebagai polisi bahasa, saling melaporkan satu sama lain hanya berdasar pemaknaan dan perasaan masing-masing.

Masyarakat kini telah dijadikan mata-mata negara. Mata-mata yang jauh lebih berbahaya dibanding agen resmi yang dimiliki negara. Ketika sesama anggota masyarakat menjalankan fungsi sebagai mata-mata negara, tak ada lagi ruang pribadi yang memungkinkan kita bebas dari intervensi. Mata-mata itu bisa jadi ada di lingkar pertemanan kita sendiri, di grup WhatsApp teman-teman sekolah dan keluarga besar, di antara orang-orang yang rajin bertukar sapa dengan kata di linimasa. Tak perlu menunggu ada baku makian atau pertengkaran terbuka, sewaktu-waktu kita bisa dilaporkan. Lalu terbentuklah kecurigaan antar sesama anggota masyarakat. Tak ada lagi rasa percaya, tak ada lagi ketulusan dalam berinteraksi, apalagi bekerja sama.

Dalam sejarah Indonesia, kecurigaan dan saling memata-matai sesama anggota masyarakat tidak hanya terjadi di era digital sekarang ini. Di zaman Orde Lama, kita bisa dengan mudah melaporkan seseorang yang kita anggap kontrarevolusi. Sepanjang Orde Baru, siapa pun yang disebut tetangga sebagai komunis tak akan bisa lolos dari konsekuensi yang akan diberikan negara. Di zaman digital sekarang ini, cukup dengan memainkan kata penghinaan dan pencemaran nama baik. Bahkan kerap terjadi, peran anggota masyarakat tidak hanya sebagai mata-mata, tapi juga langsung turun menindak siapa pun yang dianggap mengunggah hal yang tak patut. Seperti yang terjadi di Sukabumi, ketika perangkat desa mengeroyok warga yang mengunggah video jalan rusak ke media sosial.

Ketika polisi dan penguasa tak lagi bisa memberikan rasa aman dan jaminan atas kebebasan bersuara, hal terkecil yang bisa kita lakukan sebagai sesama warga adalah menolak menjadi mata-mata. Jangan mau diadu domba sesama warga. Jangan menjadi manusia baperan yang sedikit-sedikit suka melapor. (*)

Terbit di Jawa Pos Ssst! Hati-Hati Diciduk Polisi!

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan