Oleh: Okky Madasari
Demokrasi dimulai dari keberanian untuk mengkritik dan mendengar kritik. Tanpa syarat. Tanpa ancaman. Tanpa rasa takut.
—
SAYA buka tulisan ini dengan satu kisah pendek.
Seorang ayah membaca tulisan anaknya yang sedang ikut kursus menulis. Tulisan yang merupakan tugas kelas menulis itu berisi sindiran kepada pemerintah dalam penanganan pandemi. ’’Ini bahaya,’’ kata sang ayah kepada si anak.
Sang ayah takut tulisan itu akan membawa masalah terhadap anaknya. Ketakutan yang bukan tanpa alasan.
Ketakutan itu tumbuh karena menonton berbagai berita di TV, membaca berita di koran, dan mengikuti berbagai pembicaraan di media sosial. Berita tentang seorang ibu rumah tangga yang ditangkap polisi karena tulisannya di Facebook menghina presiden, para aktivits yang ditangkap polisi karena konon memprovokasi aksi, guru yang diadili karena katanya mencemarkan nama baik atasannya, dan kabar-kabar lain yang kalau ditulis satu per satu akan memenuhi panjang halaman koran ini.
Singkat cerita, sang anak pun jadi takut dan memutuskan mengganti tulisannya. Ini bukan cerita karangan. Ini pengalaman nyata saya saat mengampu kelas menulis untuk sebuah universitas negeri beberapa bulan lalu.
Ayah dan anak ini bukan satu-satunya yang merasa takut dan memilih untuk mengalah menghindari masalah. Seorang mantan pejabat baru-baru ini juga mengungkapkan rasa takutnya untuk berpendapat di media sosial.
Ketakutan itu nyata dan menular: takut dikeroyok orang yang tak suka pendapat kita, takut data diri kita disebarkan hanya karena ada yang tak sepakat dengan yang kita katakan, takut dilaporkan kepada polisi karena dianggap mencemarkan nama baik, takut dipenjara karena melanggar undang-undang.
Di tengah rasa takut yang kian mengakar, pernyataan Presiden Jokowi dan istana bahwa mereka membutuhkan kritik justru disambut dengan sinis. Alih-alih memberikan rasa tenang kepada masyarakat, kata-kata presiden justru membuat suasana kian riuh, memancing orang untuk mengungkit kembali catatan inkonsistensi dan daftar panjang penyalahgunaan undang-undang untuk membungkam orang-orang kritis.
Puncaknya adalah ketika Pak Jokowi mengatakan akan merevisi Undang-Undang ITE, lalu tak lama kemudian Menkominfo merevisi pernyataan itu, menegaskan bahwa bukan UU ITE yang akan direvisi, melainkan aturan pelaksanaannya yang akan ditinjau.
Aturan Mengkritik
Pokok masalah tentang kritik ini sesungguhnya terletak pada ketidaksiapan bangsa kita untuk menjunjung sepenuhnya prinsip kebebasan berekspresi dalam alam demokrasi. Kritik adalah bagian tak terpisahkan dari kemerdekaan berpikir dan bertanya, hal paling dasar dalam berekspresi. Tapi, pikiran dan pertanyaan memang selalu menjadi hal paling menakutkan bagi kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan agama.
Sejak Socrates dipaksa minum racun oleh penguasa karena dianggap mengajarkan hal yang menyimpang, hukuman terhadap mereka yang mengusik ketenangan penguasa dan kelompok dominan melalui pikiran dan pertanyaan terus dijatuhkan.
Di Jawa abad ke-15, kita mengenal nama Syekh Siti Jenar yang dipenggal oleh utusan Kesultanan Demak karena dianggap menyebarkan ajaran sesat yang berbahaya kepada umat. Dalam peristiwa Syekh Siti Jenar ini, ada dua hal yang penting dicatat.
Pertama, kritik pada agama dalam bentuk interpretasi yang berbeda dengan para ulama arus utama yang dekat dengan kekuasaan adalah hal yang terlarang dan tak bisa dimaafkan. Kedua, kalau membaca lebih detail kisah Syekh Siti Jenar, akan kita dapatkan fakta bahwa Syekh Siti Jenar adalah sosok yang berdiri berseberangan dengan Kesultanan Demak.
Ia selalu menolak undangan sultan. Ia memilih untuk mengabaikan pemegang otoritas dan hanya fokus pada diri dan lingkungannya sendiri. Ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan. Label yang hingga saat ini terus dipakai untuk menandai mereka yang gemar mengkritik penguasa, meski variasi katanya bisa berubah mengikuti tren zaman, terutama mengikuti sifat dan ciri kekuasaan.
Jalaluddin Rakhmat, guru besar ilmu komunikasi dan pemikir bidang keislaman yang baru saja wafat, pernah mencatat ada perubahan kosakata antara yang digunakan pemerintah Orde Lama dan pemerintah Orde Baru. Pemerintah Orde Lama suka menggunakan label ’’antirevolusi’’ kepada mereka yang gemar mengkritik pemerintah. Sementara di bawah kekuasaan Orde Baru, para pengkritik akan dicap sebagai ’’anti pembangunan’’ sekaligus ’’anti-Pancasila’’. Pelabelan adalah awal dari beragam bentuk hukuman selanjutnya. Mulai dimutasi ke daerah yang jauh dari keluarga, turun pangkat dan kehilangan jabatan, dipecat, hingga dipenjara dengan atau tanpa proses peradilan.
Di masa sekarang, labelisasi masih bekerja untuk membungkam kritik. Mulai kadrun, kampret, kecebong, hingga radikal dan anti-Pancasila. Demikian juga penghukuman yang mengatasnamakan peraturan perundang-undangan, namun tak berdasar prinsip keadilan.
Di masa lalu, saluran kritik yang terbatas hanya memungkinkan orang-orang tertentu yang memiliki akses yang bisa mengkritik. Akses itu biasanya berkaitan dengan jabatan dan peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, atau kekayaan. Peranti hukum yang dipakai untuk membungkam pengkritik adalah Undang-Undang Subversi atau undang-undang yang mengatur pemberedelan media yang dianggap berbahaya.
Di masa sekarang, perkembangan teknologi memungkinkan setiap orang, apa pun latar belakangnya, untuk menyampaikan langsung pikiran, pendapat, dan kritiknya atas setiap hal yang terjadi di tingkat lingkungan terkecil hingga tingkat negara. Keterbukaan akses inilah yang membuat hukum bekerja bak buldoser menggilas siapa saja yang dilaporkan ke polisi karena dianggap mencemarkan nama baik.
UU ITE telah disalahgunakan sebagai alat untuk membungkam suara kritis di media sosial, untuk membuat siapa pun takut mengkritik. Sayangnya, negara masih berat hati untuk merevisinya karena mungkin masih merasa membutuhkannya. (*)
Terbit di Jawa Pos Takut Kritik