Oleh: Okky Madasari

Menonton film dokumenter The Act of Killing  (Jagal)  karya Joshua Oppenheimer  mengubah persepsi dan pandangan saya pada pelaku pembantaian orang-orang yang dianggap komunis pasca peristiwa 30 September 1965. Ini mungkin bukanlah reaksi yang  diharapkan usai menonton film itu. Film ini berangkat dengan keberpihakan dan muatan nilai untuk mengungkapkan kekejaman pembantaian PKI. Jelas film ini memiliki tujuan untuk menggugah, mengubah, dan menggerakkan kesadaran kolektif bangsa ini untuk memahami sejarahnya sendiri. Maka sebagai penonton yang sejak awal juga sudah memiliki keberpihakan, semestinya saya semakin marah, benci, dan dendam pada pelaku pembantaian. Tapi ternyata, reaksi saya malah sebaliknya.

Film ini dibangun oleh narasi Anwar Congo dan kawan-kawannya, anggota Pemuda Pancasia Sumatera Utara, pelaku pembantaian orang-orang yang dianggap Komunis di Sumatera Utara. Dari pemilihan sudut pandang ini, Joshua telah menjadikan Jagal sebagai film dokumenter yang “berbeda”. Umumnya film tentang pembantaian akan bicara tentang korban, tentang penderitaan dan kesedihan korban, dengan  narasi yang  dibangun oleh korban dan sebagainya. Joshua justru membiarkan si pelaku yang menceritakan dan memperagakan apa yang dulu diperbuatnya. Congo dan kawan-kawannya bercerita tanpa beban. Bagi mereka, pembantaian yang  dulu mereka lakukan adalah sesuatu yang membanggakan. Cara mereka bercerita lugu dengan banyak dibumbui ekspresi dan pernyataan lucu.

Sikap Congo dan kawan-kawannya ini bukanlah hal yang mengejutkan. Para algojo pembantaian 65 hingga kini masih menganggap apa yang dilakukannya dulu ssebagai hal yang mulia. Saya membandingkan dengan guru SD saya di Magetan. Ia anggota GP Anshor dan menjadi pelaku utama penyembelihan orang-orang PKI di desa saya. Pengalaman  pembantaian itu diceritakan  di depan kelas dengan bangga dan tanpa penyesalan. Sama seperti Congo, ia pun memeragakan cara penyembelihan dengan menggerakkan tangan di lehernya seperti  orang sedang menyembelih.

Film Jagal, tak hanya dibangun oleh narasi Congo dan  kawan-kawannya, tapi juga dibangun oleh proses pembuatan film fiksi tentang pembantaian yang dibuat berdasarkan ingatan dan imajinasi jagal-jagal tersebut dan diperankan sendiri oleh mereka. Film dokumenter Jagal kemudian diselipi gambar-gambar yang berdasarkan imajinasi yang kemudian membuat penontonnya mulai kebingungan membedakan fiksi dan tak fiksi, ingatan dan imajinasi. Bagi saya, itu bukanlah persoalan. Saya justru melihat upaya Joshua untuk menjadikan proses pembuatan film fiksi itu dalam film dokumenter adalah cara untuk membangun narasi secara utuh.

Meski hanya berperan, tapi Congo jadi bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi korban dan disiksa sebagaimana yang dulu dialami orang-orang yang disiksanya. Ini hal yang tidak  bisa dialami pembantai-pembantai lain, termasuk guru SD saya. Congo merasa sedih,  kehilangan harga diri, dan ketakutan usai menjalani peran tersebut. Ia pun menyamakan apa yang dirasakannya dengan perasaan orang-orang yang dulu disiksanya. Dengan menngangkat proses pembuatan film tersebut, emosi Congo hadir utuh. Dia manusia dengan perasaannya yang genap. Perasaan-perasaan itu tak hanya dikatakan, tapi kita lihat langsung pada ekspresi, tingkah laku, dan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Misalnya saja bagaimana ia jadi lemas dan tak bisa berkata apa-apa usai berperan sebagai korban.

Proses pembuatan film fiksi itu pula yang  berhasil membuat film dokumenter Jagal memilki narasi utuh tentang bagaimana sistem dan struktur bekerja di atas Congo. Saya bisa katakan, pembuatan film fiksi  itu hanya trik untuk memancing apa yang jadi tujuan besar Joshua. Dengan seolah ingin membuat film tentang pembantaian PKI, pejabat-pejabat dari tingkat daerah hingga nasional  membuka diri untuk bicara, memeberi informasi, bahkan langsung terlibat dalam pembuatan film. Ada Gubernur Sumatera Utara yang begitu akrab berbincang dengan Congo. Ia gambarkan bagaimana Congo seorang preman yang sudah dikenal sebagai tukang bunuh orang. Ada Ketua Pemuda Pancasila, Yapto Soerjosumarno, yang berkunjung ke Medan. Digambarkan bagaimana Yapto memeriksa barisan sebagaimana cara militer, berpidato di depan anggota Pemuda Pancasila untuk mengobarkan semangat seolah mereka sedang melakukan tugas besar sebagai penjaga Pancasila dan negara Indonesia. Ada anggota DPRD Sumatera Utara sekaligus tokoh Pemuda Pancasila yang dengan bangga bercerita bagaimana bisnis ilegal menjadi sumber pemasukan bagi Pemuda Pancasila. Baginya dan bagi Congo,  Pemuda  Pancasila adalah pilar penjaga keamanan di Sumatera Utara. Lalu ada juga Jusuf Kalla yang saat itu  menjabat Wakil Presiden. Kalla berbicara di depan anggota Pemuda Pancasila dan ikut pula mengatakan bahwa Pemuda Pancasila bukanlah preman seperti yang banyak orang bayangkan. Ada Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga ikut langsung terlibat dalam pembuatan film. Ia ikut dalam adegan pembantaian, yang menurut dia harus dibuat seolah-olah pembunuhan dilakukan lebih manusiawi. Lalu ada penguasaha lokal yang menunjukkan kekayaannya dan ada Wakil Ketua MPR yang pamer koleksi binatang-binatang langka yang disimpan di rumahnya.

Film dokumenter Jagal telah menghadirkan gambaran besar – yang walaupun belum menyeluruh – setidaknya bisa membuat kita melihat lebih utuh. Congo dan kawan-kawannya  hanyalah satu titik kecil saja di gambar besar itu. Ia anggota kroco Pemuda Pancasila, organisasi paramiliter terbesar yang ketuanya, Yapto, memiliki kekuatan baik secara ekonomi maupun politik. Congo dan kawan-kawannya dibentuk oleh  nilai, ideologi, doktrin, dan sistem yang dibangun dalam  Pemuda Pancasila. Bagi Congo ia menganggap itu kebanggaan. Ia tak sadar ia hanyalah alat dari  orang-orang seperti Yapto yang ingin terus memelihara kekuatan politiknya. Congo hanyalah alat paling ujung dari negara yang ingin terus mengendalikan warga negaranya, salah satunya dengan menggunakan kekuatan di luar militer. Dalam politik lokal, Congo hanyalah bemper dan sumber suara yang bisa dimanfaatkan. Gubernur Sumatera Utara dan anggota DPRD menerima dan memanfaatkan Congo sebagai bentuk dukungan politik  untuknya. Yang kurang dari puzzle film Jagal adalah militer. Kita semua tahu, militer Angkatan Darat adalah otak dibalik pembantaian 65. Orang-orang seperti Congo jelaslah alat yang digunakan militer.

Individu, seperti halnya Congo dan kawan-kawannya atau guru SD saya, adalah hasil bentukan sistem dan struktur di atasnya. Individu dibentuk oleh nilai yang mengukunginnya, oleh institusi yang memayunginya, oleh kekuatan yang lebih besar darinya. Film Jagal menunjukkan bagaimana Congo hanyalah boneka. Kekuatan-kekuatan di balik Congo lah menjadikannya preman, jagal, pembantai. Congo bukanlah orang kaya seperti Yapto yang digambarkan gemar main golf sambil merayu caddy. Setiap yang ia lakukan seringkali  hanyalah upaya untuk mendapat penghasilan yang hanya “recehan”. Kita juga bisa melihat bagaimana Congo sebenarnya tak punya kepentingan  apa-apa atas pembantaian yang dulu dia lakukan. Ia hanya merasa itu kewajiban  yang harus dikerjakan. Demikian juga guru SD saya. Baginya menyembelih orang PKI adalah kewajibannya sebagai anggota Anshor.

Film Jagal menunjukkan, pembantaian PKI tidak bisa dilihat sebagai perbuatan perorangan. Maka wajar saja ketika Joshua bertanya pada salah satu kawan Congo apakah siap jika dibawa ke Pengadilan Internasional, ia dengan ringan menjawab siap karena dengan begitu ia akan jadi terkenal. Bukan, bukan orang seperti mereka yang harus meminta maaf dan dimintai pertanggungjawaban. Tapi sistem di atasnya. Pemuda Pancasila, pejabat daerah pada masa itu, militer, hingga negara. Dan jika institusi selalu dijalankan berdasarkan perintah, maka  pihak-pihak pemberi perintahlah yang harus dibawa ke pengadilan. Untuk guru SD  saya, sudah jelas ia bergerak karena keanggotaannya sebagai GP Anshor. GP Anshor dan juga NU yang haruslah bertanggung jawab. Bahkan permintaan maaf Gus Dur tak ada artinya jika itu hanya mewakili diri Gus Dur dan bukan merupakan permintaan maaf dari organisasinya.

Film dokumenter Jagal merupakan dokumen atas kesaksian pelaku pembantaian 65. Kita memang tidak bisa menemukan kebenaran atas sebuah peristiwa atau catatan sejarah yang sahih dalam film itu. Tapi apa yang dikemukan Congo dan kawan-kawannya tetaplah sebuah kesaksian sejarah dari sudut pandang mereka.

***

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan