Apakah yang membuat Anda tertarik untuk berkecimpung di dunia tulis menulis, lebih tepatnya dalam menulis karya novel?
Saya mulai menulis novel pertama saya tahun 2009 (yang kemudian novel itu terbit tahun 2010) saat saya masih berkecimpung di dunia jurnalisme. Kecintaan pada dunia tulis-menulis dan kesadaran bahwa “tulisan memiliki kekuatan” bukan hal yang tiba-tiba muncul, melainkan sudah melekat sejak bangku sekolah yang bahkan membuat saya ingin menjadi jurnalis. Tapi kemudian ada masa di mana saya mulai menyadari karya jurnalistik tak lagi bisa menampung seluruh kegelisahan dan ekspresi saya. Di titik itulah saya mulai mencoba menulis sastra dan berlanjut hingga hari ini.
Apa yang memicu tumbuhnya ketertarikan untuk mengangkat tema-tema social commentary dalam karya novel?
Itu sangat terkait dengan kesadaran saya sejak awal bahwa “tulisan memiliki kekuatan”. Kesadaran itu kian terasah ketika saya bekerja sebagai jurnalis – di mana setiap tulisan yang kita hasilkan memang hadir untuk menyuarakan persoalan-persoalan dalam masyarakat. Dari situ sudah terbentuk sikap dan posisi saya. Saya tidak bisa memandang tulisan sebagai bentuk ekspresi iseng-isengan atau sekadar catatan pribadi. Saya menulis novel bukan sebagai cerita pengantar tidur, tapi justru untuk membuat pembaca gelisah dan kadang-kadang malah jadi sulit untuk tidur.
Apa yang membuat Anda tertarik untuk menggunakan novel sebagai wadah untuk memicu sebuah diskusi di kalangan masyarakat?
Di antara berbagai bentuk tulisan, kemewahan fiksi adalah memberikan pembaca pengalaman. Ia mengajak pembaca untuk turut mengalami apa yang dialami karakter-karakter yang dihadirkan. Pengalaman itu kemudian – tanpa disadari – membentuk kesadaran dan cara pandang baru. Itu yang kemudian membuat fiksi memiliki kekuatan lebih dibanding bentuk-bentuk tulisan lainnya. Melalui fiksi, penulis tidak sedang berceramah atau presentasi pengetahuan.
Tema isu-isu perempuan kerap muncul dalam berbagai karya tulis Anda, bagaimanakah Anda melihat kesetaraan gender di Indonesia?
Masih banyak ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang sistemik dalam tiap lapisan di masyarakat. Mulai dari level keluarga, sistem pendidikan, kehidupan profesional, agama, hingga sistem negara yang termanifestasi dalam undang-undang. Menghadirkan isu ini lewat sastra adalah cara untuk membentuk cara pandang baru di level individu. Sebab, jika kita menelisik lebih dalam, ketidaksetaraan yang sistemik itu berakar dari narasi. Mulai dari narasi interpretasi ajaran agama, narasi local widom, narasi sejarah, narasi pengetahuan, hingga narasi pop-culture. Sastra sudah seharusnya hadir untuk tidak sekadar melanggengkan narasi yang dominan dalam masyarakat. Sastra justru harus mengajak pembaca mempertanyakan itu.
Bagaimanakah Anda menemukan titik keseimbangan, terutama dalam karya cerita untuk anak, kisah cerita fiktif, dan lensa yang realistis untuk mencerminkan isu-isu nyata di Indonesia?
Fiksi adalah fiksi. Itu berlaku untuk semua karya fiksi, baik yang ditujukan untuk pembaca dewasa maupun anak-anak. Dalam proses penulisannya, fiksi akan mengolah banyak hal dari realitas, dari peristiwa nyata, dari linkungan yang benar-benar ada, dari catatan ilmu pengetahuan. Semuanya diramu dengan imajinasi dan kreativitas penulis. Jadi bukan soal bagaimana menemukan titik keseimbangan, tapi soal bagaimana bisa meramu semuanya menjadi sebuah cerita yang baik, menarik, dan bisa memberikan pengalaman tak terlupakan bagi pembaca.
Ketika Anda memilih untuk mulai menulis buku-buku cerita untuk anak, apakah ada adjustment atau penyesuaian dalam creative process Anda?
Ketika menulis fiksi, bukan saya – si pengarang – yang menjadi subyek. Subyek dari karya fiksi adalah karakter dalam cerita. Dalam proses menulis fiksi, saya menjelma menjadi karakter yang saya tulis. Saya bisa menjadi perempuan desa buta huruf, saya bisa menjadi pegawai negeri yang korupsi, saya bisa jadi laki-laki, saya bisa jadi transgender.
Ketika menulis novel anak-anak, untuk pertama kalinya saya menjelma menjadi anak-anak. Itu saya kira sebuah tantangan besar yang butuh banyak penyesuaian. Saya mesti belajar banyak hal baru, terutama bagaimana cara seorang anak memandang realitas di sekitarnya. Untuk ini, selain riset, saya sangat terbantu oleh interaksi saya dengan anak saya sendiri.
Bagaimanakah Anda memosisikan buku cerita untuk anak serta kegiatan mendongeng dalam proses pendidikan dan pembelajaran anak?
Ketika saya percaya kekuatan fiksi untuk membentuk kesadaran, maka sudah seharusnya saya juga menaruh perhatian pada pembaca muda, khususnya pembaca anak-anak. Usia anak-anak adalah usia pertarungan dalam memperkenalkan dan menanamkan banyak hal. Apa yang didengar dan dibaca saat usia kanak-kanak akan berpengaruh besar pada jiwa dan karakter mereka saat dewasa. Untuk itu, sebagai penulis saya merasa turut memiliki tanggung jawab untuk memberikan alternatif bacaan.
Meski memakan waktu yang relatif lama dalam menggerakkan massa, bagaimanakah Anda memposisikan karya novel sebagai bentuk aktivisme di masyarakat?
Karya sastra memang tidak bekerja secara instan. Ia tidak seperti berita surat kabar – yang setelah pagi ini terbit lalu ada perubahan kebijakan besok pagi. Sastra bekerja di level individu. Individu-individu dengan kesadaran dan cara pandang baru inilah yang kemudian akan membawa perubahan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan politik. Saya sangat percaya dengan kekuatan sastra untuk membawa perubahan pada kesadaran dan cara pandang individu. Pertanyaannya selanjutnya adalah berapa banyak orang yang membaca sastra. Ini juga bukan sekadar membaca novel – tapi juga novel macam apa? Kita tak bisa mengharapkan lahirnya generasi kritis kalau yang dibaca justru hanya cerita-cerita yang membuat mereka jauh dari realitas. Kita tak bisa mengharapkan lahirnya generasi yang terlibat aktivisme jika yang dibaca hanya cerita-cerita yang menawarkan konsumerisme dan hedonisme. Di sini kemudian saya juga percaya, tanggung jawab pengarang tak berhenti hanya sekadar menghasilkan karya yang bisa dijual. Pengarang sudah seharusnya terlibat aktif dalam memperjuangkan gagasan dan membangun diskursus dalam masyarakat.
Dengan menerbitkan “Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan” secara gratis, apakah tanggapan Anda mengenai akses kepada buku dan jurnal ilmiah? Apakah menurut Anda akses tersebut sepatutnya digratiskan?
Saat ini saya sedang menempuh pendidikan doktoral di National University of Singapore. Saya merasakan sendiri bagaimana kebanyakan karya ilmiah hanya dibaca oleh orang-orang di dunia akademik. Selain itu, juga ada masalah keterbatasan akses di mana karya ilmiah susah untuk didapatkan publik. Hanya mereka yang memang sedang riset isu tertentu yang kemudian mengupayakan segala hal untuk mendapatkan referensi yang dicari.
Saat memutuskan menerbitkan buku non-fiksi saya, “Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan” secara gratis, hal utama yang ada dalam pikiran saya adalah saya ingin agar buku ini dibaca seluas-luasnya masyarakat, bukan hanya mereka yang ada dalam lingkungan akademik. Dan kemudian berhasil. Kapan lagi buku ilmiah bisa viral sampai menumbangkan website karena terlalu banyak yang mengunduh? Buku ini didiskusikan secara mandiri oleh anak-anak muda di berbagai daerah. Dalam berbagai review, banyak yang bahkan mengaku ini adalah pengalaman pertama mereka membaca buku non-fiksi!
Bagi saya, keberhasilan karya ilmiah justru ketika juga dibaca oleh orang-orang di luar lingkungan akademik.
Saya ingin membangun diskursus melalui buku ini. Dan itu jelas hanya bisa tercapai kalau buku ini mudah diakses dan bisa dibaca sebanyak-banyaknya orang.
Problem lain terkait buku dan jurnal ilmiah adalah, adanya sistem yang menurut saya kurang sehat di dunia akademik, ketika sistem mensyaratkan penerbitan karya melalui penerbit/platform yang diakui dalam dunia akademik untuk bisa naik pangkat atau mendapat insentif. Akibatnya yang dipikirkan bukan lagi bagaimana agar karya dibaca dan membawa pengaruh seluas-luasnya pada masyarakat, tapi sekadar bagaimana agar bisa naik pangkat/mendapat insentif. Jelas paradigma macam ini tak berlaku untuk saya. Karya ilmiah yang saya tulis harus keluar dari tembok akademik dan dibaca sebanyak-banyaknya orang.
Apakah Anda melihat adanya perkembangan atau pergerakan baru dalam karya sastra Indonesia jika dibandingkan dengan penelitian yang ada dalam “Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan”?
Perkembangan dan pergerakan baru akan selalu ada. Genealogi Sastra Indonesia justru mengajak pembaca untuk melihat bagaimana dalam setiap periode akan selalu ada kontestasi diskursus.
Pada novel “Kerumunan Terakhir” yang mengangkat tema media sosial dan batasan antara kehidupan nyata dan maya, bagaimanakah Anda melihat meningkatnya ketergantungan pada dunia digital di masa isolasi seperti ini?
Gagasan utama dalam Kerumunan Terakhir adalah melihat realitas media sosial dan zaman teknologi dengan kritis. Ia tak bermaksud mengajak kita menjauhi teknologi dan berhenti memakai media sosial. Kerumunan Terakhir ingin memantik kesadaran akan lapis-lapis persoalan di balik teks-teks yang kita baca di media sosial. Jadi terkait masa isolasi ini, bukan soal ketergantungannya yang menjadi persoalan. Tapi bagaimana agar kita sebagai individu tetap bisa melihat setiap narasi di media sosial dengan jernih dan waras. Dalam soal pandemi misalnya, realita kita sangat dibentuk oleh narasi yang dihasilkan di media sosial. Bisakah sebagai individu kita tetap punya otoritas atas pikiran kita sendiri? Mampukah kita memaknai, mengintepretasikan, setiap informasi dengan kritis – tak sekadar menjadi domba-domba yang digiring influencer dan buzzer? Saya sendiri percaya bahwa peran kita di media sosial adalah untuk mempertanyakan kekuatan dominan. Baik itu otoritas politik maupun penggiring wacana di media sosial. Itu yang harus menjadi catatan kita bersama.
*) Wawancara dengan Annisa N. Harsa/ Whiteboard Journal, Mei 2020