oleh Okky Madasari

Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni!

Tapi, di mana bisa ada seni tanpa puisi?

Kartini

SETIAP April kita merayakan Kartini. Setiap April dalam beberapa tahun terakhir saya selalu menulis tentang Hari Kartini, dari berbagai sudut pandang, mengaitkannya dengan masalah terkini, berupaya untuk selalu menghadirkan hal baru. Kartini tak selayaknya diperlakukan sebagai mitos. Merayakan Kartini adalah merayakan pikiran-pikirannya, membaca dan mengkaji ulang tulisan-tulisannya, menggunakannya untuk memahami permasalahan hari ini. Bahkan, pemikiran Kartini relevan dalam membantu menelaah usulan pembangunan silicon valley Indonesia yang mengemuka baru-baru ini.

Kartini adalah seorang pemikir sosial. Pramoedya Ananta Toer tak segan menggunakan istilah ”teori Kartini” untuk merujuk gagasan-gagasan Kartini. Pramoedya membandingkan Kartini dengan Munshi Abdullah bin Abdulkadir dari Singapura yang disebut sebagai Bapak Kesusastraan Melayu Modern. Pramoedya menilai tulisan Abdullah baru sampai pada pemotretan dan kritik, sementara tulisan Kartini mengandung analisis, pemahaman, dan pengertian. Abdullah melontarkan kritik-kritik yang bersifat insidental, sementara Kartini lebih bersifat fundamental. Guru Besar Bidang Sosiologi National University of Singapore Syed Farid Alatas mengemukakan bahwa pemikiran Kartini layak menjadi sumber teori sosial alternatif, pijakan bagi ilmu sosial mandiri yang lebih relevan untuk masyarakat Nusantara.

Gagasan-gagasan Kartini mencakup berbagai bidang, mulai kesetaraan perempuan, agama dan ketuhanan, kolonialisme, feodalisme, pendidikan, hingga sastra dan seni. Sebagai pemikir bumiputra pertama yang hidup di masa peralihan, Kartini merumuskan dan memperjuangkan kemajuan yang kemudian menjadi milik seluruh bangsa. Tak banyak yang tahu bahwa Kartini adalah bumiputra pertama yang mempunyai gagasan bahwa seni dan sastra mengemban tugas untuk menaikkan derajat dan peradaban rakyat. Ia tanpa ragu juga mengatakan bahwa seni dan sastra bertendens memiliki nilai lebih tinggi.

Secara garis besar, gagasan Kartini bisa dirumuskan dalam beberapa prinsip utama. Pertama, rakyat sebagai tujuan. Bagi Kartini, segala upaya dan cara yang mungkin bagi keuntungan rakyat harus ditempuh. Kedua, penguasaan ilmu dari Barat adalah syarat menyaingi dan mengalahkan dominasi Barat. Menguasai ilmu Barat bukan berarti menghamba pada Barat. Kartini sadar ketidakadilan yang dilakukan Barat.

Ketiga, cara berpikir yang tanpa sekat (multidisiplin dan kosmopolitan). Kartini hidup pada masa tidak ada perpustakaan, tidak ada toko buku, tidak ada sekolah menengah, tidak ada radio, televisi, atau internet. Bacaannya tidak tersusun menurut rencana. Dari bacaan-bacaan itulah ia memperoleh pemahaman dan mampu menggunakannya untuk melihat secara kritis persoalan dalam masyarakatnya.

Keempat, menolak tunduk pada paham keagamaan yang picik. Ia mengkritik pengajaran Islam di Jawa yang justru tak memberi kesempatan kepada umat untuk mempelajari dengan betul isi ajaran agama yang dianutnya. Kelima, mengusulkan model pengajaran yang menanamkan sikap hidup selain menekankan pada pengetahuan dan keterampilan. Tanpa ini, pengajaran yang setinggi-tingginya tidak akan bermanfaat bagi masyarakat, mungkin juga tidak bagi dirinya sendiri.

Lalu, apa hubungannya Kartini dengan Silicon Valley, pusat perusahaan teknologi di Amerika itu? Bukankah ini namanya sekadar otak-atik gathuk, menghubungkan dua hal yang tak berhubungan hanya karena keduanya punya kemiripan atau karena ada penjelasan tak rasional dan mistis yang menghubungkan keduanya?

Jawabannya adalah: Karena Indonesia akan membangun semacam silicon valley di atas lahan seluas 888 hektare di daerah Sukabumi dengan dana Rp 18 triliun. Silicon valley milik Indonesia ini diberi nama Bukit Algoritma. Kata si pengembang, proyek ini sama sekali tidak memakai uang APBN karena ini proyek swasta. Terlepas dari mana dananya, pembangunan Bukit Algoritma ini adalah fenomena sosial yang berdampak pada publik dan karena itu penting ditelaah dan dikritisi.

Kartini memang tidak kenal internet. Ia bukan pendiri perusahaan teknologi. Ia tak mengerti apa itu inovasi 4.0. Tapi, internet, teknologi, dan silicon valley itu adalah salah satu bentuk saja dari perubahan dan kemajuan dalam masyarakat. Dalam memahami perubahan dan kemajuan itulah, pikiran Kartini kontekstual dan relevan untuk tetap digunakan.

Kartini akan menyambut segala bentuk inisiatif yang bertujuan untuk mendorong penguasaan teknologi dan inovasi oleh rakyat. Ini adalah kunci bagi bangsa untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Dia akan kembali mengulang kata-katanya bahwa sudah terlalu lama sistem dan institusi yang ada dalam bangsa ini justru melawan kemajuan dalam masyarakatnya.

Tapi, kemudian Kartini akan buru-buru mengingatkan bahwa teknologi dan inovasi itu bisa dicapai hanya kalau kita menguasai ilmunya. Di sinilah ia akan kembali ke pokok masalah kita: pendidikan. Silicon valley atau Bukit Algoritma hanyalah muara dari pendidikan yang berorientasi pada kemajuan: penguasaan teknologi dan inovasi. Menurut Kartini, ketika negara tak bisa menjamin setiap orang mendapatkan jatah makanan dan kesempatan ekonomi yang sama, pemerintah wajib menyediakan pendidikan berkualitas karena hanya dengan demikian setiap orang bisa memenuhi kebutuhannya. Bukit Algoritma hanya akan menjadi mitos –atau lebih buruk lagi, proyek mangkrak– jika tak lebih dulu menyiapkan sumber daya manusianya.

Kartini juga akan selalu mewanti-wanti bahwa tujuan untuk rakyat adalah yang utama. Bukan malah bertujuan memperkaya kelompok yang itu-itu saja seperti yang selama ini terjadi. Maka, setiap tindakan harus selalu diukur dengan pertanggungjawaban akal dan kebajikan.

Bukit Algoritma hanya akan menjadi monumen kegelapan kalau tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akal dan kebajikan.

Menuju Indonesia 4.0 adalah sebuah imajinasi kemajuan yang harus bersama-sama kita dukung. Namun, eksekusi yang tak berpijak pada kenyataan sosiohistoris hanya akan membawa imajinasi berakhir menjadi halusinasi. (*)

Terbit di Jawa Pos Teori Kartini untuk Silicon Valley

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan