oleh Okky Madasari
Di Tangerang Selatan, grafiti Tuhan Aku Lapar dihapus aparat. Pembuatnya didatangi polisi. Di Pasuruan, mural bergambar dua kartun dengan tulisan Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit dihapus satpol PP. Yang terbaru, mural Wabah Kelaparan di Tangerang lagi-lagi dihapus petugas. Apakah lapar dan sambat sudah dilarang di negeri ini?
—
JIKA mural curahan hati saja langsung mendapat reaksi seperti itu, bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika muralnya mengkritik langsung pejabat negara. Pembuat mural bergambar wajah Presiden Jokowi dengan mata tertutup tulisan 404: Not Found diburu polisi karena dianggap menghina simbol negara. Ketika si pembuat mural belum tertangkap, polisi menangkap tukang sablon yang menjadikan gambar mural itu sebagai gambar kaus. Si tukang sablon dibawa ke kantor polisi, dipaksa minta maaf sambil direkam, lalu videonya disebar ke seluruh Indonesia.
Grafiti, mural, seni jalanan bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia dan sejarah dunia. Coretan dan gambar di dinding-dinding kota merupakan bagian dari penanda pergerakan zaman, rekaman kegelisahan dan kegeraman masyarakat, sekaligus catatan atas harapan dan perubahan.
Pada periode awal kemerdekaan, coretan di tembok adalah penyampai kabar kemerdekaan dan propaganda semangat kemerdekaan. Peran grafiti dalam perjuangan awal kemerdekaan ini sampai disinggung Presiden Soekarno dalam pidato HUT RI, 17 Agustus 1956. ”Di tembok-tembok rumah, di tembok-tembok jembatan, orang tuliskan isi hatinya dengan singkat, tetapi tegas: Indonesia never again the lifeblood of any nation. Indonesia tidak lagi akan jadi darah hidupnya sesuatu bangsa asing. We fight for freedom, we have only to win. Kita berjuang untuk kemerdekaan. Kita pasti menang,” ucap Soekarno dalam pidatonya.
Selama masa Orde Baru, ketika saluran kritik disumbat di sana-sini, grafiti dan mural yang menyuarakan kegelisahan tetap bermunculan. Iwan Fals pun mengabadikan itu dalam lagu Coretan di Dinding: Coretan di dinding membuat resah/Resah hati pencoret mungkin ingin tampil/Tapi lebih resah pembaca coretannya/Sebab coretan dinding/Adalah pemberontakan kucing hitam/Yang terpojok di tiap tempat sampah/Di tiap kota.
Pascareformasi, tentu saja kemunculan grafiti dan mural sebagai bagian dari ekspresi seni dan kritik semakin marak di banyak tempat. Wajah Wiji Thukul, Munir, dan Marsinah lengkap dengan kata-kata perlawanan bertebaran di dinding-dinding kota, dari Jakarta hingga kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Salah satunya diinisiasi gerakan Barisan Pengingat pada 2014, tepat menjelang pemilihan umum presiden yang mengantarkan Jokowi pada periode pertama kursi kepresidenan.
Sudah menjadi sifat dari seni jalanan untuk selalu dinamis, berkejaran dengan waktu, bergantian ruang dengan sesama warga karena semua punya hak sama untuk bersuara. Maka, wajar saja jika sebuah mural hanya berumur beberapa bulan, bahkan beberapa minggu. Mural lama diganti mural baru, suara kritik terus diperbarui dan perlawanan pun berumur panjang karena dirawat bergantian oleh banyak orang.
Seni jalanan bukanlah papan reklame iklan perusahaan atau baliho kampanye dari politisi. Mural dan grafiti adalah cara warga untuk merebut ruang publik. Ia dibuat tanpa perlu mengurus surat izin, juga tanpa membayar pajak pemasangan reklame. Seni jalanan adalah bagian dari ekspresi warga negara yang harus diakomodasi dan diberi ruang, sebagaimana ketika warga menggunakan jalanan dan area publik untuk demonstrasi. Bahkan, kini seni jalanan harus bersaing dengan mural-mural pesanan perusahaan raksasa, yang membombardir pandangan hingga ke sudut desa-desa.
Seniman jalanan tak pernah cengeng ketika karyanya habis ditimpa karya lain. Tapi, yang terjadi sekarang ini dengan turun tangannya aparat untuk menghapus mural dan memburu pembuatnya sudah bukan lagi hal yang biasa-biasa saja dalam dinamika seni jalanan. Keterlibatan polisi dan satpol PP untuk menghapus mural dan memburu pembuat mural inilah yang menimbulkan pertanyaan sekaligus kegeraman.
Pamer Kekuasaan
Perkara mural ini seseungguhnya hanya bukti terbaru saja dari catatan ancaman kebebasan berekspresi pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Penyalahgunaan Undang-Undang ITE, patroli polisi siber, pencidukan aktivis dan mereka yang dicurigai mendalangi demonstrasi, hingga represi pada mahasiswa yang mengkritik pemerintah adalah rangkaian sikap antikritik dari otoritas selama periode ini.
Pemerintahan periode kedua yang semestinya dijalankan dengan sepenuh hati menghargai prinsip demokrasi –karena katanya sudah tak ada beban lagi– justru dijalankan dengan ugal-ugalan, pamer kekuasaan di sana-sini. Anggota polisi tanpa ragu petentang-petenteng di linimasa, mengancam semua orang dengan berkata, ”We keep eyes on you.” Kami memata-mataimu. Atau, kalau dalam bahasa George Orwell, ”Big Brother is watching you.”
Bukan hanya polisi dan aparat berseragam yang pamer kekuasaan. Di tingkat universitas, rektor memanggil mahasiswa yang mengkritik pemerintah. Di ranah publik, staf khusus kementerian mencari-cari alasan untuk menyetujui pemberangusan dan pendukung pemerintah dengan mudah menuduh suara kritik sebagai bagian dari upaya menggulingkan pemerintahan.
Tuhan Aku Lapar, Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit, dan Wabah Kelaparan adalah cerminan dari apa yang dirasakan rakyat selama 1,5 tahun pandemi. Ketika rakyat sudah mengutarakan rasa lapar kepada Tuhan, pemerintah perlu segera mengevaluasi kebijakannya. Ketika rakyat mengadu kelaparan, negara seharusnya segera memberi makan, bukan malah membungkam. (*)
Terbit di Jawa Pos Tuhan, Aku Lapar