Oleh: Okky Madasari
Influencer alias pemengaruh terbaik untuk urusan vaksin adalah mantri, Pak RT, Pak RW, Pak Lurah. Bukan artis, selebriti, atau seleb media sosial.
—
SALAH satu bentuk kampanye pentingnya vaksin yang sangat membekas dalam ingatan saya adalah iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi pada tahun ’90-an. Seorang perempuan menggendong bayi sambil menyanyikan lagu ninabobo. Ternyata bayi yang digendong adalah boneka. Bayi si perempuan itu telah meninggal karena tak diimunisasi. Dalam iklan yang lain, diceritakan ada anak yang mulai belajar berjalan, tapi kemudian ia tak mampu. Ternyata itu akibat kealpaan orang tua memberikan vaksin polio.
Dua tayangan iklan yang diulang-ulang di layar televisi itu memberikan kesan yang begitu menakutkan atas pengabaian terhadap pemberian vaksin. Setiap tayangan itu muncul, saya seperti dipaksa menahan napas, rasa cemas tiba-tiba menyergap yang tanpa disadari membentuk kesadaran hingga masa yang jauh di depan bahwa setiap bayi harus imunisasi, bahwa vaksin adalah sesuatu yang tak bisa dianggap main-main.
Generasi yang tumbuh pada dekade ’70–’90-an sesungguhnya adalah generasi yang tumbuh terlindungi oleh vaksin. Generasi ini tak lagi melihat wabah cacar, jarang sekali melihat orang tetanus, tak lagi punya kekhawatiran bahwa sakit perut, mencret, atau bersin-bersin akan berujung pada kematian. Generasi ini hanya mendengar cerita bahwa di zaman yang telah lama berlalu polio menyerang semua anak di sebuah kampung, bahwa dahulu kala cacar dan influenza adalah wabah yang mematikan. Bayi-bayi yang lahir pada periode ini akan didatangi oleh bidan dan perangkat desa, dicatat untuk selalu diingatkan agar pergi ke posyandu. Kalau sampai kelewatan, rasanya akan seperti melakukan dosa besar. Memasuki usia sekolah dasar, anak-anak akan berbaris untuk disuntik satu per satu di lengan. Tentu saja ada yang menangis, berteriak, memberontak. Tapi, vaksin itu tetap akan masuk ke tubuh semua anak di seluruh pelosok negeri. Generasi ini menerima vaksin sebagai sesuatu yang terberi, sesuatu yang sudah tersaji, yang otomatis akan didapatkan. Kita juga nyaris tak pernah berpikir bahwa kelangkaan berbagai penyakit yang dulu pernah mewabah bukan karena penyakit itu musnah atau virusnya mati begitu saja, tapi karena semakin banyak manusia yang telah divaksin, yang menghalangi virus mendapatkan inang dan akhirnya mati.
Meski kita tahu bahwa hingga saat ini ilmuwan belum berhasil menemukan vaksin untuk malaria, TB, HIV, dan berbagai penyakit lainnya, tidak ada rasa keterdesakan masal atas vaksin yang belum ditemukan.
Baru kemudian di masa sekarang ini, kita semua disadarkan bahwa vaksin bukanlah sesuatu yang begitu saja ada. Ia adalah hasil upaya manusia dalam melawan makhluk-makhluk kecil penyebab penyakit yang dengan mudah bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain, bukan hanya di satu desa atau satu kota, tapi di seluruh penjuru dunia. Hidup di masa pandemi Covid-19 membuat kita bisa melihat langsung bagaimana manusia berpacu, adu cepat dengan kecepatan virus. Setiap detik upaya menghasilkan vaksin sangat berarti karena dalam hitungan detik itu virus-virus merenggut nyawa manusia di berbagai tempat di dunia.
Baca juga: Bukan Revolusi Kita
Sepanjang tahun 2020 yang baru saja kita lewati, kita semua seperti berjalan dalam lorong gelap dan vaksin adalah titik cahaya nun jauh di depan sana. Kita tahu cahaya itu ada, kita bisa melihat kilaunya, tapi kita tak pernah tahu kapan kita bisa tiba di ujung lorong di mana cahaya tak lagi hanya serupa titik, tapi terang menyinari kita. Sepanjang tahun itu kita bahkan tak benar-benar tahu apakah titik cahaya itu memang benar sumber cahaya atau jangan-jangan hanya fatamorgana.
Dalam perjalanan menuju cahaya itu, lebih dari dua puluh lima ribu nyawa di negeri ini tak terselamatkan. Kasus-kasus baru terus bertambah setiap hari, semakin membesar setiap hari, hingga kini angka puluhan ribu kasus baru menjadi kabar rutin setiap hari.
Ketika kini vaksin telah tersedia dan mulai didistribusikan, belum ada bukti bahwa vaksin akan berhasil menghentikan wabah. Betul bahwa cahaya itu kini kian terang, bahwa harapan itu membesar, tapi kita belum tiba di tujuan dan belum ada jaminan tak lagi ada nyawa-nyawa gugur di sepanjang jalan. Divaksin bukan berarti kita sudah aman dan tidak mungkin terkena virus. Bahasa ilmiah yang mengatakan efikasi vaksin Sinovac 65,2%, lalu turun menjadi 50,4%, harus dibaca bahwa kemungkinan untuk terinfeksi virus lebih kecil dibandingkan jika kita tidak divaksin dan jika terinfeksi dampaknya akan lebih ringan. Jelas ada harapan, tapi bukan janji kemanjuran. Apalagi ketika antrean vaksin masih sangat panjang dan lebih dulu diberikan kepada mereka yang dianggap sebagai prioritas. Sembari menunggu antrean, tak ada yang bisa kita lakukan selain tetap memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak dengan orang yang tak serumah dengan kita.
Vaksin hanyalah bentuk ikhtiar yang harus dikelola dan diterima dengan kerendahhatian dan kehati-hatian. Selebrasi dan kejemawaan dalam mengelola vaksin hanya akan berujung pada kesia-siaan. Kehadiran Raffi Ahmad tanpa masker di sebuah pesta beberapa jam setelah ia mendapat prioritas vaksin menambah panjang daftar inkompetensi pemerintah dalam menangani pandemi.
Vaksin tak bisa disosialisasikan dengan mengikuti tren pemasaran ala influencer media sosial, melainkan dengan menggerakkan mesin negara hingga ke unit terkecil masyarakat. Perasaan kolektif yang harus dibangun dengan kehadiran vaksin adalah rasa waspada, bukan euforia dan pesta pora. (*)
Terbit di Jawa Pos: Vaksin dan Influencer