oleh Okky Madasari
Sejarah kekuasaan adalah sejarah kebangsatan. Sebuah catatan panjang tentang obsesi pada status dan akumulasi kekayaan, kekerasan dan kesewenang-wenangan, pembuatan aturan dan kebijakan yang merugikan banyak orang.
—
DALAM novel Max Havelaar (1860), Multatuli alias Douwes Dekker menggambarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda adalah pemerintah yang korup, lalim, dan menerapkan berbagai kebijakan yang memeras rakyat kecil, salah satunya kebijakan pajak. Pajak diberlakukan dengan tidak masuk akal tanpa mempertimbangkan sedikit pun rasa keadilan. Rakyat harus melakukan segala hal untuk memenuhi kewajiban mereka membayar pajak. Jika pajak tak terbayar, apa pun yang mereka miliki akan disita. Dalam Max Havelaar, kerbau kesayangan Saijah disita karena tak mampu membayar pajak. Bagaimana jika sudah tak punya kerbau dan tak punya harta apa pun? Maka, badan dan nyawa adalah penggantinya.
Kisah Max Havelaar terjadi dalam periode ketika kolonial kapitalisme bercokol di Nusantara, ditandai dengan penguasaan lahan oleh pemerintah kolonial dan pelaksanaan tanam paksa sejak 1830. Menguasai lahan artinya menguasai manusia. Dengan penguasaan lahan justru masyarakat pribumi yang kemudian menumpang hidup pada penjajah. Setiap desa wajib membayar pajak atas lahan yang ditempati yang besarnya adalah empat puluh persen dari hasil panen. Untuk bisa membayar pajak, setiap orang harus memeras keringat, mengolah lahan sesuai dengan komoditas yang sudah ditetapkan penguasa; kopi, gula, aneka rempah-rempah. Hasil panen itu wajib dijual pada perusahaan yang ditunjuk pemerintah dengan harga yang sangat murah.
Dengan segala kebijakan itu, masyarakat tak punya pilihan selain mengikuti apa yang sudah diterapkan. Penguasa kemudian akan dengan mudah melabeli mereka yang hasil panennya kurang dari yang diharapkan sebagai pemalas. Pokoknya semua adalah salah masyarakat.
Dari sisi rakyat kecil, ketika sistem sedemikian menekan dan menindas, perlahan mereka akan termakan dan percaya dengan setiap hal yang dikatakan penguasa. Ketika kerbau kesayangan disita karena tak mampu memenuhi kewajiban, mereka akan menyalahkan diri sendiri, membenarkan tuduhan penguasa bahwa mereka pemalas. Alih-alih mempertanyakan sistem dan kebijakan, mereka akan memaksa diri untuk bekerja lebih keras demi bisa memenuhi kewajiban dan demi mencegah hal yang buruk terjadi. Kondisi dan nilai seperti ini akhirnya diwariskan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun hingga semakin sulit memisahkan mana yang fakta dan mana yang sesungguhnya hanya propaganda penguasa.
Dalam situasi yang sudah sangat berbeda, kisah Max Havelaar ini layak kembali ditilik ketika kita mendengar rencana pemerintah untuk menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sektor pendidikan dan kebutuhan bahan pokok.
Kebangsatan Aparat
Dalam novel Hikayat Kadiroen (1920) karya Semaoen, aparat sibuk mencari ayam milik istri Tuan Administratur. Sementara ketika seorang petani miskin melaporkan kerbaunya yang hilang, aparat justru mengabaikannya. Bahkan, demi memuaskan penguasa, aparat malah mengarang cerita, menuduh seseorang yang tak bersalah sebagai pencuri ayam milik istri Tuan Administratur.
Hikayat Kadiroen dengan apik menyajikan kisah tentang kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, bagaimana persamaan hak dan kedudukan di mata hukum tak pernah benar-benar ada, bagaimana pemutarbalikan fakta adalah hal yang biasa.
Kisah terbaru dari dunia hukum Indonesia yang memotong masa hukuman jaksa Pinangki dari sebelumnya sepuluh tahun menjadi hanya empat tahun adalah sebuah contoh yang sangat kasatmata. Di sini kita melihat kebangsatan aparat dari dua sisi sekaligus. Pertama, dari sisi seorang jaksa yang menerima uang suap sekitar Rp 7 miliar dari koruptor. Jaksa Pinangki terbukti telah membantu pembebasan Djoko Tjandra, buron kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali. Kedua, dari sisi Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memangkas hukuman jaksa Pinangki. Putusan potongan hukuman oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini didasarkan pertimbangan bahwa jaksa Pinangki seorang perempuan yang harus mendapat perhatian dan perlindungan. Juga karena jaksa Pinangki seorang ibu dari anak balita.
Pemotongan hukuman jaksa Pinangki adalah sebuah pertunjukan kebangsatan yang tak lagi dilakukan sembunyi-sembunyi. Semuanya dilakukan begitu gamblang, tanpa malu dan tanpa takut, bahkan penuh keyakinan bahwa publik bisa dikelabui atau kalaupun tak bisa dikelabui toh tak ada yang bisa mereka lakukan.
Ini serupa dengan apa yang terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kegemparan tes wawasan kebangsaan. Meski begitu banyak bukti kebangsatan di balik pertanyaan tes tersebut, KPK tetap bergeming. Publik disuguhi permainan lempar batu antara KPK, Badan Kepegawaian Negara, dan Istana Negara. Ujungnya tetap saja, tujuh puluh lima pegawai tetap dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan, tetap akan dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan NKRI. Di tengah segala protes, KPK dengan jemawa melantik pegawai-pegawai yang dinyatakan lolos TWK, tepat pada saat hari peringatan lahirnya Pancasila. Seolah menunjukkan bahwa mereka inilah pegawai-pegawai yang setia pada Pancasila dan NKRI, sementara 75 orang yang tak lolos adalah memang mereka yang tak layak bekerja di KPK. Fakta bahwa 75 orang yang tak lolos TWK adalah mereka yang selama ini telah terbukti dedikasinya dalam upaya pemberantasan korupsi sengaja ditutup rapat dan diganti dengan cerita-cerita lain yang tak jelas kebenarannya.
Tes wawasan kebangsaan yang seharusnya meneguhkan komitmen pemberantasan korupsi sebagai cita-cita bersama sebuah bangsa ternyata tak lebih dari sebuah catatan tentang wawasan kebangsatan dalam sejarah bangsa. (*)
Terbit di Jawa Pos Wawasan Kebangsatan