oleh: Okky Madasari

"Jika Wiji Thukul masih ada, apa sikapnya terhadap penggusuran, terhadap ketidakadilan yang marak sekarang ini?"


Pertanyaan itu beberapa kali mengemuka di dinding-dinding Twitter dan Facebook, dalam lontaran kalimat maupun tulisan panjang lengkap dengan argumen-argumennya. Ada yang benar-benar ingin tahu; ada yang ingin menghangatkan suasana; ada juga yang menggunakannya sebagai sindiran di tengah-tengah antusiasme publik terhadap film tentang Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata, yang saat ini diputar di bioskop.

Wiji Thukul, penyair yang keberadaannya hingga kini belum diketahui, telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan macam itu dalam puisi-puisinya.

Soal penggusuran, dia tegas berkata, ”Ayo gabung ke kami, biar jadi mimpi buruk presiden!” Soal polemik tentang warga legal dan tak legal yang mendiami kampung, dia berkata, ”Kampung orang-orang kecil yang dibikin bingung oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan.” Soal hoax dan kebohongan yang sekarang diributkan di mana-mana, Wiji pun jauh-jauh hari sudah menyadarinya: ”Di radio aku mendengar berita-berita, tapi aku jadi muak karena isinya kebohongan yang tak mengatakan kenyataan.”

Masih banyak lagi persoalan hari ini yang seolah sudah diramalkan jauh-jauh hari oleh Wiji dalam sajak-sajaknya. Entah karena memang Wiji adalah seorang penyair yang melampaui zamannya atau memang kita dan bangsa ini yang masih berkubang dalam kebebalan dan kesialan yang sama, tanpa sedikit pun mau belajar dari masa lalu.

Antusiasme masyarakat, utamanya generasi muda, yang begitu besar dalam menyambut film Wiji Thukul adalah sebuah kabar baik bagi kita semua. Sebuah pertanda tumbuhnya kesadaran bangsa ini untuk mencari tahu kebenaran, untuk turut menjaga ingatan bahwa ada seorang penyair yang sengaja dihilangkan penguasa karena sajak-sajak kritisnya.

Tapi, di sisi lain, antrean anak-anak muda yang ingin menonton film ini, tanpa diragukan lagi, adalah sebuah kabar buruk untuk penguasa. Kehadiran film tentang Wiji Thukul yang mendapat perhatian besar itu seharusnya juga menjadi tamparan dan mengusik rasa malu siapa pun yang sekarang sedang berkuasa.

Kita semua tak akan lupa, salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2014 adalah menyelesaikan kasus hilangnya para aktivis, termasuk Wiji Thukul. Bahkan, Jokowi dengan tegas berkata, ”Wiji Thukul harus ditemukan, hidup atau meninggal.”

Tapi, apa yang terjadi setelah dia terpilih? Jokowi seolah lupa pernah membuat janji tersebut. Bahkan lebih dari itu, Jokowi –yang terpilih sebagai presiden karena (salah satunya) menjadi tumpuan harapan atas penegakan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini– kini kerap menjalankan pemerintahan dengan mengabaikan prinsip-prinsip HAM.

Tanpa perlu berpikir panjang, kita tahu apa yang akan dikatakan Wiji atas pembungkaman kebebasan. Sederet peristiwa yang kita bayangkan tak akan terjadi di bawah pemerintahan Jokowi justru marak terjadi di rezim ini. Mulai pelarangan dan pembubaran berbagai kegiatan yang diadakan masyarakat, penangkapan penulis buku hanya karena bukunya dianggap menghina Jokowi, hingga tendensi menguatnya intoleransi.

Isu-isu kebebasan, HAM, dan penegakan demokrasi bukan hal yang terlalu penting bagi Jokowi yang sedang memprioritaskan pembangunan bendungan dan jembatan. Padahal, pembangunan infrastruktur pun sudah sejak mula disinggung Wiji dalam sajak-sajaknya. Jalan raya yang dibangun menggusur kampung, kota-kota yang gemerlap, gedung-gedung tinggi yang menggantikan pohon, serta orang-orang yang hanya diam dan tak bisa bersuara hingga akhirnya hanya menjadi korban keputusan-keputusan yang dibuat penguasa.

Istirahatlah Kata-Kata

Film tentang Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata, bukanlah sebuah film yang hadir untuk berteriak lantang menyuarakan ketidakadilan di sekitar kita. Bahkan, ia juga tak berteriak-teriak meminta kasus hilangnya Wiji segera dituntaskan. Film tersebut hanya ingin mengusik perlahan kesadaran dan ingatan bangsa ini tentang ketidakadilan yang terjadi di masa lalu maupun yang terjadi hari ini, di masa yang baru. Film itu juga barangkali tak akan dianggap penting oleh presiden dibanding urusan lobi-lobi politik para politikus dan upaya untuk mendapatkan dukungan dari mereka yang punya massa.

Wiji Thukul, seorang penyair yang hanya punya kata-kata, selamanya tak akan punya suara dalam dinamika perebutan kekuasaan. Penguasa di masa lalu memilih melenyapkannya dan penguasa di masa kini memilih mengabaikannya.

Tapi jangan lupa, kata-kata belum binasa. Kesadaran baru anak-anak muda bangsa ini akan tumbuh menjadi mimpi buruk untuk penguasa. Seperti Wiji, kelak mereka juga akan selalu ingat apa artinya diabaikan dan dianggap tak ada oleh negara. Semangat dan gagasan Wiji akan selalu bersama mereka. Ada dan berlipat ganda. (*)

*Dimuat di Jawa Pos

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan