oleh Okky Madasari 

Apakah Indonesia akan kembali ke masa Orde Baru? Begitu kira-kira yang kini jadi pertanyaan banyak orang.

ADA ungkapan bahwa sejarah selalu berulang. History repeats itself –digunakan untuk mengungkapkan bahwa hal yang pernah terjadi di masa lalu bisa terjadi lagi di kemudian hari. Ungkapan tersebut sesungguhnya hanya mengandung separo kebenaran.

Memang sepertinya sejarah berulang. Namun, pengulangan yang terjadi adalah pengulangan pola, adanya kesamaan-kesamaan yang mengingatkan kita pada peristiwa serupa di masa lalu.

Masa lalu dan hari ini bukanlah dua titik di kertas putih. Di antara masa lalu dan hari ini, ada rangkaian peristiwa, ada pertarungan gagasan, ada kekalahan dan kemenangan, ada derap perubahan menuju perbaikan dan kemajuan. Hari ini dibentuk oleh masa lalu dan hari ini bukanlah masa lalu.

Dari Orde Baru hingga Indonesia hari ini –meminjam ucapan Tan Malaka– bangsa kita telah terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk. Tentu bukan sebuah bentuk yang sempurna, pun bukan sebuah bentuk yang dulu kita angankan. Yang jelas, ini bukanlah sebuah bentuk final karena akan terus ada benturan-benturan berikutnya.

Tiga puluh dua tahun hidup di bawah rezim otoriter Soeharto telah membentuk bangsa kita menjadi bangsa yang mampu bersiasat. Para seniman mencari cara kreatif untuk menghindari tuduhan subversif.

Karya-karya sastra yang penuh metafora dan seolah tak peduli pada politik justru menjadi jalan bagi sastrawan seperti Putu Wijaya atau Danarto untuk menyampaikan kritik. Dono-Kasino-Indro alias Warkop DKI menjadikan komedi sebagai cara untuk mengomentari isu-isu sosial. Sementara bagi Raja Dangdut Rhoma Irama atau musisi besar Iwan Fals, lirik dan nada adalah jalan pemelihara keberanian.

Para aktivis, jurnalis, dan intelektual kritis terus mencari cara untuk mengubah keadaan. Mereka sadar bahwa di balik situasi yang tampaknya baik-baik saja, ada yang perlu untuk terus dikoreksi.

Mereka-mereka inilah yang dalam istilah Jose Ortega Gasset disebut sebagai ”the select man”, lawan dari apa yang disebut sebagai ”the mass man” –orang kebanyakan atau massa. The select man –atau kalau harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bisa disebut sebagai ”yang berkesadaran”– selalu kecil jumlahnya dibandingkan dengan yang kebanyakan. Namun, kelompok inilah yang akan selalu menularkan kesadaran kepada kebanyakan orang dan terus menggerakkan roda perubahan.

Yang berkesadaran senantiasa gelisah untuk menghadirkan keadaan yang lebih baik. Mereka adalah orang-orang yang memiliki standar nilai, yang ingin mengupayakan hal yang lebih besar dari sekadar kepentingan dirinya sendiri.

Tentu juga sebuah fakta bahwa banyak dari mereka yang berkesadaran ini dipaksa tunduk, dibungkam, disingkirkan, bahkan kehilangan nyawa. Tapi, kita juga tak bisa memungkiri bahwa akhirnya sejarah digerakkan oleh siasat tiada henti dari mereka yang berkesadaran.

Ketika reformasi 1998 terjadi, perubahan itu sesungguhnya bukan sebuah keajaiban dari satu peristiwa tunggal. Reformasi 1998 adalah akumulasi dari kesadaran yang terus dirawat, keberanian yang sedikit demi sedikit terus dipupuk, dan meluasnya kalangan mereka yang berkesadaran.

Dalam babak baru pascareformasi ini, mereka yang berkesadaran terus berupaya menyemai dan merawat demokrasi. Membangun siasat-siasat baru, terus beradaptasi dan berevolusi.

Satu yang pasti, yang berkesadaran selalu bukanlah kelompok besar dalam masyarakat. Ini menjadi sebuah tantangan besar di tengah sistem demokrasi elektoral yang mengandalkan jumlah. Yang berkesadaran bukanlah kantong suara yang bisa menjanjikan kemenangan. Di saat bersamaan, kerja-kerja membangun kesadaran bukanlah sebuah kerja instan, juga bukan sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan dengan terstruktur, sistematis, dan masif –karena justru itulah yang hendak dilawan oleh setiap mereka yang punya kesadaran.

Jika pun dalam satu–dua bulan ke depan Prabowo Subianto ditetapkan sebagai presiden Indonesia, itu bukan berarti kerja-kerja membangun kesadaran tersebut gagal dan bukan berarti pula kita kembali pada Orde Baru. Prabowo, mantan menantu Soeharto, mantan tentara yang dipecat karena tersangkut penculikan aktivis, barangkali akan menggunakan pola-pola kepemimpinan otoriter yang serupa dengan pemerintahan Orde Baru. Namun, masyarakat sipil Indonesia hari ini –mereka yang berkesadaran– adalah mereka yang sudah mengalami benturan-benturan besar sepanjang sejarah, yang telah ditempa oleh kesalahan dan kegagalan.

Kehadiran internet dan media sosial juga telah dan akan terus mendorong lahirnya bentuk kesadaran-kesadaran baru. Memang tidak akan serta-merta menjadi suara dominan di TikTok dan tak serta-merta mengubah kontrol algoritma. Namun, setidaknya sistem teknologi informasi ini memungkinkan setiap suara dan aksi individu bisa teramplifikasi. Gerakan-gerakan baru terus tumbuh, dimotori oleh generasi baru the select man.

Di saat yang sama, kita juga harus waspada. Teknologi baru memaksa penguasa untuk mencari cara baru dalam mengontrol rakyatnya, tanpa mengandalkan pada kekerasan dan senjata.

Hari-hari ini kita akan melihat wajah baru otoritarianisme. Ia tak akan melulu hadir dengan wajahnya yang garang, tapi ia akan hadir dalam wajah-wajah lelah yang mengundang rasa kasihan, juga dalam joget-joget gemoy yang memabukkan.

Penyalahgunaan kekuasaan bisa hadir dalam tindakan-tindakan yang sekilas tampak mulia, dari bagi-bagi susu hingga makan siang gratis. Pers dan media massa tak akan lagi menjadi saluran utama yang menghubungkan antara kebijakan dan publik. Sementara penguasa akan lebih memilih tampil di YouTube milik selebriti atau langsung live di kanal-kanal media sosial.

Di titik ini kita pun harus terbangun. Kita tak lagi hidup di masa lalu. Zaman telah berubah. Merawat dan menyebarluaskan kesadaran tak cukup hanya dengan keberanian dan heroisme. Tapi juga butuh keluwesan, kreativitas, dan pembaruan. Inilah zaman di mana kita membutuhkan siasat baru: kesadaran kreatif. (*)

Terbit di Yang Berkesadaran

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan