oleh Okky Madasari, kurator
“Art is a matter of humanity just as much as it is a matter of identity”
~Mawlana Hazar Imam (Aga Khan IV)~
Keindahan yang mutlak adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala, yang karenanya Ia dikenal juga sebagai Al Jamil (Maha Indah). Kita manusia hanya dianugerahi oleh-Nya setitik kemampuan (Divine spark) untuk merasakan dan menciptakan seni dan keindahan yang tentu terbatas nilainya.
Seni, terutama jika ia terinspirasi atau bahkan berlandaskan spiritualitas dan kejujuran serta mencoba untuk adil, dapat menjadi media dan diskursus yang menyelamatkan dan membebaskan kita dari sekat-sekat rutinitas serta dari prasangka yang membelenggu pikiran dan hati kita.
Dalam kejujuran tentang keterbatasan dan kerendahan hati inilah 15 seniman Muslim berkumpul dalam pameran ini. Seniman-seniman ini mengekspresikan keindahan subyektif mereka serta menyuarakan kegelisahan atas berbagai macam perkembangan yang terjadi di dunia sambil mencoba meneruskan sekaligus merombak tradisi dan konvensi berkesenian Islam yang terbangun sejak abad ke-7 masehi, sejak di masa puncak dinasti Umayyah.
Sebagai satu kesatuan, 15 seniman dengan 42 karya ini menciptakan sejarah kecil dalam skala sejarah seni di Indonesia dengan menghadirkan berbagai keunikan, terobosan dan inovasi. Para seniman ini menunjukkan bagaimana seni Islam, yang meski datang bersama agama dari Timur Tengah, sudah menyatu dengan budaya dan semangat lokal, menjadi salah satu tulang punggung seni Indonesia, dan bukan lagi hanya sebagai catatan kaki sejarah seni negeri ini.
Dari sisi individu, setiap karya menarik kita untuk sejenak tenggelam dalam pengalaman keindahan spiritualitas sambil merasakan semangat gugatan akan terwujudnya dunia yang berkeadilan. Secara khusus, seniman-seniman ini menyuarakan penderitaan Palestina yang berlangsung tanpa henti akibat kebiadaban Israel sambil mengirim harapan dan doa supaya bangsa ini akhirnya mendapatkan keadilan dan kemerdekaan.
Empat seniman perempuan yang menampilkan karya-karya mereka dalam pameran ini bukan hanya tempelan atau sekedar pelengkap. Karya-karya mereka menyentuh hati dan layak mengundang pujian tinggi, sejajar dengan karya pelukis laki-laki. Ini menunjukkan bagaimana Islam adalah sebuah ruang bagi lahirnya gagasan-gagasan perempuan termasuk dalam berkesenian. Karya seniman-seniman perempuan ini mencoba keluar dari konvensi sambil tetap mempertahankan ciri-ciri seni Islam – klasik atau modern.
Pelukis asal Yogyakarta, Qonita Farah Dian merupakan representasi keunikan lukisan yang diciptakan oleh perempuan. Ia membawa napas imajinasi feminin yang terejawantahkan dalam tema, pemilihan warna lembut dan bentuk huruf yang tumpul ujungnya. Lukisannya sarat dengan kebahagiaan, kecukupan dan perdamaian. Ia bukan memandang hidup tanpa ambisi. Ia memilih sikap untuk tidak serakah dalam hidup.
Seniman dari Ternate, Fadriah Syuaib, seorang inovator dari Timur Indonesia, menampilkan tiga lukisan yang inovatif. Lukisannya, terutama, “Tiga Qul” yang merangkum surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Nas (tiga surat terakhir dalam Al Quran) dalam satu lukisan memanjakan mata dan hati serta layak menjadi penjaga setiap rumah. Sementara itu, “Sejarah dan Kebenaran Negeri” seperti bertutur akan darah yang tumpah di tanah Palestina serta ajakan pembelaan untuk bangsa ini.
Pelukis Khairunnisa Affandi tampil dengan dua lukisan dan sebuah instalasi. “Ayat Kursi Merah” dengan indah menangkap esensi surat penangkal bala ini sementara “Al-Fatihah Biru” memberi dimensi baru bagi surat yang seharusnya dibaca minimal 15 kali sehari oleh seorang Muslim. Instalasinya, “Message in the Bottle”, mengingatkan kita kepada sebuah lagu kelompok band Inggris, The Police, yang bercerita tentang betapa banyaknya orang yang kesepian di dunia ini, dan bahwa jutaan orang punya keluhan yang ingin mereka disampaikan kepada dunia.
Seniman muda Fatwa Amalia tampil dengan semangat feminisme yang kuat. Karya Fatwa, seniman termuda dalam pameran ini, menghadirkan “Mubadalah” sebagaimana tersurat dalam surat An-Nisa ayat 34 untuk menggambarkan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Sementara karyanya “Monogami” menggelorakan semangat perlawanan terhadap poligami.
Seniman termuda berikutnya dalam pameran ini, Muna Diannur yang asal Aceh, mewakili gelombang baru seni rupa Islam di Indonesia yang menangkap kemajuan tetapi tetap berpijak pada tradisi dengan memadukan pemakaian teknologi digital dan teknik manual. Hasilnya, tiga karya yang ditampilkannya mempunyai ciri spacey yang misterius serta tetap mempunyai kedalaman pesan. Lukisan “Noescape, Noregret” misalnya berbicara tentang kematian yang tak terhindarkan oleh setiap makhluk.
Jika ketiga seniman perempuan dan seniman muda Muna Diannur berjuang mencari jalan mencapai ciri khas yang mereka inginkan, lima seniman paling senior di pameran ini, Syaiful Adnan, Didin Sirojuddin AR, Yusuf Susilo Hartono, Said Akram dan Badrus Zaman menampilkan karya yang menunjukkan kematangan dan kebijakan yang mendatangkan ketenangan.
Lukisan “Perubahan” karya Syaiful Adnan, misalnya, yang memperlihatkan kematangan, kerumitan tetapi juga keindahan dan kedalaman sangat relevan dengan kondisi sosial politik Indonesia hari ini. Lukisan ini mengingatkan bahwa jika kita sebagai bangsa ingin beranjak ke tempat yang lebih baik maka kita sendirilah yang harus memutuskan dan mengubahnya. Lukisan “Hanya Kepada-Nya” adalah upaya untuk sedikit meraih kebebasan dari segi bentuk tetapi secara estetik tetap memukau.
Ketiga lukisan Didin Sirojuddin AR merupakan hasil karya seorang master yang layak menjadi barang koleksi siapa pun. Memadukan sifat lukisan abstrak dan kaligrafi, Didin berhasil menampilkan komunikasi antara kutipan firman Sang Ilahi dengan makhluk yang berusaha untuk mengambilnya sebagai jalan hidupnya. “Basmallah” dan “Di Antara Syukur dan Kufur” mencerminkan pergulatan ini. Pemilihan warna-warna dominan lukisannya beririsan dengan warna-warna bendera Palestina, yang untuk banyak Muslim membuat lukisan ini menjadi lebih relevan untuk perjuangan umat Islam hari ini.
Jika Didin Sirojuddin AR secara simbolik ingin menggarisbawahi perjuangan rakyat Palestina, maka Yusuf Susilo Hartono dalam “Bulan Sabit di Palestina” secara eksplisit tapi subtil dan indah menggambarkan penderitaan rakyat Palestina dengan warna merah yang menunjukkan tumpahnya dan tercecernya darah bangsa ini. Dalam karyanya yang lain, Yusuf meminjam cogito ergo sum milik Descartes menamai lukisannya “Aku Berdzikir, Maka Aku Ada” untuk menunjukkan bagaimana dzikir bagi umat Islam adalah wujud eksistensi yang memberi makna dalam keberadaannya di dunia.
Sebuah karya fenomenal dari Said Akram “Ali Imran 26” memperkuat pameran ini. Dengan goresan kuat dan kemisteriusan sebuah maha karya, lukisan ini “must-have” bagi pecinta karya seni. Pada prinsipnya, Ali Imran ayat 26 ini mengajarkan kita untuk tawadhu’ dan tidak sombong karena apa pun yang kita miliki bisa sewaktu-waktu dapat diambil kembali olehNya maka lukisan ini menjadi sangat relevan sebagai pengingat di Ramadhan yang penuh berkah ini. Sayangnya, kita tidak dimanjakan lebih lanjut oleh Said Akram karena ia hanya mengikutsertakan satu lukisan itu saja dalam pameran ini.
Di level yang sama dengan karya ketiga seniman di atas, ketiga lukisan kaligrafi Badrus Zaman menghadirkan kebijaksanaan dan ketenangan. Bahkan meskipun lukisannya “Semangat Perubahan” yang didasari oleh Surat Ar-Ra’du ayat 11 menyongsong dan mendukung perubahan sesuai zaman, lukisan tersebut tetaplah memakai warna dan bentuk klasik yang tenang dan kokoh seolah menentang datangnya gelombang. Lukisan indah lain yang patut dicatat adalah lukisan “Kembali kepada Allah” yang berbentuk burung dengan sayapnya dan didasari oleh QS Adz-Dzariyat ayat 50. Ia seolah mengajak kita membersihkan diri sebelum terbang menuju sisiNya.
Seniman-seniman yang lebih muda yang lahir di akhir 1960-an serta dekade 1970-an tidak mau kalah dari senior-senior mereka. Agus Baqul mewakili generasi yang mengusung ciri yang berbeda dengan pendahulu-pendahulunya. Dalam pameran kali ini, ia mendedikasikan dua lukisannya yang padat dan memukau yaitu masing-masing “Hasbunallah wa Nikmal Wakil” (Pray for Palestine#2) dan “Doa Mohon Pertolongan” (Pray for Palestine#3) untuk mendukung bangsa Palestina merdeka. Sementara itu, lukisan ketiganya “Doa Mohon Kebaikan Dunia dan Akhirat” tidak kalah indahnya dengan dua lukisan untuk Palestina tersebut.
Seniman berbakat dan serba bisa Ilham Khoiri memperlihatkan orisinalitasnya – baik dari segi tema, bentuk dan teknik – di dua dari tiga lukisan yang dipamerkannya. “Para Angsa Mencari Cinta” adalah salah satu lukisan terbaik dalam pameran ini, sementara Buraq menampilkan sisi unik yang mengejutkan dari seorang Ilham. Dalam lukisan ini, Ilham menggabungkan imajinasi dari peradaban dan budaya yang berbeda mengenai Buraq dan menghasilkan karya yang berbeda sama sekali dengan lukisan-lukisan lain di pameran ini. “The Blue Al Fajar” meskipun mempunyai ciri yang sama dengan pendahulunya, tetap menghadirkan keindahan dengan rasa yang berbeda.
Isep Misbah, seniman kelahiran Sukabumi, tampil dengan tiga karya yang memang menjadi ciri khasnya selama ini. Lewat “Salam dari Tuhan” ia menggambarkan bagaimana di tengah-tengah dunia yang porak-poranda, Tuhan memberi peringatan sekaligus harapan. Secara keseluruhan, karya-karya Isep dalam pameran ini menunjukkan posisinya sebagai seniman kaligrafi yang mempunyai tempat dan penggemar sendiri di negeri ini.
Seniman dari Banten, Ujang Badrussalam, membedakan dirinya dari pelukis-pelukis lain seangkatannya, terutama dari segi bentuk. Lukisannya, “Membelah Malam” yang didasarkan oleh QS Al-Isra memberi imajinasi magis kepada kita, sementara “Sang Pemilik Kekuasaan” yang diambil dari QS Ali Imran ayat 26-27 melihat sisi lain dari yang telah ditampilkan oleh pendahulunya yang mengambil inspirasi dari surat yang sama.
Karya-karya Kurnia Agung Robiansyah yang lahir di tahun 1982 bisa jadi memberi inspirasi bagi lahirnya karya-karya seniman yang lahir satu dekade setelahnya, seperti karya-karya Muna Diannur yang telah dibahas di atas. Karya keduanya mempunyai ciri yang hampir sama meskipun dengan aksen dan tema yang berbeda. Dari tiga karya Kurnia Agung, “Doa di Saat Sedih dan Ingin Mudah” memperlihatkan sisi magis yang kuat, menyeret kita ke alam ciptaannya. Dua karya lainnya sama-sama mempunyai sisi-sisi menarik yang layak mendapatkan perhatian. Kehadiran Kurnia Agung jelas memperkaya khazanah kaligrafi Indonesia.
Secara keseluruhan pameran ini meruntuhkan narasi bahwa seni rupa Islam hanyalah mengenai reproduksi aksara Arab, garis-garis geometris, pohon-pohon dan bayangan makhluk hidup. Lukisan-lukisan dalam pameran ini membuktikan bahwa seni Islam, atau lebih tepatnya, seni rupa Islam di Indonesia, lebih dari hanya sekedar aksara atau bentuk geometris. Seni rupa Islam di Indonesia adalah tentang hidup dan kehidupan sebagai apa yang telah diajarkan oleh Islam itu sendiri.
Apakah Anda penggemar lukisan kaligrafi yang berciri klasik atau Anda berminat pada lukisan yang agak avant-garde yang mencoba keluar dari konvensi, atau Anda pengagum pelukis senior dengan karya mapan, atau Anda ingin berkenalan dengan karya pelukis muda, pameran ini sedikit banyak telah merangkum perjalanan seni rupa Islam kontemporer Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan baru yang menyertainya.
Jakarta, Februari 2025
*Tulisan ini merupakan catatan kuratorial Pameran Seni Rupa Islami 2025 "In the Name of Sincerity, In the Name of Humanity, di Galeri Neo Jakarta, Februari-Maret 2025