oleh Okky Madasari

Bebas bersuara tapi kelaparan atau perut kenyang tapi tak bebas bersuara?

Bukan keduanya.

Roti atau Lotre? Demikian judul episode pertama drama Korea Squid Game Season 2 yang tayang di Netflix sejak akhir Desember lalu. Dalam episode tersebut digambarkan bagaimana gelandangan yang kelaparan disodorkan dua pilihan oleh petugas rekrutmen peserta game: sepotong roti atau lotre. Hampir semua gelandangan itu memilih lotre. Dengan penuh harapan akan mendapat keberuntungan, mereka menggosok kertas dengan logam. Sialnya, tak ada satu pun yang memenangkan lotre. Lotre tak menang, sepotong roti pun tak dapat.

Bagi banyak orang, adegan ini dianggap sebagai cerminan atas keserakahan manusia. Seandainya saja mereka memilih roti, setidaknya ada yang sekarang bisa mereka makan. Seandainya saja para gelandangan itu tidak bermimpi untuk mendapat rezeki nomplok dan menjadi kaya mendadak, setidaknya mereka masih bisa mengganjal perut dan menikmati roti sekarang. Gara-gara serakah, kini mereka malah tak dapat apa-apa, begitu yang ada dalam pikiran penonton, termasuk pikiran si petugas rekrutmen yang memberi tawaran antara roti dan lotre itu.

Bahkan si petugas rekrutmen dengan angkuh malah menginjak-injak roti yang seharusnya bisa mengisi perut gelandangan-gelandangan yang kelaparan itu. Ia berdalih bahwa gelandangan itu sudah diberi kesempatan memilih dan mereka telah membuat pilihan dengan bebas untuk tetap lapar. Sekilas terdengar betul apa yang dikatakan petugas rekrutmen itu, tapi apakah benar demikian?

Ketika seorang gelandangan disodori dua pilihan antara roti dan lotre, sesungguhnya sudah tidak ada lagi kehendak bebas (free will) itu. Pilihan yang diberikan kepada mereka dibuat oleh orang lain yang lebih punya kekuasaan dibanding mereka. Bagi gelandangan-gelandangan tersebut, ketersediaan dua pilihan itu pun sama sekali tidak memberikan kesempatan bebas untuk memilih.

Lalu benarkah keputusan para gelandangan tersebut memilih lotre adalah cerminan dari keserakahan?

Meskipun Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, berpendapat bahwa keserakahan adalah sifat alami yang dimiliki setiap manusia, tidak setiap tindakan dan keputusan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai didasari oleh keserakahan. Tidak pernah ada rasa cukup dalam keserakahan. Cukup kenyang, cukup nyaman, cukup uang, cukup sejahtera, semua akan dilindas oleh rasa kurang, rasa selalu haus, dan keinginan untuk mendapatkan lebih. Bagaimana bisa seseorang menjadi serakah ketika sekadar untuk makan saja mereka tak bisa?

Dengan memilih lotre, para gelandangan itu justru sedang mencoba mengambil keputusan yang rasional. Sepotong roti hanya akan sesaat mengganjal perut mereka, sementara jika memenangkan lotre, mereka punya kesempatan untuk membangun hidup dan masa depan mereka. Dengan memelihara harapan untuk memenangkan lotre, para gelandangan merawat tujuan hidup, menyimpan misi dan rencana untuk mencapai tujuannya.

Pada saat bersamaan, beranggapan bahwa para gelandangan itu tak seharusnya memilih lotre juga merupakan representasi cara berpikir kekuasaan yang ingin tetap menjaga status quo sekaligus tetap mempertahankan ketidakadilan sistem. Kekuasaan sedang bekerja seraya berkata, ”Cukup bersyukurlah sudah dapat roti dan tak usah lagi ngadi-ngadi.”

Yang Penting Kenyang

Rasa takut atas rasa lapar memberikan ruang bagi kekuasaan untuk memainkan kontrol. Makanan pun menjelma sebagai sebuah alat kontrol dan propaganda. Karena dekat dengan sumber ketakutan utama manusia, ”makanan gratis” dengan mudah memanipulasi kesadaran banyak orang. Semua dengan mudah tergoda dengan rayuan gratisan itu. Tak ada yang peduli meski diingatkan bahwa tak ada makan siang gratis. No such thing as free lunch.

Ketika akhirnya makanan gratis itu dibagikan ke sekolah-sekolah, disodorkan kepada anak-anak dari SD hingga SMA, kekuasaan pun bekerja untuk mengatur, mengontrol, dan menyebarkan pesan-pesan.

Lihat saja bagaimana pelaksanaan makan bergizi gratis yang diwarnai dengan larangan untuk memotret dan mengkritik makanan. Seorang siswa SMK di Bogor harus membuat video permintaan maaf karena telah merekam dan menyebarkan jatah makanan yang dianggap tidak sesuai. Seketika ada harga yang harus dibayar untuk makanan gratis itu.

Apa yang dikemukakan Michel Foucault sebagai governmentality bekerja dengan sangat efektif melalui program makan siang gratis di sekolah-sekolah. Siswa dibentuk untuk taat dan patuh, toh yang penting makan terjamin dan perut kenyang. Pesan utamanya juga jelas, bahwa negara telah menjalankan tugasnya sebagai penyedia, maka patuh dan berterima kasihlah.

Dari sisi kepentingan politik elektoral, makan siang gratis adalah jalan mengamankan kantong-kantong suara. Anak-anak sekolah yang lima tahun mendatang akan punya hak pilih ini dibayang-bayangi ketakutan bahwa makanan yang sekarang ia dapatkan gratis akan bisa hilang jika penguasa berganti.

Propaganda ”asal perut kenyang”, ”yang penting tidak kelaparan” sengaja diciptakan dan disebarluaskan. Sebagaimana gelandangan yang harus memilih antara roti dan lotre, rakyat dipaksa untuk memilih kenyang dan tak kelaparan, meski harus kehilangan hal-hal lainnya.

Rasa lapar itu kemudian akan dikontraskan dengan kebebasan. Lebih baik kehilangan kebebasan asal perut selalu kenyang daripada bebas tapi kelaparan. Begitu sesat pikir yang sengaja ditanamkan kepada banyak orang.

Padahal, Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, telah mengemukakan bagaimana kelaparan bisa dicegah dan dihentikan berkat adanya kebebasan. Dengan rakyat yang bebas bersuara, kabar kelaparan bisa diberitakan, ketidakadilan bisa digugat, pemerintah yang semena-mena bisa diturunkan. Bebas bersuara dan bebas dari rasa lapar harus sama-sama kita perjuangkan. (*)

Terbit di Jawa Pos Kekuasaan dalam Seporsi Makan Siang

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan