Oleh Okky Madasari
Ini adalah waktu terbaik, ini adalah waktu terburuk, ini adalah zaman kebijaksanaan, ini adalah zaman kebodohan, ini adalah era keyakinan, ini adalah era ketidakpercayaan, ini adalah musim cahaya, ini adalah musim kegelapan, ini adalah musim semi harapan, ini adalah musim dingin keputusasaan…
Charles Dickens
INDONESIA sepanjang tahun 2024 mengingatkan saya pada paragraf pembuka Charles Dickens dalam novelnya, A Tale of Two Cities (1859). Dengan indah dan menggugah, Dickens menggambarkan sebuah masa penuh paradoks di tengah Revolusi Prancis yang sekaligus menggambarkan paradoks Revolusi Industri, masa ketika novel tersebut ditulis.
Indonesia tahun 2024 adalah masa penuh paradoks. Inilah tahun di mana kita merasakan kekecewaan dan kemarahan kolektif sebagai warga negara. Kita menyaksikan dengan kasatmata bagaimana melalui prosedur demokrasi, bangunan demokrasi digerogoti hingga nyaris roboh. Institusi-institusi demokrasi dibusukkan dengan cara yang seolah legal, tapi bertentangan dengan prinsip keadilan dan akal sehat. Penguasa dan keluarganya petentang-petenteng; pelesir dengan jet mewah, cawe-cawe sana sini, mengamankan kekuasaan dari pusat hingga ke desa-desa, lembaga-lembaga negara saling berselingkuh dan menyalahgunakan wewenang. Teriakan-teriakan publik diabaikan, aksi massa dianggap tak nyata, toh akhirnya rakyat juga tak bisa berbuat apa-apa.
Puncaknya, tepat di akhir tahun ini, PPN ditetapkan naik 12 persen mulai 1 Januari 2025. Apa pun dalihnya, kenaikan PPN jelas akan berakibat pada kenaikan harga, kenaikan biaya hidup. Beban rakyat semakin berat, sementara di sisi lain kita dipertontonkan dengan gaya hidup mewah pejabat dan keluarganya yang dibiayai uang korupsi. Bahkan, pegawai pajak yang jabatannya tak tinggi-tinggi amat bisa menumpuk kekayaan dengan nilai fantastis.
Celetukan untuk pindah negara dan pindah kewarganegaraan seolah hanya guyonan, padahal itulah puncak dari rasa lelah untuk berharap pada pemerintah. Kekecewaan dan kemarahan pun menjelma menjadi frustrasi dan keputusasaan kolektif. Lebih tepatnya lagi, keputusasaan politik kolektif.
Keputusasaan politik erat kaitannya dengan rasa ketidakberdayaan; sebuah kondisi di mana kita, sebagai warga negara, kehilangan harapan, patah hati, frustrasi pada sistem, struktur, dan proses politik. Situasi ini merupakan buah dari segala rentetan pertunjukan politik tanpa nilai dan etika, penyalahgunaan wewenang, korupsi, kepongahan dan kebebalan penguasa. Keputusasaan politik akan mewujud dalam hilangnya kepercayaan pada pemimpin, pada pemerintah, dan pada demokrasi itu sendiri.
Di sisi lain, keputusasaan politik juga bisa lahir dari rasa frustrasi individu atas kondisi personalnya. Ketika hidup terasa gini-gini aja, ketika harga kebutuhan semakin meningkat, ketika untuk mencapai kondisi hidup layak saja tak bisa. Ketika seseorang merasa tak lagi bisa berharap pada sistem dan pemimpin, ia merasa tak akan ada yang bisa menolongnya keluar dari kesulitan-kesulitan karena jeratan pinjol, kesulitan karena baru kena PHK, kesulitan membayar biaya sekolah anak, kesulitan membayar biaya rumah sakit.
Keputusasaan politik akan berdampak pada kondisi kesehatan jiwa raga masing-masing individu. Keputusasaan politik akan semakin menarik individu dari keterlibatan dalam komunitas dan masyarakat, membuatnya semakin merasa sendirian, terasing dan kehilangan makna, dan ujungnya adalah hilangnya rasa kebahagiaan dan terganggunya kesehatan jiwa raga.
Marah Itu Healing
Jika di masa sekarang ini, kita sering mendengar orang mengeluh perkara kesehatan mental, itu bukan sekadar gaya-gayaan. Banyak masalah kesehatan mental yang berangkat dari trauma masa kecil atau masalah-masalah pribadi yang seolah tak ada hubungannya dengan situasi di luar si individu itu. Tapi tak sedikit juga dari masalah-masalah kesehatan mental yang berakar dari kondisi sosial dan politik. Bahkan bisa jadi, yang tampaknya berangkat dari trauma personal itu pun sesungguhnya ada kaitannya dengan faktor eksternal, termasuk sistem sosial politik.
Penelitian terbaru dari Lucy H. Bird dan tim yang dipublikasikan di European Journal of Social Psychology (Februari 2024) menegaskan bahwa ada korelasi antara keputusasaan politik dan well-being. Mereka yang putus asa akan mengalami burnout –stres kronis yang ditandai dengan lelah fisik, mental, dan kehilangan produktivitas.
Kabar baiknya, menurut penelitian tersebut, burnout tak dialami oleh mereka yang marah. Kondisi well-being mereka yang marah atas ketidakadilan yang disebabkan sistem politik dan sosial cenderung lebih baik daripada mereka yang putus asa. Lebih lagi jika kemarahan itu bisa diarahkan pada sebuah aksi perlawanan kolektif, maka tingkat stres dan burnout akan semakin turun. Segala upaya untuk terus terlibat aktif menyuarakan kemarahan atas ketidakadilan rupanya bukan hanya dibutuhkan untuk menyehatkan kehidupan publik, tapi juga merupakan upaya untuk memelihara kesehatan individu.
Maka, tantangan terbesar kita sekarang adalah bagaimana agar secara kolektif kita bisa mengelola kekecewaan itu menjadi kemarahan, bukan keputusasaan. Tahun 2024 dengan segala kekecewaannya telah menyediakan bahan bakar bagi mesin turbo kemarahan.
Dengan kemarahan warga, kejahatan dan ketidakadilan diviralkan, memaksa polisi untuk menjalankan tugasnya. Ketika warga marah kolektif, jalanan dipenuhi aksi demonstrasi. Aksi Peringatan Darurat Agustus 2024 adalah bukti nyata bahwa kemarahan kolektif rakyat bisa menggagalkan agenda busuk penguasa.
Peringatan Darurat adalah salah satu contoh bagaimana tahun 2024 adalah sebuah paradoks. Ia tahun yang gelap, tapi juga tahun penuh cahaya. Tahun penuh kekecewaan, tapi juga tahun yang membangunkan banyak orang yang selama ini terbuai dan tertipu. Tahun 2024 adalah tahun yang menyadarkan kita bahwa hanya dengan kemarahan kita masih punya harapan. Selamat tahun baru. Mari terus upayakan kemarahan itu! (*)
Terbit di Jawa Pos Kita Upayakan Kemarahan Itu