oleh Okky Madasari

Apa makna puasa bagi jutaan rakyat Indonesia yang semakin sulit hidupnya? Apa hakikat puasa untuk puluhan ribu orang yang baru-baru ini mendadak kehilangan kerja? Bagaimana puasa bagi calon ASN yang pelantikannya ditunda tujuh bulan? Apa itu puasa untuk dosen-dosen yang tukinnya belum dibayar?

NEGERI ini sedang berpuasa dalam arti sebenarnya. Puasa di Indonesia hari ini bukan hanya sebagai ibadah, ia juga menjadi realitas yang dipaksakan kepada jutaan rakyat akibat kesulitan ekonomi dan kebijakan negara yang tidak berpihak kepada mereka.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), kebijakan pemerintah yang malah menyusahkan rakyat, harga-harga yang melambung, hingga ketimpangan sosial yang mencolok membuat banyak orang menjalani ”puasa” sebagai keterpaksaan hidup, bukan lagi hanya sebagai pilihan spiritual.

Dalam kondisi penuh kesulitan seperti ini, bulan puasa tahun ini bisa jadi akan menumbuhkan kesadaran dan semangat perlawanan. Sejarah telah memperlihatkan bahwa di berbagai belahan dunia puasa telah menjadi alat perlawanan politik dan sosial yang kuat dan efektif selain jalan menumbuhkan kesabaran dan kedekatan dengan Tuhan.

Dari perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabatnya menghadapi pemboikotan Quraisy, mogok makan Mahatma Gandhi dalam perjuangan kemerdekaan India, hingga aksi-aksi mogok makan yang lebih kontemporer seperti di Palestina dan Irlandia Utara, puasa telah menjadi bentuk protes untuk membela keadilan.

Dalam Islam, puasa bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga simbol ketahanan dan perlawanan. Nabi Muhammad dan para pengikutnya bertahan dalam kondisi sulit saat mengalami pemboikotan Bani Hasyim (616–619 M), di mana mereka dilarang bertransaksi dan dijauhi oleh masyarakat Quraisy. Dalam keterbatasan makanan dan sumber daya, keteguhan mereka menjadi bukti bahwa puasa dapat menjadi simbol ketahanan dalam menghadapi tekanan politik dan ekonomi.

Mahatma Gandhi juga menggunakan puasa sebagai bentuk perjuangan melawan penjajahan Inggris. Ia melakukan berbagai aksi mogok makan untuk menekan pemerintah kolonial dan menyuarakan perdamaian di tengah konflik Hindu-muslim di India. Bagi Gandhi, puasa adalah bentuk perjuangan moral yang menunjukkan keteguhan tanpa kekerasan.

Di era yang lebih baru, aksi mogok makan dilakukan oleh berbagai kelompok sebagai alat perlawanan, mulai tahanan politik di Palestina yang menentang penahanan tanpa pengadilan oleh Israel hingga Bobby Sands dari Irish Republican Army (IRA) yang melakukan mogok makan untuk menuntut hak-hak tahanan politik di penjara Inggris pada tahun 1981.

Hidup Kian Sulit

Di Indonesia saat ini, jutaan rakyat dipaksa untuk ”berpuasa” bukan karena spiritualitas, tetapi karena kondisi ekonomi yang semakin sulit. Pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di banyak pabrik, menyebabkan ribuan orang kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Belasan pabrik tutup akibat serbuan barang murah dari Tiongkok, melemahnya nilai rupiah, serta beban utang luar negeri yang semakin mencekik.

Awal tahun ini, lebih dari 11.000 pekerja Sritex kehilangan pekerjaan. Dua perusahaan pemasok sepatu Nike di Tangerang merumahkan hampir 5.000 pekerja, sementara di Garut lebih dari 2.000 karyawan pabrik bulu mata palsu kini menganggur. Harga kebutuhan pokok terus naik, memaksa jutaan orang untuk mengurangi makan –sebuah bentuk ”puasa” dalam keterpaksaan.

Namun, jangan salah, puasa tak berlaku untuk menteri dan pejabat negara lainnya beserta puluhan staf khusus-staf khusus mereka ataupun direktur-direktur dan komisaris-komisaris BUMN yang bergaji puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran rupiah per bulan. Mereka terus mempertontonkan gaya hidup mewah –liburan ke luar negeri, tas dan sepatu branded berharga jutaan rupiah, serta mobil-mobil mewah di garasi rumah mewah mereka.

Sementara rakyat yang diperas untuk membayar pajak dipaksa berpuasa. Mereka yang digaji dari pajak ini hidup bergelimang kemewahan. Dan di saat puluhan juta rakyat dalam kondisi sulit, kasus-kasus penggelapan dan perampokan ratusan triliun uang negara terpampang hampir setiap hari.

Kebijakan pemotongan anggaran oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang diklaim sebagai bentuk efisiensi justru semakin memperburuk keadaan. Sementara dana pendidikan dan kesehatan dipotong, lebih dari 300 triliun rupiah dialokasikan untuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) –sebuah badan yang pengelolanya didominasi oleh orang-orang dekat presiden dan petinggi Partai Gerindra.

Akibatnya, puluhan ribu calon aparatur sipil negara (ASN) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) harus menunggu minimal tujuh bulan untuk dilantik, sementara banyak dari mereka sudah mengundurkan diri dari pekerjaan lama. Dosen-dosen yang gajinya kecil pun belum menerima tunjangan kinerja (tukin) yang seharusnya menjadi hak mereka.

Di banyak kantor pemerintah, ASN harus patungan membeli air minum, listrik harus dihemat, dan bahkan lift serta tisu toilet dibatasi penggunaannya. Sementara rakyat dipaksa berhemat, pemerintah justru mengalokasikan dana besar untuk proyek yang tidak jelas transparansinya. Tidak heran jika ketidakpercayaan publik semakin tinggi, terlihat dari anjloknya harga saham BUMN setelah pengumuman Danantara.

Melawan dengan Puasa

Jika dulu Nabi Muhammad dan pengikutnya harus berpuasa dalam keterpaksaan akibat pemboikotan Quraisy, kini jutaan rakyat Indonesia mengalami hal serupa. Jika Gandhi menggunakan puasa sebagai bentuk protes damai melawan kolonialisme, kini rakyat Indonesia terpaksa ”berpuasa” untuk bertahan hidup di tengah kebijakan negara yang tidak adil.

Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak harus dalam bentuk kekerasan, tetapi bisa melalui solidaritas dan kesadaran kolektif. Sejarah telah menunjukkan bahwa puasa –baik sebagai praktik spiritual maupun sebagai bentuk perlawanan– dapat menjadi simbol ketahanan moral dan perjuangan melawan penindasan.

Apakah kita, rakyat Indonesia, akan terus dipaksa ”berpuasa” dalam kemiskinan, ataukah kita akan menggunakan kesadaran ini untuk menuntut perubahan yang lebih adil? (*)

Terbit di Jawa Pos Puasa dalam Gelap

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan