oleh: Okky Madasari

Dalam setiap kesempatan dan pidatonya, Prabowo Subianto tidak pernah lalai menyebut bahwa semua yang dilakukannya demi dan untuk rakyat. Tetapi, apakah kebijakan efisiensinya yang memotong anggaran pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pembangunan infrastruktur pertanian adalah demi dan untuk rakyat?

KEBIJAKAN efisiensi anggaran pemerintahan Prabowo Subianto yang sebesar Rp 306 triliun langsung berdampak pada pengurangan alokasi anggaran pendidikan dasar dan menengah sebesar Rp 8 triliun atau hampir 24 persen dari total sebelumnya Rp 33,5 triliun.

Program pendidikan apa yang paling dahulu terkena? Tentu saja program-program pembangunan dan perbaikan gedung dan fasilitas sekolah di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan yang tentu sarat ditinggali keluarga miskin serta program-program beasiswa yang memberi akses masyarakat miskin untuk bersekolah dan mendapat pendidikan yang memadai.

Efisiensi ini juga pasti akan memotong anggaran untuk program peningkatan kualitas guru yang menjadi tulang punggung peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah Indonesia, yang saat ini adalah salah satu yang terendah di dunia, jika mengacu kepada skor PISA (Program For International Student Assessment) yang umum diakui dunia. Pendidikan Indonesia, dengan demikian, akan semakin terpuruk dan pelajar-pelajar kita akan semakin jauh tertinggal bahkan dari tetangga-tetangga kita di ASEAN.

Kebijakan efisiensi ini juga memotong alokasi anggaran pendidikan tinggi dan riset sekitar 25 persen atau sebesar Rp 14,3 triliun. Pemotongan ini jelas langsung membatasi akses anak keluarga miskin untuk kuliah karena berbagai macam program beasiswa untuk keluarga yang tidak mampulah yang paling dahulu dikurangi.

Belum lagi dampak pengurangan anggaran riset bagi ilmuwan kita serta pengaruh negatifnya bagi kemajuan sains dan teknologi bangsa ini. Entah akan jadi apa Indonesia tanpa pengembangan riset dan teknologi, dua bidang yang menjadi dasar kemajuan suatu bangsa. Jangan lagi bicara maju dan berkembang serta sejajar dengan bangsa lain –atau bahkan menjadi macan Asia– tanpa riset serta pengembangan sains dan teknologi Indonesia akan semakin tertinggal.

Efisiensi juga mengurangi anggaran kesehatan yang kemudian berisiko menurunkan perlindungan terhadap pelayanan masyarakat kurang mampu. Belum lagi dampak efisiensi ini bagi sektor pertanian dan infrastruktur yang berisiko mengurangi subsidi pupuk, pembangunan irigasi, serta ujungnya mengurangi produksi pertanian kita. Swasembada pangan? Ini mungkin cuma akan jadi mimpi. Berharap kepada food estate? Sudah cukup bukti penyelewengan dan kegagalannya.

Boro-boro kebijakan efisiensi ini demi dan untuk rakyat, yang ada, kebijakan ini malah menyengsarakan rakyat.

Ironisnya, ketika efisiensi justru mencekik rakyat kecil dan ASN kelas bawah, anggaran Kementerian Pertahanan dan kepolisian yang sudah mendapatkan anggaran tertinggi di tahun-tahun sebelumnya malah mendapatkan kenaikan anggaran.

Pengangkatan Deddy Corbuzier sebagai staf khusus bidang komunikasi –atau dengan kata lain menjadi ”buzzer”– Kementerian Pertahanan dengan gaji puluhan juta per bulan hanya menunjukkan bahwa peningkatan anggaran kementerian ini sudah tidak efisien lagi dan hanya mengejek rakyat yang sedang kesulitan.

Lagi pula, tidak ada urgensinya menaikkan anggaran pertahanan di saat sekarang ini karena tidak jelas apakah ada ancaman nyata dan langsung ke Indonesia. Bagi rakyat, peningkatan anggaran pertahanan ini tidak dampak positifnya. Apalagi peningkatan ini mengorbankan sektor lain yang berdampak langsung kepada rakyat kecil.

Bahkan kebijakan ini bertentangan dengan kebijakan luar negeri mencari teman dari Prabowo yang selalu menggaungkan ”Satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit.” Peningkatan anggaran pertahanan yang terus-menerus hanya akan memprovokasi negara lain dan meningkatkan saling curiga. Konsep kuno ”Jika ingin damai bersiaplah untuk perang” sangat berbahaya untuk diadopsi begitu saja.

Hal yang paling tidak bisa dimengerti adalah kenaikan anggaran kepolisian di saat institusi ini dianggap oleh masyarakat luas sebagai lembaga yang tidak memiliki kinerja yang baik, korup, dan sarat kekerasan. Seharusnya, anggaran kepolisian dikurangi dan bentuknya dirampingkan serta direformasi mental personelnya.

Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump juga melakukan efisiensi besar-besaran. Tetapi, Trump tidak mengorbankan program-program untuk rakyat Amerika kebanyakan. Ia memperkecil pemerintah federal, menutup lembaga-lembaga pemerintah yang dianggapnya tidak berprestasi dan tidak berguna bagi rakyat Amerika.

Prabowo justru memperbesar pemerintahan dengan menambah kementerian dan mengangkat wakil-wakil menteri yang tidak jelas fungsi dan kerjanya. Ditambah lagi, ia juga mengangkat kepala-kepala badan dan staf-staf khusus yang kemudian juga mengangkat staf-staf yang lebih rendah. Hasan Nasbi, misalnya, mengangkat staf baru sejumlah 50 orang sehari setelah ia dilantik. Staf-staf ini digaji puluhan juta per bulan dari uang pajak yang dipungut dari rakyat yang sekarang dicekik oleh kebijakan efisiensi ini.

Jika Prabowo ingin melakukan efisiensi, seharusnya ia memulai dengan memecat anggota kabinetnya dan staf-staf khusus yang totalnya berjumlah ratusan orang. Ia juga seharusnya membersihkan korupsi yang jelas-jelas secara masif dan sistemik terjadi dalam birokrasi Indonesia, bukan malah melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memotong anggarannya seperti sekarang ini serta membiarkan pimpinan-pimpinan KPK hasil penunjukan Jokowi tetap bercokol di lembaga antikorupsi tersebut.

Saya bisa menjamin bahwa hasil efisiensi lewat pemberantasan korupsi yang benar, berani, adil, dan jujur akan menghasilkan penghematan anggaran yang jauh lebih besar daripada efisiensi yang mencekik rakyat kelas bawah seperti sekarang ini.

Prabowo tidak perlu menjadi macan Asia. Ia hanya perlu menjadi macan di dalam negeri sendiri. (*)

Terbit di Jawa Pos Efisiensi Apa Lagi?

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan