oleh Okky Madasari

Apakah para orang tua masih rela menitipkan anaknya di tempat yang melindungi pelaku pencabulan?

NAMANYA Bechi. Lengkapnya adalah Moch. Subchi Azal Tsani. Banyak media yang hingga kini masih menyebut namanya sebagai Mas Bechi. Mas, layaknya tradisi Jawa untuk memanggil laki-laki yang lebih tua atau dihormati. Mas Bechi seolah hadir sebagai satu paket nama yang terberi, sebagaimana penggunaan kata gus, yang disematkan pada putra-putra kiai terpandang, atau habib –untuk mereka yang dipercaya sebagai keturunan nabi. Media menyebut Mas Bechi –seolah dia masih layak untuk dihormati, mengaburkan fakta bahwa dia adalah seorang penjahat.

Sekarang Bechi sudah ditangkap polisi. Setelah bertahun-tahun jadi tersangka dan buron atas kasus pencabulan, penculikan, ancaman, dan kekerasan pada belasan santri. Sejak tahun 2018, korban-korban Bechi sudah bersuara menuntut keadilan. Namun, polisi tak menindaklanjuti laporan, bahkan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan bapak si Bechi malah menuduh pelapor yang bukan-bukan. Pesantren pun mengirim orang-orangnya untuk mengintimidasi, meneror, bahkan melakukan kekerasan pada saksi yang bersuara dan keluarganya. Ketika sudah ditetapkan sebagai tersangka dan buron pada Januari 2022, Bechi tetap tak tersentuh. Padahal, Bechi tidak kabur ke luar negeri atau bersembunyi di tempat-tempat yang tak bisa dideteksi. Selama berstatus sebagai buron, Bechi santai-santai saja di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, yang dimiliki bapaknya, Kiai Muchtar Mu’thi.

Setiap kali polisi berniat menangkap, ribuan santri dan pendukung pesantren akan menghadang. Seorang Bechi berhasil mempermalukan polisi karena gagal menangkapnya. Pun ketika akhirnya polisi berhasil menangkap Bechi, itu bukan karena polisi berhasil menangkap, tapi karena Bechi akhirnya mau menyerahkan diri, setelah bapaknya berjanji akan menyerahkan anaknya. Polisi tak berdaya ketika bapak Bechi tetap bersikeras melindungi anaknya. Polisi yang punya kewenangan penuh harus menyerah ketika –mengikuti istilah polisi– negosiasi dengan Pak Kiai gagal. Sebuah situasi yang ganjil dan meruntuhkan marwah polisi sebagai aparat penegak hukum.

Situasi yang ganjil kini terulang terkait izin beroperasinya pesantren tersebut. Mulanya, ada pernyataan dari Kementerian Agama bahwa izin operasi Pesantren Shiddiqiyyah dicabut. Orang tua yang telanjur mengirimkan anaknya ke pesantren tersebut diimbau untuk memindahkan ke pesantren lain. Tapi, kemudian pernyataan itu direvisi Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Muhadjir menyatakan pencabutan izin dibatalkan. Bahkan, kata Muhadjir, ia sudah melapor pada Presiden Jokowi dan pembatalan pencabutan tersebut atas arahan presiden. Alasannya adalah apa yang dilakukan Bechi adalah tindakan individu, tidak menyangkut lembaga. Katanya pula, pembatalan ini adalah demi nasib santri-santri pondok tersebut. Agar santri-santri tetap bisa belajar dengan tenang dan tak perlu pindah pesantren.

Tentu ini alasan yang tak bisa begitu saja diterima. Wajar jika kemudian kita pun meraba-raba, apa alasan yang sebenarnya di balik yang diutarakan ini? Apakah karena Presiden Jokowi dulu pernah berkunjung ke pesantren tersebut? Atau karena kedekatan personal antara pemilik pesantren dan pejabat-pejabat penting? Atau karena kuatnya jaringan bisnis pemilik pesantren?

Selama hampir empat tahun, ketika para korban menanggung trauma, dan Ayu Masruroh, salah seorang saksi dan pendamping korban, harus mencari tempat aman di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena diteror dan diancam, si Bechi tetap petantang-petenteng; tampil di berbagai panggung musik, menjalankan bisnis rokoknya, dan tentu saja tetap tinggal di pesantren bapaknya dengan statusnya sebagai calon penerus.

Saya mengenal Ayu secara personal. Saya membaca kesaksian Ayu, mulai ketika kawannya membuka suara, detail-detail pelaporan yang berliku, hingga intimidasi yang diterima Ayu dan keluarganya. Saya mendengar langsung dari Ayu, bagaimana ia harus terus menanggung beban pikiran, bagaimana melelahkannya perjuangan untuk keadilan, hingga kadang rasa putus asa itu datang dan menggodanya untuk mengakhiri hidup saja.

Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Berkat kegigihan, kesabaran, dan daya tahan Ayu dan kawan-kawan yang tergabung dalam Front Santri Lawan Kekerasan Seksual, serta keluarga yang sepenuh hati mendukung perjuangan tersebut, Bechi akhirnya bisa tertangkap.

Polisi hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan ketika semua sudah sangat terlambat, itu pun dengan segala drama dan intrik yang seharusnya tak perlu ada. Kiai Muchtar, bapak si Bechi, bukanlah pahlawan karena telah menyerahkan anaknya. Bertahun-tahun Pak Kiai selalu menolak tuduhan atas anaknya, ikut mengintimidasi dan mencuci otak santri-santrinya untuk setia sampai mati kepadanya, ikut mengerahkan massa pendukung, bahkan terang-terangan menolak anaknya ditangkap polisi.

Pemerintah ternyata juga tak melakukan fungsinya sebagai pengawas dan pembuat aturan. Empat tahun adalah waktu yang tak singkat untuk menanti tindakan nyata dari pemerintah. Hanya karena perjuangan orang seperti Ayu dan teman-temannya yang tanpa lelah membuat kasus ini menjadi viral di media sosial dan menjadi isu nasional yang angkat sebagai berita utama oleh berbagai media, polisi dan pemerintah baru serius bergerak. Tanpa mereka, kasus ini kemungkinan besar akan menguap seperti banyak kasus kekerasan seksual lainnya.

Kini, ketika pemerintah masih saja mengizinkan pondok itu beroperasi, jelas pemerintah tak mau memahami duduk perkara atau malah sengaja menutup mata, dan membiarkan santri-santri berada dalam bahaya. Kekerasan seksual di pesantren, dari pencabulan hingga pemerkosaan, bukan hal yang satu atau dua kali terjadi. Banyak kasus yang tak terusut, yang terlupakan begitu saja setelah dilaporkan, atau selama-lamanya terpendam karena korban memilih bungkam. Kasus Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang memang jelas bukan satu-satunya, tapi kasus ini menjadi potret paling gamblang atas kebobrokan sistem dan kultur dalam masyarakat kita. (*)

Terbit di Jawa Pos Benci Bechi

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan