Oleh: Okky Madasari
Belum habis Revolusi Mental digaungkan, kini muncul Revolusi Akhlak. Ada yang menganggap Revolusi Akhlak hadir untuk menandingi Revolusi Mental. Tak sedikit juga yang merasa ini hanyalah permainan jargon yang lagi-lagi akan berakhir sia-sia. Sementara rakyat hanya bisa bertanya-tanya, mau dibawa ke mana bangsa kita?
Segala bentuk revolusi selalu menyiratkan perlawanan pada sesuatu yang lebih besar, mengundang keterlibatan, menjanjikan perubahan. Ketika Presiden Soekarno mencetuskan Revolusi Mental pada pidato kemerdekaan 17 Agustus 1957, semangat yang digaungkan adalah perubahan mental bangsa terjajah menjadi bangsa yang berdikari, yang punya kebanggaan pada diri sendiri dan tak merasa rendah diri ketika berhadapan dengan bangsa asing. Gagasan Revolusi Mental ala Bung Karno lahir di tengah penjajahan pikiran dan mentalitas yang tetap terpelihara di bangsa bekas jajahan meskipun kolonialisme telah berakhir – bahkan hingga hari ini, setelah tujuh puluh lima tahun Indonesia merdeka. Revolusi Mental yang diusung Bung Karno adalah bentuk perlawanan pada jejak kolonialisme, pada sistem kekuasaan yang telah membentuk mentalitas kolektif bangsa terjajah.
Sebelum kelak Joko Widodo mengusung Revolusi Mental dalam pemilihan presiden 2014, gagasan Revolusi Mental diusung di Malaysia melalui penerbitan buku tahun 1971 oleh partai penguasa UMNO yang bertajuk Revolusi Mental. Meski tak ada penjelasan bahwa Revolusi Mental UMNO terinspirasi dari Revolusi Mental Bung Karno, tetap penting dan menarik untuk membandingkan gagasan Revolusi Mental antara dua bangsa ini.
Syed Hussein Alatas, intelektual besar yang lahir dan tumbuh di Indonesia, sebelum menetap di Malaysia dan Singapura, dalam bukunya Siapa yang Salah: Sekitar Revolusi Mental dan Peribadi Melayu (1972) mencatat bagaimana Revolusi Mental ala UMNO tercerabut dari sejarah bangsanya sendiri. Alih-alih melihat bagaimana kekuasaan kolonial dan kekuasaan pasca-kolonial harus bertanggung jawab atas apa yang dialami rakyat, Revolusi Mental UMNO memilih hanya mengarahkan telunjuk pada rakyat, mengemukakan sifat dan kebiasaan rakyat yang dijadikan kambing hitam atas ketidak-majuan bangsa. Padahal, kata Syed Hussein, sifat-sifat buruk yang dipaparkan oleh Revolusi Mental lebih banyak terdapat di kalangan orang-orang yang berkuasa daripada di kalangan rakyat dan penghalang kemajuan adalah para pimpinan politik yang memegang tampuk kekuasaan.
Lalu, bagaimana dengan Revolusi Mental yang diusung Jokowi sejak Pemilu 2014? Meski jelas-jelas terinspirasi dari Revolusi Mental Presiden Soekarno, gagasan Revolusi Mental ala Jokowi tampaknya lebih dekat dengan UMNO dan melenceng jauh dari semangat dan gagasan Bung Karno. Lihat saja dari slogan yang tercantum di website resmi Revolusi Mental: Ayo Berubah dan Bangun Indonesia. Jelas yang diajak berubah adalah rakyat – bukan penguasa. Apalagi kalau dilihat dari penjabaran programnya: Gerakan Indonesia Melayani yang dimaknai sebagai pegawai rendahan dalam sistem birokrasi harus melayani dengan baik, Gerakan Indonesia Bersih yang disimbolkan dengan tong sampah, Gerakan Indonesia Tertib yang diilustrasikan sebagai kegiatan mengantre, hingga Gerakan Indonesia Mandiri dan Gerakan Indonesia Bersatu kosong penjelasan dan definisinya dalam situs resmi tersebut. Tak ada seruan perubahan untuk sistem dan pejabat-pejabat yang korup, tidak ada kritik atas kegagalan pemimpin dalam mewujudkan keadilan dalam masyarakat, tak ada juga gugatan atas nepotisme politik yang memberi kemudahan anak-anak para pejabat termasuk anak dan menantu presiden untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Semuanya hanyalah salah rakyat.
Revolusi Mental yang menjadi slogan andalan dua periode pemerintahan Jokowi dan didukung dengan anggaran besar nyatanya hanya omong kosong belaka. Lalu di tengah situasi ini, seruan revolusi lain berkumandang: Revolusi Akhlak. Digaungkan oleh Rizieq Shihab, pentolan Front Pembela Islam, yang baru kembali ke tanah air setelah tiga tahun berada di Arab, jelas revolusi ini hendak membawa masyarakat pada nilai-nilai keislaman. Seruan Revolusi Akhlak mengisyaratkan situasi bahwa masyarakat kita sekarang tak punya akhlak dan harus mengubah diri untuk memiliki akhlak. Akhlak hanya akan disempitkan pada persoalan minuman keras dan rok mini perempuan, dan pelaksanaan Revolusi Akhlak hanyalah gerebek sana gerebek sini, menginvasi urusan pribadi atas nama revolusi yang Islami.
Para penyeru Revolusi Akhlak ini juga tak punya kesadaran historis tentang bagaimana Islam telah merevolusi cara berpikir masyarakat Nusantara sejak abad 15 melalui rasionalisme dan intelektualitas. Meminjam istilah adik Syed Hussein, Syed Naguib Al-Attas (1972), revolusi rohaniah yang telah dimulai sejak abad 15 ini telah menjadi permulaan dari lahirnya zaman baru di kepulauan Nusantara. Revolusi yang tak dilakukan dengan teriakan dan makian apalagi mencaci perempuan secara terbuka dengan teriakan “lonte”.
Lebih jauh lagi, revolusi rohaniah inilah yang kemudian juga berperan melahirkan pemimpin-pemimpin besar yang membangun paham kebangsaan dan nasionalisme Indonesia. Syed Hussein memperkenalkan empat tipologi manusia baru dalam masyarakat Islam dengan merujuk pada Soekarno, Sutan Syahrir, Tan Malaka, dan Syariffudin Prawiranegara. Dengan cara pandang dan tujuan yang berlainan, keempat tokoh ini telah menunjukkan jati diri sebagai manusia Islam yang sanggup menerima kemajuan pemikiran. Bukan manusia Islam yang menurut Syed Hussein hanya berteriak sekuat-kuatnya, hingga ketiaknya basah mengajak kembali ke Al-Quran dan Hadis, menegakkan syariat.
Revolusi Mental yang hanya menyalahkan rakyat dan Revolusi Akhlak yang justru menciptakan kemunduran masyarakat jelas bukan revolusi kita. ***
Terbit di Jawa Pos Bukan Revolusi Kita