oleh Okky Madasari
Bau kolonial menguar di mana-mana. Dari gorong-gorong hingga gedung-gedung megah, undang-undang hingga meja peradilan, tontonan TV hingga konten-konten media sosial.
Setiap orang sesungguhnya bisa mencium bau kolonial itu. Baunya busuk, memenuhi setiap tarikan napas kita. Sebab bau itu ada dalam setiap aturan yang berlaku, dalam setiap kerja keras kita untuk memenuhi kebutuhan, dalam setiap kabar yang kita dengar dan tontonan yang kita konsumi.
Bau kolonial itu tercium jelas dalam kebijakan yang menindas, sistem yang tidak adil, kecurangan dan manipulasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bau kolonial tak lain adalah bau busuk nafsu keserakahan yang menghalalkan segala cara demi menumpuk harta dan kekuasaan untuk keluarga dan kroni-kroninya.
Bau kolonial memang erat kaitannya dengan kolonialisme. Tidak salah jika mengatakan bau kolonial merupakan warisan kolonialisme. Kolonialisme berakar pada dua hal: rasisme dan keserakahan. Rasisme itu mewujud dalam perasaan lebih unggul dari bangsa yang berbeda yang kemudian diimplementasikan dalam kebijakan dan aturan hukum yang menindas dan diskriminatif. Keserakahan adalah keinginan untuk terus melipatgandakan kekayaan dan kekuasaan, untuk dinikmati oleh dirinya, keluarganya, atau golongannya sendiri.
Bau kolonial itu nyata. Namun yang kerap terjadi, bau kolonial itu tak pernah tercium dan tak pernah tersadari. Bisa jadi karena bau itu sudah menjadi bagian keseharian, sehingga indera kita tak lagi peka. Ibarat orang yang sedang berak di toilet, ia tak akan bisa mencium betapa busuknya bau kotorannya. Sementara bagi orang yang berada di luar toilet, bau itu akan begitu mengganggu, busuk yang begitu menusuk.
Penyebab lain kenapa bau kolonial tak lagi mengganggu penciuman kita adalah karena sesungguhnya kita semua masih terjajah. Penjajahan fisik memang telah berakhir, namun keterjajahan itu masih membelenggu pikiran, mental, dan perilaku kita.
Keterjajahan merupakan warisan nyata kolonialisme yang terinternalisasi dalam diri individu. Pemikir Aljazair, Frantz Fanon, memaparkan bagaimana proses keterjajahan itu terjadi. Kebijakan rasis dan diskriminatif pemerintah kolonial menghasilkan inferiority complex; rasa rendah diri, kesadaran palsu dalam melihat mereka yang dianggap lebih unggul, yang berujung pada ketidakberdayaan dan kerelaan untuk dihisap, ditindas, diperbudak.
Keterjajahan bukanlah sebuah situasi yang terberi, yang dibawa setiap individu sejak dilahirkan. Keterjajahan itu dibentuk, ditanamkan, dipupuk, dan dirawat hingga terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dulu oleh pemerintah kolonial, sekarang oleh para penguasa lokal. Dulu oleh bangsa asing, kini oleh sesama bangsa sendiri - orang-orang yang tak lagi asing.
Ketika pendudukan dan penjajahan fisik telah berakhir, keterjajahan itu mewujud dalam ketidakmampuan berpikir kritis, ketakutan untuk bersuara dan menjadi berbeda, kepasrahan dan ketertundukan pada kekuasaan. Keterjajahan inilah yang menjadi ukuran nyata atas ketidakmerdekaan kita.
Keterjajahan bisa terus hidup dan tumbuh subur dalam berbagai sistem pemerintahan; dari kolonial, otoritarianisme, hingga demokrasi. Ketika keterjajahan telah terinternalisasi dalam diri individu, penguasa tak perlu lagi menodongkan senjata dan melakukan kekerasan.
Ibarat kerbau yang telah dicucuk hidungnya, individu-individu dalam keterjajahan akan berbaris mengikuti arahan penghela.Tanpa pertanyaan, tanpa perlawanan. Hingga terbentuklah kerumunan manusia-manusia terjajah. Kelompok yang tak kecil jumlahnya, kelompok yang justru akan selalu menjadi pemenang ketika segala sesuatu ditentukan oleh jumlah yang lebih besar.
Dengan segala keterjajahan ini, di mana kemerdekaan itu? Kemerdekaan macam apa yang sedang kita banggakan dan rayakan setiap tahun?
Bagi Wiji Thukul, kemerdekaan itu nasi, dikunyah jadi tai. Jelas ada pesimisme dalam kata-kata tersebut. Sebuah penolakan atas slogan-slogan kemerdekaan yang penuh keagungan. Bisa jadi Thukul hendak mengatakan bahwa kemerdekaan itu sesungguhnya bualan saja. Setiap pekik kemerdekaan hanya berakhir jadi ampas kotoran yang harus dibuang, tak ada gunanya dalam kehidupan. Bisa juga Thukul hendak mengatakan, pekik kemerdekaan tak lebih berharga dari sesuap nasi. Kemerdekaan itu hadir dalam nasi-nasi yang mengenyangkan perut, nasi-nasi yang menjadi bekal bertahan hidup. Tanpa nasi, buat apa merdeka?
Sapardi Djoko Damono mengingatkan bagaimana riuh nasionalisme dan perayaan kemerdekaan harus menjelma dalam perlawanan. Sebagaimana tertulis dalam sajaknya “Menatap Merah Putih”:
Menatap merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka
membinasakan penindas dari negeri tercinta indonesia
Menatap merah putih adalah bergolaknya darah
demi membela kebenaran dan asasi manusia
Baik Wiji Thukul maupun Sapardi melihat perjuangan mencapai kemerdekaan sebagai perlawanan individu atas keterjajahan, perlawanan atas buaian palsu dan rasa takut.
Sementara W.S. Rendra mengungkapkan seruan perlawanan atas keterjajahan itu dalam diksi yang lebih terang dalam “Aku Tulis Pamplet Ini”:
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Bukan sebuah pekerjaan mudah untuk mengenyahkan keterjajahan yang telah mengendap dalam diri setiap individu, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita, nasihat, perilaku keseharian, tontonan TV, hingga terselip dalam sistem pendidikan. Namun upaya itu harus dimulai hari ini, mulai dari diri kita sendiri.
Dengan sadar harus kita putus belenggu yang memasung pikiran, yang telah memadamkan segala nalar kritis dan keberanian. Kita harus merdeka dari keterjajahan. Tanpa kemerdekaan pikiran, kemerdekaan hanyalah kentut belaka: kentut kemerdekaan. ***
Terbit di Jawa Pos Kentut Kemerdekaan