Oleh Okky Madasari
Ketika negara diperlakukan sebagai panggung pertunjukan, semua yang duduk di kursi pemerintahan hanya sibuk berebut lampu sorot dan tepuk tangan.
JIKA ada yang perlu saya puji lewat tulisan ini, saya akan memuji tim yang berada di balik langkah-langkah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Bukan karena Gibran telah melakukan hal-hal yang mulia, tapi karena apa yang dilakukan Gibran di hari-hari pertamanya telah berhasil membuatnya tampak punya peran, tampak bekerja, dan tampak punya keberpihakan. Namanya muncul menjadi berita, program dan pernyataannya jadi pembicaraan, yang tentu saja artinya ia semakin populer.
Tampaknya, Gibran dan timnya sudah berancang-ancang untuk Pemilihan Presiden 2029. Semua sumber daya yang dimilikinya sebagai wakil presiden ia pergunakan untuk mencitrakan dirinya sebagai pekerja keras untuk rakyat sehingga layak naik tingkat menjadi presiden nantinya. Dengan kata lain, kita harus terbiasa melihat dan menelan kenyataan bahwa Gibran memakai fasilitas dan uang negara untuk menjadi aktor utama dalam pertunjukan-pertunjukan yang dibuatnya sendiri.
|
Mari kita urutkan satu-satu. Baru sehari dilantik, Gibran langsung meninjau proyek MRT Jakarta fase 2. Fotonya mengenakan rompi dan helm proyek di dalam terowongan beredar luas di media massa dan media sosial. Sebuah adegan yang mengingatkan kita pada adegan Jokowi, bapaknya Gibran, masuk ke dalam gorong-gorong dan adegan Jokowi inspeksi proyek-proyek infrastrukturnya. Sebuah pekerjaan teknis yang seharusnya selesai di level manajer atau bahkan mandor proyek.
Baca Juga: Pentingnya Sesi Nonkompetisi dalam Sebuah Festival Film
Untuk menunjukkan bahwa Gibran benar-benar layak menjadi wakil Indonesia di tingkat internasional, ia juga bertemu dengan beberapa tamu negara. Tidak main-main, ia bertemu dengan Perdana Menteri Korea Selatan Han Duck-soo, Wakil Perdana Menteri Tiongkok Han Zheng, dan kemudian bertemu dengan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong. Meskipun kelihatannya pertemuan-pertemuan tersebut hanya untuk berfoto bersama tanpa substansi urusan negara yang dibicarakan.
Aktivitas harian Gibran berikutnya adalah bagi-bagi susu dan makan siang gratis. Tentu saja ini adalah bagian dari janji kampanyenya. Tapi, urusan membagikan susu dan makan siang ini ternyata juga menjadi bagian dari pekerjaan seorang wakil presiden. Hal ini mengingatkan kita kepada bagaimana Jokowi membagikan paket bansos di depan Istana Presiden menjelang pilpres yang lalu.
Pertunjukan Gibran berlanjut di atas panggung pertemuan. Dalam sebuah acara yang membahas persoalan pendidikan, ia menunjukkan di layar besar surat yang ia kirimkan saat masih menjadi wali kota Solo ke Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Isi surat tersebut memperlihatkan betapa Gibran bukan hanya sangat mengerti, tetapi juga peduli terhadap masalah pendidikan di Indonesia. Katanya, surat itu tak mendapat tanggapan. Sungguh sebuah pertunjukan yang ciamik, bukan?
Tapi tunggu dulu, pertunjukan tidak berakhir di situ. Babak baru pertunjukan Gibran berjudul ”Lapor Mas Wapres”. Gibran membuka kantor Wapres untuk siapa pun yang mau melapor tentang apa pun. Semua orang dipersilakan datang. Semakin banyak semakin baik, apalagi kalau sampai antre panjang dan rebutan lapor. Pemberitaan media akan semakin ramai, lampu sorot menghujani wajah Gibran, menyilaukan mata siapa pun yang memandang. Dengan pandangan yang silau, segala yang ada di hadapan tampak berkilau.
Kita tahu ini semua hanyalah untuk popularitas atau publicity stunt semata, bukan benar-benar untuk mendengarkan, apalagi menindaklanjuti laporan-laporan tersebut. Gibran benar-benar mewarisi resep bapaknya yang hanya sibuk memberikan pertunjukan gimik dan janji tanpa ada wujudnya.
Selain itu, tindakan Gibran ini bertentangan dengan tata kelola bernegara yang baik. Pertama, keluhan masyarakat seharusnya berjenjang dan ditangani oleh instansi terkait. Jika masyarakat melapor atau langsung datang ke Wapres, ribuan pegawai pemerintahan akan terlewati dan menimbulkan kebingungan, kekacauan, dan ketidakefisienan dalam birokrasi negara. Padahal, ketika masalah tersebut akan diselesaikan, masalah tersebut akan dikembalikan lagi ke instansi yang bersangkutan.
Misalnya, seorang anggota masyarakat mengeluh mengenai tanah mereka dan melapor ke Wapres. Masalah tersebut harus diarahkan ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Pejabat di kementerian ini kemudian akan melemparkannya lagi ke BPN provinsi yang kemudian akan mengirimkannya lagi ke BPN tingkat kota/kabupaten yang akan menangani masalah ini. Proses ini akan memakan waktu berminggu-minggu jika tidak berbulan-bulan. Jika demikian, bagaimana dan kapan si pelapor akan mendapatkan update dari sang Wapres? Bukankah ini hanya omong kosong? Bukankah lebih cepat dan lebih baik sang pelapor langsung datang ke BPN setempat?
Pembukaan layanan ”Lapor Mas Wapres” ini juga menunjukkan ketidaktahuan dan ketidakpercayaan Gibran terhadap birokrat Indonesia yang notabene adalah anak buahnya sendiri. Jika memang Gibran merasa birokrat Indonesia tidak bisa dipercaya, bukankah lebih baik dia memperbaiki mereka? Bukankah lebih baik memperbaiki sistem dan birokrasi yang ada daripada mengambil alih pekerjaan mereka dan menjadikan lembaga Wapres hanya sebagai customer service belaka?
Pemimpin yang bermutu bukanlah pemimpin yang mengambil alih pekerjaan bawahannya dan malah memperburuk sistem yang ada. Pemimpin yang berkualitas adalah pemimpin yang memberikan contoh dan menginspirasi bawahannya untuk bekerja lebih baik serta membangun sistem kerja yang kondusif. Pemimpin yang mulia adalah pemimpin yang tidak memakai jabatannya untuk kepentingan pribadi dan ambisi politik jangka pendeknya.
Ketika negara serupa panggung pertunjukan, jadilah penonton yang penuh kesadaran. (*)
Terbit di Jawa Pos Lapor Mas Wapres