Oleh Okky Madasari
Berakhirnya pemerintahan Jokowi mengantarkan kita pada pemerintahan baru yang tak kalah berbahaya.
KETIKA dunia sedang bergerak menuju small government, presiden terpilih Prabowo Subianto membentuk kabinet yang menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Kabinet Prabowo diperkirakan terdiri lebih dari 100 orang yang terdiri atas menteri, wakil menteri, dan kepala badan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat yang penduduknya lebih besar dari Indonesia serta ukuran ekonomi yang jauh lebih besar saja anggota kabinetnya hanya berisi 15 menteri. China yang penduduknya lima kali Indonesia anggota kabinetnya cuma 26 dan India dengan jumlah penduduk yang sama kabinetnya hanya berisi 29 menteri.
Dalam kabinet Prabowo ini, 17 menteri atau setengah dari Kabinet Indonesia Maju di bawah pimpinan Jokowi bedol desa pindah menjadi menteri-menteri dalam pemerintahan baru. Menteri-menteri ini, di antaranya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, serta Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Deretan nama-nama ini bisa berarti dua hal. Prabowo sangat mendengar dan mematuhi masukan dan saran Jokowi, atau Prabowo memang tidak punya kepercayaan diri untuk menunjuk orang-orang baru yang kompeten di antara 280 juta rakyat Indonesia. Pada kenyataannya, menteri-menteri ini juga tidak menunjukkan prestasi yang menonjol di bidang masing-masing sehingga mereka perlu dipertahankan selain kepandaian mereka menjilat Jokowi dan membela keluarganya.
Mengapa Prabowo harus kembali memakai orang-orang ini? Karena mereka dipilih bukan karena prestasi, satu-satunya jawaban paling logis adalah karena Jokowi memintanya dan Prabowo memenuhinya.
Selain mengakomodasi kepentingan Jokowi, Prabowo juga mengakomodasi kepentingan politik dengan memberi jabatan menteri kepada para pendukung setia dari partai politik yang membantu kemenangannya. Sebagian besar posisi kunci dalam kabinet diisi oleh figur-figur yang lebih mewakili kepentingan partai ketimbang kompetensi.
Langkah ini diambil untuk menjaga dukungan politik di DPR, terutama dari partai-partai besar yang telah berkoalisi dengannya. Langkah ini juga menunjukkan ketidakmampuan Prabowo untuk memprioritaskan kepentingan nasional di atas kepentingan politik sempit.
Langkah Prabowo ini mengonfirmasi ketakutan banyak intelektual, aktivis, serta mahasiswa bahwa ia tidak lebih dari perpanjangan rezim Jokowi. Setelah sepuluh tahun berada di bawah kepemimpinan Jokowi, rakyat Indonesia kini dihadapkan dengan sosok Prabowo yang mungkin bisa menjadi ancaman yang lebih besar.
Warisan Kepemimpinan Jokowi
Di bawah Jokowi, Indonesia kelihatannya mengalami berbagai perkembangan ekonomi dan infrastruktur yang pesat. Pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan infrastruktur dasar lainnya menjadi sorotan utama pemerintahannya. Namun, di balik kemajuan fisik yang tampak, masalah besar lainnya terus merongrong negeri ini. Demokrasi yang semula dijanjikan berkembang justru semakin tergerus. Kebebasan berekspresi semakin dibatasi dan korupsi tetap merajalela di berbagai tingkatan pemerintahan.
Kritik terbesar terhadap Jokowi juga datang dari segi ekonomi. Meskipun Jokowi di awal pemerintahan menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7 persen, pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun pemerintahannya rata-rata kurang dari 5 persen. Belum lagi realitas di lapangan menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak sejalan dengan angka-angka yang diumumkan pemerintah. Ketimpangan ekonomi semakin tajam. Segelintir orang kaya menguasai sebagian besar kekayaan negara, sementara mayoritas rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Utang luar negeri yang membengkak selama masa kepemimpinan Jokowi juga menambah beban bagi pemerintahan Prabowo, yang diprediksi mengalami kesulitan dalam membayar utang dan membangun ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proyek-proyek besar, termasuk eksploitasi hutan dan lahan pertanian, memperparah situasi. Indonesia, yang kaya akan sumber daya alam, justru menjadi saksi dari kehancuran ekosistemnya sendiri di bawah tekanan pembangunan.
Ancaman yang Lebih Besar?
Masuknya Prabowo Subianto sebagai presiden setelah Jokowi membawa banyak ketidakpastian bagi masa depan Indonesia. Meskipun beberapa pihak melihatnya sebagai sosok yang kuat dan tegas, banyak yang meragukan kemampuan Prabowo untuk membawa perubahan positif bagi bangsa. Bahkan, dengan melihat rekam jejaknya, banyak yang khawatir bahwa Indonesia justru akan terperosok lebih dalam ke dalam otoritarianisme.
Prabowo adalah sosok yang kontroversial, terutama karena keterlibatannya dalam penculikan aktivis prodemokrasi pada akhir 1990-an. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo sering menyatakan bahwa dirinya tidak percaya pada oposisi dan menganggap kritik, termasuk podcast dan media sosial, sebagai omon-omon –omong kosong yang tidak memberi kontribusi nyata bagi bangsa. Sikap ini, bila diterapkan dalam pemerintahan, dapat memberangus kebebasan berpendapat dan memperkuat rezim otoriter yang sulit dibendung.
Prabowo juga telah berkali-kali mengindikasikan bahwa dirinya tidak ragu untuk mempertahankan stabilitas politik dengan mengandalkan kekuatan militer dan aparat keamanan. Jika di bawah Jokowi demokrasi Indonesia sudah mulai retak, di bawah Prabowo retakan itu bisa saja berubah menjadi keruntuhan total. Ancaman terhadap kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan supremasi hukum semakin nyata dengan naiknya Prabowo ke tampuk kekuasaan.
Dengan transisi dari Jokowi ke Prabowo, rakyat Indonesia mungkin merasa seperti keluar dari satu bencana hanya untuk masuk ke dalam yang lain. Jika sepuluh tahun pemerintahan Jokowi diwarnai dengan janji-janji kosong, pemerintahan Prabowo justru membawa kekhawatiran baru tentang masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pepatah ”lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya” menggambarkan dengan tepat situasi yang dialami bangsa ini. Dari satu pemerintahan yang mengecewakan, Indonesia sekarang beralih ke pemerintahan yang bahkan bisa lebih menakutkan dan berpotensi merusak lebih banyak aspek kehidupan. (*)
Terbit di Jawa Pos Lepas dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya