oleh: Okky Madasari

KOLOM saya di Jawa Pos empat minggu lalu, tepat sehari setelah aksi ratusan ribu orang turun ke jalan mendesak Ahok diproses hukum, mencoba untuk mengajak kita semua melihat kasus penistaan agama dengan pikiran jernih, dengan mendengar suara akal sehat dan hati nurani kita.

Dari kisah penistaan agama pada cerpen Langit Makin Mendung, jajak pendapat Arswendo Atmowiloto, hingga ucapan Ahok, jelas terlihat bahwa tuduhan penistaan agama merupakan hal yang bersifat subjektif, mudah dimainkan berdasar kepentingan politik, dan kepentingan-kepentingan yang lain. Sudah seharusnya kita mempertanyakan pasal pidana yang mengatur soal penistaan agama tersebut.

Tetapi, tentu saja itu sebuah wacana, sebuah gagasan yang membutuhkan proses panjang sekaligus pertarungan sengit untuk bisa diwujudkan. Desakan untuk segera memproses kasus Ahok sesuai dengan aturan hukum tentu akan jauh lebih didengar sekarang ini, apalagi ketika ratusan ribu orang sudah turun ke jalan untuk menuntut hal tersebut. Ahok, gubernur DKI yang juga sedang mencalonkan diri dalam pilkada Februari nanti, kini sudah menjadi tersangka kasus penodaan agama.

Lalu, semua selesai? Tentu saja tidak.

Aksi damai 2 Desember yang disebut sebagai Aksi Bela Islam Jilid III menunjukkan bahwa penetapan Ahok sebagai tersangka belum cukup untuk membayar ’’penistaan’’ yang dilakukannya. Status tersangka juga tidak membuat peserta aksi 4 November percaya bahwa kasus tersebut akan dilanjutkan sesuai aturan hukum, diproses di pengadilan dengan adil, dan ujungnya tentu saja Ahok bakal menjadi terpidana dan dipenjara.

Mereka merasa perlu untuk terus mengawal kasus itu. Mereka merasa harus kembali menunjukkan besarnya dukungan agar pemrosesan kasus Ahok terus dilanjutkan. Mereka juga sekaligus ingin menyampaikan pesan: Jangan pernah mengelabui kami dalam proses hukum kasus Ahok.

Sampai di sini, semua tak ada yang salah. Yang ikut demo maupun yang tak setuju demo, yang percaya Ahok menista agama atau yang sama sekali tak merasa Ahok menista agama, yang setuju kasus penistaan agama harus diproses hukum dan yang sama sekali tak setuju keberadaan pasal penodaan agama. Semua adalah bagian dari pertarungan gagasan dan penggunaan hak warga negara dalam sebuah negara yang demokratis.

Yang justru mengherankan dalam situasi belakangan ini adalah tingkah polah aparat keamanan yang justru membuat situasi menjadi terasa tak aman.

Sebagai warga Jakarta, saya melihat sendiri helikopter terbang rendah menyebarkan selebaran maklumat kepolisian tentang aksi 2 Desember. Inti maklumat itu imbauan agar masyarakat tak ikut aksi 2 Desember. Sebab, aksi tersebut akan digunakan oleh orang-orang yang bertujuan makar.

Penyebaran selebaran dengan cara seperti itu justru menciptakan situasi yang mencekam –serupa dengan situasi di tengah peperangan dan bencana alam. Segala berita dan pernyataan bombastis dari aparat tentang adanya upaya makar dan penggulingan pemerintahan juga makin menakut-nakuti semua orang. Alih-alih memberikan rasa tenang dan jaminan keamanan, aparat-aparat negara justru dengan sengaja malah ingin menciptakan situasi darurat dalam pikiran dan kesadaran warganya.

Kemarin, 2 Desember, pada hari yang telah jauh-jauh hari dicitrakan sebagai hari yang berbahaya, berpotensi rusuh, dan akan digunakan untuk makar, segala ketakutan yang dibangun itu sama sekali tak terbukti. Demo berjalan lancar. Bahkan, Presiden Jokowi bergabung dengan massa untuk melakukan Salat Jumat bersama.

Yang terjadi justru adalah polisi melanjutkan teror-teror yang menebar ketakutan dengan menangkap sepuluh orang yag dianggap akan melakukan makar. Mulai Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, hingga Ahmad Dhani. Kini, orang-orang itu berstatus tersangka. Orang-orang itu diambil dari rumahnya, dari hotel, dari tempat mereka beraktivitas –sekali lagi karena dianggap melakukan makar.

Makar macam apa? Kita masih sama-sama belum tahu. Yang pasti kita tahu, penangkapan macam itu adalah bentuk-bentuk represi dari negara yang sama sekali tidak kita bayangkan akan terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi.

Kita masih sama-sama ingat masa di mana kata ’’makar’’ dengan semena-mena digunakan rezim Orde Baru untuk menangkap orang yang tak disukai, aktivis yang kritis kepada Soeharto, mereka yang secara terbuka tak lagi menginginkan Soeharto sebagai presiden.

Menangkap orang dengan tuduhan makar sama bebalnya dan sama berbahayanya dengan menuduh orang menodai agama. Keduanya pun menunjukkan betapa hukum sering hanya dijadikan alat oleh penguasa dan mereka yang punya massa.

Jika saya akhiri tulisan ini dengan sebuah pendapat bahwa Jokowi harus diganti, harus digelar sidang istimewa karena dia mulai melakukan tindakan-tindakan represi yang bertentangan dengan hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi, apakah saya juga akan disebut melakukan makar? (*)

Dimuat di Jawa Pos Makar

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan