Oleh: Dr. Munawar Ahmad

Prolog 

Maryam adalah judul novel karya Okky Madasari, yang diterbitkan Maret 2012 oleh PT Gramedia. Novel ini menceritakan penderitaan yang panjang seorang gadis Lombok bernama Maryam (tokoh imajinatif) akibat dirinya terlahir menjadi seorang Ahmadi. Novel ini berjenis fiksi atau imajinasi penulis saja. Meminjam pengertian fiksi, sebagai Product of imagination – Fiction forms pure imagination in the reader, partially because these novels are fabricated from creativity and is not pure truth; When the reader reads a passage from a novel he or she connects the words to images and visualizes the event or situation being read in their imagination, hence the word.

Meskipun novel Maryam tersebut bersifat fiksi, tetapi setting-nyadibangun diatas fenemena nyata penderitaan kehidupan masyarakat Ahmadiyah di Gegerung, Mataram, Lombok Barat, sehingga pembaca merasa fiksi tersebut memang riil adanya. Inilah ciri dari fiksi realistik Realistic fiction strives to make the reader feel as if they’re reading something that is actually happening—something that though not real, is described in a believable way that helps the reader make a picture as if it were an actual event. This can also confuse the reader into making the reader thinking it’s non-fiction.

JIka melihat teori fiksi, ada beberapa element dasar yang harus dipenuhi oleh penulis,yakni

  • “Fiction has three main elements: plotting, character, and place or setting.”
  • “A charged image evokes all the other elements of your story—theme, character, conflict, setting, style, and so on.”
  • “For writers, the spices you add to make your plot your own include characters, setting, and dialogue.”
  • “Contained within the framework of a story are the major story elements: characters, action, and conflict.”
  • “  I think point of view is one of the most fundamental elements of the fiction-writing craft . . . .”

Bersandarkan pendapat tersebut, saya ingin membaca lebih dalam NovelMaryammengacu pada plotting, character, setting, action, conflict dan writing craft. Tentu tidak mudah untuk membaca Maryam bila hanya mengandalkan satu buku saja atau hanya dari buku itu saja. Oleh karena itu untuk keperluan tersebut, saya juga melakukan traveling ke dunia Okky dan sastra Indonesia untuk mengetahui apa yang tersirat dan tersurat di dalam novel Maryam..Hal ini tersebut perlu saya lakukan karena saya teringat pendapat Julia Kristeva, bahwa bahasa sastra bukan sekedar rangkaian kata, tetapi di dalamnya mengandung unsur psikis dari penulis dan dunianya. Semangat inilah yang memaksa saya untuk melihat sisi lain dari novel Maryam, sebagai novel yang unik dalam memaparkan perilaku masyarakat agama.

Novel Maryam ditulis setelah novel Entrok (2010) dan 86 (2011) diterbitkan sebelumnya. Entrok atau Kutang dalam bahasa Jawa-Magetan, merupakan simbolisasi pertentangan atas kuasa masa silam yang melekati seorang Marni dan anaknya, Rahayu, sebagai representasi modernitas.Entrok lahir dengan settingkonflik ideologis yang hidup di jaman Orde Baru, antara Komunisme dan Pancasila.Konflik diwujudkan dalam kuasa bahasa yang secara represif menekan Marni, bahwa dirinya dituduh sebagai pendosa.Demikian juga dengan Rahayu, ditekan dengan stigma sebagai kelompok yang tidak tahu rasa berterma kasih.Sungguh dua pertikaian tata nilai tersebut dalam Entrok sulit disatukan.Namun, pada akhirnya secara cerdas penulis memberi perhatian yang jeli terhadap hadirnya ikatan emosional antara ibu dan anak tersebut, rasa kasih yang mendalam dari Marni, akhirnya menutup kisah Entrok.Kasih merupakan perekat dari jiwa-jiwa yang berkonflik.

Novel ke dua, 86!( Lapan Anam), merupakan kode sandi dari komunikasi radio, yang artinya lanjut!, menjelaskan perubahan perilaku akibat kultur birokrasi yang korup . Novel ini mengambil settingkehidupan birokrasi di Pengadilan. Berbekal sense sebagai wartawan , penulis tetap jeli melihat sisi dramatis perubahan sikap seseorang yang lugu hasil bentukan birokrasi korup. Uang mengubah segalanya, keluhuran etika hanyalah wacana penutup muka yang bopeng.Secara lincah penulis mengurai sisi-sisi liar dan rakus seorang manusia yang dibentuk oleh birokrasi yang korup.

Berbeda dengan novelis sejamannya, seperti Ahmad Fuadi, dengan karyanya Negeri 5 Menara (2009), Ranah 3 Warna, (2011), Andrea Hirata dengan karyanya Laskar Pelangi (2005), Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), Maryamah Karpov(2008), Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010), Ayu Utami dengan karyannya Saman (1998), Larung (2001), Dewi Lestari dengan karyanya Supernova 1: KsatriaPuteri dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2.1 Akar (2002), Supernova 2.2: Petir(2004), Dahta Gautama dengan karyanya Ular Kuning (2011), Silsilah Keluarga Kutukan (2012), Habiburrahman El Shirazy, dengan karyanya Ayat-Ayat Cinta(2004), Diatas Sajadah Cinta (2004), Ketika Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2(2007), Dalam Mihrab Cinta (2007), Herlinatiens dengan karyanya  Garis Tepi Seorang Lesbian (2003), Dejavu, Sayap yang Pecah (2004), Jilbab Britney Spears(2004), Sajak Cinta Yang Pertama (2005), Malam Untuk Soe Hok Gie (2005), Rebonding (2005), Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005), Koella, Bersamamu dan Terluka (2006), Sebuah Cinta yang Menangis (2006), Raudal Tanjung Banua dengan karyanya Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), Parang Tak Berulu (2005), Gugusan Mata Ibu (2005), Seno Gumira Ajidarmadengan karyanya Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, Tosa dengan karyanya Lukisan Jiwa (puisi) (2009), Melan Conis (2009). Okky Madasari melalui Entrok (2010), 86 (2011) memiliki plot dan genre sendiri, yakni feminis-realis-kritis. Feminis, karena setiap penokohkannya, Okky,  dalam Entrok86dan Maryammenggunakan perempuan sebagai tokoh utama

Novel ke tiga, Maryam, merupakan karya ke tiga dari Okky Madasari semakin mengukuhkan dirinya sebagai novelis feminis-realis-kritis.Seperti penilaian Prof. Dr. Apsanti Djokosujatno terhadap Entrok, Maryam juga merupakan novel multifacet.

Tak ada kriteria apapun untuk menilai kehebatan sebuah novel, yang oleh Bakhtin dan sejumlah pakar dunia dianggap sebagai genre yang sangat terbuka dan bebas. Tapi saya merasa pasti bahwa banyak pengamat dan ahli sastra yang akan setuju bahwa Entrok dapat dianggap sebagai novel klasik yang akan bertahan dalam ruang dan waktu. Semua aspeknya mengesankan, ceritanya kaya, penceritaan mengalir, tema-temanya kuat, dan memang sang pengarang ingin menyampaikan sesuatu dan banyak hal. Sebuah novel indah yang membuat seorang pengamat bingung memilih aspek apa yang akan difokusnya karena fasetnya begitu banyak (Entrok: Sebuah Novel Multifacet, 28 Desember 2011)

Melalui Maryam, Okky menggunakan plotutama bertema pemberontakan seorang perempuan yang terjebak dalam eksklusivitas masyarakat agama di Gegerung Lombok Barat.Ia berontak terhadap tata nilai keluarga, berontak terhadap hegemoni masyarakat dan berontak atas ketidakberdayaan negara untuk menciptakan rasa nyaman warganya. Memang diakui ada beberapa facet yang dapat ditemukan dalam Maryam, yakni kajian Sosiologi Keluarga, Sosiologi Agama, Politik Kerukunan Umat Beragama, dan Antropologi Agama. Dalam tulisan ini, saya hanya mengurai dari Sosiologi Agama dan Resolusi Konflik.

Cerita ini dimulai dengan kembalinya Maryam ke kampung halamannya, Gerupuk, Gegerung, Mataram, Lombok Barat, yang telah gagal membangun rumah tangga.Kini kampung halamannya telah berubah menjadi kampung yang dipenuhi rasa curiga, ketidaknyamanan, keterasingan serta ketakutan bukan lagi tempat yang romantis untuk bernostalgia.Kenyataan tidak sehat ini terjadi akibat konflik tiada akhir antara masyarakat Islam setempat dengan masyarakat jamaah Ahmadiyah, dimana orang tua dan Maryam sendiri sebagai pengikutnya.

Rasa sedih dan penyesalan yang berkepanjangan pun semakin mendera Maryam karena dirinya merasa telah meyakiti hati kedua orang tuannya, terutama ibunya.Kepulangan Maryam ke Lombok dimaksudkan bukan untuk menolong jamaahnya, tetapi untuk menebus rasa bersalah dan penyesalan dirinya kepada ibunya.Dengan menggunakan beberapa flashback, Maryam mengurai alasan masa silam mengapa dirinya memilih berbeda dengan ajarannya.Rasa takut dialeniasi akibat dirinya seorang Ahmadi, menyebabkan Maryam melawan orang tuanya dan aturan Ahmadiyah. Namun, sejauh-jauhnya layar terkembang, suatu saat akan melabuh jua. Rasa bersalah pada ibu menjadi penyebab lunaknya hati Maryam untuk berhenti dari pelariannya. Justru dengan kembalinya Maryam ke pangkuan ibunya, yang juga kembali lagi ke lingkungan Ahmadiyah, menjadikan konflik Maryam semakin klimak, rasa sakit hati, takut, tidak nyaman dan sedih semakin berkecamuk dalam rasa.

Kejadian klimak tersebut dimulai dalam beberapa settingpertama, ketika Maryam bertemu dengan Nuraini, teman mainnya dulu, setelah merasa akrab dan cair, tiba-tiba Maryam dan Umar dihadapkan pada kondisi yang menyesakkan, mereka diusir dari kampung Nur yang juga kampung dirinya dulu.

Kuatnya pengaruh Tuan Guru, sebagai sosok elit agama di Lombok pembentuk collective truth, terhadap pemurnian nilai-nilai agama, menjadikan titik klimaks yang sulit dinalar. Pembaca dipaksa untuk mempertanyakan alasan dari rasa cair yang dilakukan oleh Nuraini, ternyata tidak mampu menghapus ketegangan dalam masyarakat agama.Klimaks kedua terjadi pada saat pengajian 7 bulanan kandungan Maryam.Ketegangan memuncak dan mencekam ketika polisi datang dengan tegas meminta warga Ahmadi untuk meninggalkan rumah mereka.Ketakutan, kesedihan dan rasa marah, mencuat dalam narasinya yang didramatisir dengan rubuhnya seorang wanita tua serta isak tangis para ibu Ahmadi dan anak-anak.

Klimaks ketiga terjadi pada saat pemakaman Pak Khairuddin.Ketegangan memuncak meskipun pada detik-detik pemakaman di Gerupuk, yang semestinya orang sudah memaafkan, namun diceritakan justru masyarakat tetap keras menolak orang Ahmadiyah.Inilah pola kerja dari collective truth, bahwa Ahmadiyah itu dianggap sesat kalau sudah di cap sesat, ya sesat selamannya, tidak pandang saudara, tetangga atau kerabat dekat.

Konflik yang terjadi di pemakaman menjadi klimaks paling serius ketika masyarakat agama berkonflik.Salvation spirit menyebabkan para Tuan Guru secara agresif menekan dan menteror warga Ahmadi untuk memaksa mereka kembali ke ajaran yang mereka anggap benar. Setting tersebut ditangkap secara tepat oleh penulis, rasa sebal, marah, takut, jengah, sedih mampu disampaikan oleh penulis dengan bahasa yang lugas layaknya bahasa koran sehingga seluruh rasa tersebut dirasakan oleh pembaca.

Sebenarnya apa yang menjadi kekuatan novel ini sehingga Maryam dirasakan hadir dalam kesadaran masyarakat. Bermula dari kekaguman Okky terhadap kecerdasan diksi Pramoedya Ananta Toer, seperti terungkap dalam cyber-diary-nya,

“NYAI Ontosoroh dan Gadis Pantai, malam ini menyita begitu banyak perhatian dan energi. Galeri 3, Taman Ismail Marzuki, menjadi saksi bagaimana tokoh ciptaan Pramudya ini tak sekedar dianggap rekaan – melainkan telah menjadi bagian dari sejarah .Sebuah karya sastra memang multitafsir. Apalagi ketika sang pengarang telah tiada. Masing-masing pihak seolah hanya mereka dan mencoba ‘sok tahu’ tentang jalan pikiran Pram.Seorang feminiskah Pram?Apa yang dia pikirkan saat memainkan peran perempuan-perempuan tersebut? Apakah Pram menjadikan seorang perempuan sebagai subyek atau hanya sekedar obyek?.Bagi saya pribadi, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah terlalu penting.Saya lebih peduli pada klemahiran Pram menangkap sebuah realitas di sekitarnya.Sebuah kenyataan yang seringkali dilupakan banyak orang karena dianggap telah biasa. Meski, ditulis hampir tiga puluh tahun lalu dan mengambil setting kehidupan di awal abad 20, rekaman peristiwa yang diangkat Pram sejatinya masih kerap dijumpai dalam kehidupan saat ini (Perempuan, Pram, dan Poligami, 16 Februari 2007)

Catatan tersebut menjadi geneologi karakter kritis Okky.Pengaruh  Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa penulis lainnya memberi warna kuat atas novel Okky.Meskipun juga saya tidak dengan mudah mendekatan Okky dan Pram dalam satu matrik ideologis. Berbeda dengan Pram, kekuatan daya kritis Okky tidak semata-mata didasarkan ideologi Kiri, tetapi sebenarnya lebih dibangun oleh energi romantisisme masa kanak-kanak, sebagai dunia tanpa konflik, ketulusan, dunia penuh kebahagiaan dan vitalitas ditunjang obsesinya yang kuat membahagiakan orang. Tampaknya ada elan vital yang kuat dari seorang penulis muda, Okky, untuk berupaya menyibakan berbagai rintangan yang merusak dan menghancurkan ke dua elan vital tersebut.Inilah kekuatan orsinil dari Okky Madasari.

Kritik

Pada akhir tulisan ini, ijinkan saya memberikan bahan diskusi.Ada beberapa kriitk yang saya temukan sebagai penikmat novel, dengan perspektif resolusi konflik, yakni

  1. Ketidaklengkapan mengungkapkan transmisi pencuaran truth claimmasyarakat agama, yakni penggambaran bagaimana teologis (truth claim) mewarnai tata kehidupan dan tata budaya masyarakat Ahmadiyah. Hal tersebut perlu dipresentasikan utuh sebagai konsekuensi totalitas Maryam,  sehingga pembaca tidak keliru memahami ajaran Ahmadiyah yang diperankan Maryam, agar tidak menuai protes dari kalangan masyarat yang menjadi setting sosialnya, Ahmadiyah, sehingga novel ini tidak dikesankan mengolok-olok ajaran luhur milik kaum Ahmadi yang secara sadar dihadirkan. Memang tidak ada kewajiban dari penulis untuk mengungkapan proses mencuar ini, namun sebagai konsekuensi antropologis sastra, kelengkapan ini akan memperkuat daya hidup cerita Maryam, sepertinya halnya Pramoedya Ananta Toer atau bahkan Ernest Hamingway sekalipun. Cerita mereka “hidup” karena diksi mereka, berasal atau paling tidak, menggambarkan setting secara detail dan lengkap, sehingga terkesan riil.
  2. Aspek resolusi, meskipun novel ini sebuah fiksi, namun menurut ketentuannya, setiap konflik mesti diberi ending yang disebut dengan resolusi. Dari novel ini pembaca tidak diberikan alternative ending yang memuaskan, selain Maryam harus meninggalkan keyakinannya kalau mau hidup tenang. Hal tersebut disimbolkan dengan pemberian nama anak Maryam, Mandalika, bukan nama Arab. Menurut Okky melalui Maryam, hal ini merupakan cara yang mudah untuk menjauhkan anaknya dari kepedihan karena menjadi Ahmadi,”biarlah anak ini jauh dari agama, tetapi dekat dengan kebaikan” (hal 241). Menurut hemat saya, proses naturalisasi, baik penggantian nama atau kawan campur bukan resolusi cerdas, karena tohpada akhirnya penulis melalui novelnya, memberikan pelajaran tentang kepura-puraan/mimikri, menyembunyikan keyakinan, dengan cara sinkritisme. Justru pada taraf ini penderitaan akan semakin menyengat dan menyesakan dada.Oleh karena itu, kecerdasan penulis, juga perlu ditunjang oleh ilmu yang tepat, sehingga pembaca dapat belajar tentang menyelesaikan masalah hidupnya dengan bijak pula. Bercermin pada Ilmu Perbandingan Agama, konflik inter-keyakinan, hanya dapat dimulai dengan sikap agreement in disagreement sebagai dasar membangun cooperation in disagreement. Naturalisasi, memang memiliki nilai pragmatis, tetapi sikap ini menunjukkan ketidakmatangan masyarakat agama dalam mencuarkan ajarannya. Apalagi disisi lain, represivitas struktur, dalam kasus Ahmadiyah, melibatkan diri dalam konflik, semakin memperjelas kebodohan negara dalam permainan politik yang primitive. Dengan demikan, resolusi konflik harus diselesaikan melalui sebuah political willnegara ini, guna mencipta Indonesia seperti Candy Bowl
  3. Pergeseran bahasa metaphoris yang kaku, sebagai seorang (mantan) wartawan straight news, tentu sangat terbiasa membahasakan/menjurnalkan kehidupan dengan diksi yang riil, namun minim rasa, sebagai ciri dari bahasa koran. Ketrampilan ini sangat membantu penulis dalam menguraikan modus operansi pada setiap kejadian klimaks, ketegangan dan ketakutan dapat diurai secara lugas sehingga memudahkan pembaca mengikuti operandinya. Namun hal tersebut terasa kaku ketika penulis mengeksplorasi gejolak asketisme dibalik hubungan seks dalam settingyang dilakukan oleh Maryam dan Umar ketika di hotel dan di pantai. “kepala umar bergerak bagai kepala naga…..menyesap bibirnya, menyusuri lekuk tubuhnya, berdua mereka terhanyut ombak, terbawa ke tengah, terisap ke dasar, lalu dihempas jauh ke pinggiran, untuk kembali ditarik ke lautan lepas,(halaman 181),” kemudian “Maryam mengaitkan kakinya ke pinggang Umar, mereka berciuman, dalam, lama, di laut yang tak berbatas mereka kembali melepas hasrat (halaman 186)”. Rangkaian diksi metaphoris ini seakan menggambarkan aktivtas seks yang penuh nafsu, kebuasan dan keliaran yang melelahkan, gambaran ini dianggap sebagai pembebasan dari dunia yang sempit, menyesakan dan kejam. Metaphoirs ini sedikit mereduksi asketisme seks yang penuh kelembutan, kesyahduan, dan keterlepasan dari para hamba-Nya
  4. Keterkungkungan masa silam. Hal ini dapat diamati dalam beberapa setting Penulis menggunakan teknik flashback, yang memaksa pembaca menarik ulang ulur imajinasinya. Kebiasaan Maryam yang selalu memutar masa silamnya menjadi titik henti yang membosankan, sehingga kejutan-kejutan bagi pembaca tidak terjadi.padahal pembaca perlu juga diberi kejutan yang sulit diterka alasannya dalam waktu singkat.

Epilog

Novel Maryam, menurut pendapat saya merupakan novel yang eksklusif karena keberanian penulis mengambil setting masyarakat eksklusif, seperti halnya Entrokdengan setting PKI, dan 86 dengan setting penegak hukum. Meskipun penulis sendiri tidak secara nyata meneguhkan ideologi politiknya, namun ketiga novel tersebut terasa sarat dengan kritik. Okky Madasari sebagai salah satu representasi penulis angkatan 2000, yang memilik ciri tidak memiliki ideologi, tetap saja novel Maryam, Entrok, dan 86, dirasakan memiliki keberpihakan. Kerinduan akan romantisme masa kecil, kerinduan membahagiakan orang yang dicintai, menjadi tema kuat untuk membebaskan segala penderitaan akibat kerusakan jaman dan arogansi struktur. Pembelaan atas hasrat manusia terdasar tersebut menjadi ideologi baru dari ketiga novel Okky Madasari, bagaimana menurut Mba Okky apakah  86

*Dr. Munawar Ahmad, Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. MAkalah  ini disampaikan dalam diskusi novel Maryam yang digelar Program Studi Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 14 Mei 2012

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan