Jembatan gantung Tandiket amblas karena gempa

Oleh : Okky Madasari

Setiap akhir pekan, kereta itu selalu penuh.  Pada libur Lebaran tahun lalu, penumpang membludak dan tak terangkut. Mereka semua ingin ikut mencicipi sensasi perjalanan di dalam besi panjang dengan mata yang selalu dimanjakan oleh keindahan. Menyusuri sawah yang hijau, naik turun perbukitan, dan melintasi sungai yang airnya mengalir deras. Semuanya bisa didapat dengan Rp15 ribu saja. Tapi itu dulu. Gempa bumi 7,9 skala Richter menghentikan operasi kereta wisata dari Padang ke Padang Pariaman.

Saya datang ke Padang Pariaman hari keenam gempa untuk membantu mengembalikan hak belajar anak-anak korban bencana. Suasana duka masih terasa dimana-mana. Di kota Padang, evakuasi korban reruntuhan Hotel Ambacang masih belum selesai. Air dan listrik masih belum lancar.

Di Padang Pariaman, evakuasi masih terus dilakukan di kawasan Gunung Tandiket dan Gunung Tigo. Gempa melongsorkan tanah gunung-gunung itu lalu menimbun desa-desa yang ada di bawahnya. Di kawasan dua gunung itulah saya menyelenggarakan kegiatan belajar untuk anak-anak korban. Dari kawasan itu pula saya menyadari betapa Padang Pariaman akan selalu menyisakan pesona yang mengikat, yang akan selalu dirindukan siapapun yang pernah mengunjunginya.

Menggambar Gunung

Dayat (kelas 3 SD) menggambar tiga gunung dengan matahari terbit di tengahnya. Ada jalan, batu-batuan, dan pohon kelapa. Fadel (kelas 2 SD) menggambar satu gunung lancip dengan sawah dan satu rumah. Sedangkan Resti (kelas 1 SD) menggambar dua gunung dan sungai lengkap dengan perahunya. Mereka semua menuliskan kalimat yang sama di atas gambar : Desaku yang Indah.

Masih banyak lagi versi gambar lainnya. Meskipun selalu ada unsur yang sama dalam setiap gambar – gunung, pohon, dan sawah – setiap gambar tetap berbeda. Misalnya gambar gunung. Ada yang menggambar tiga gunung, dua gunung, atau satu gunung. Mereka menggambar apa yang ada di tempat tinggal mereka, kawasan Gunung Tigo, Padang Pariaman.

Tiga gunung merupakan penggambaran Gunung Tigo, dua gunung untuk Gunung Erte Erwe, dan satu gunung berarti Gunung Tandiket. Semuanya ada di sana. Membentang di tiga sisi yang berbeda. Begitu juga gambar sawah yang menghijau dengan langit biru yang seakan begitu rendah atau gambar sungai yang airnya mengalir deras dengan orang-orang yang sedang memancing ikan. Semuanya memang ada di tempat tinggal mereka.

Bersama anak-anak itu, saya berjalan-jalan di pematang, dikelilingi hamparan padi yang semuanya hijau segar. Kami bersama-sama menghitung pohon kelapa yang tinggi menjulang, sambil sesekali mendongakkan kepala, memandang langit yang begitu biru dengan hiasan awan putih yang berarak. Kami berhenti di sebuah gubuk di tengah sawah, memulai kembali sesi belajar dengan menyanyikan lagu Kampuang Nan Jauh di Mato.

Sepanjang Pantai

Tetapi Padang Pariaman bukan hanya sawah dan gunung. Di pusat kota, kita bisa melihat sisi lain Padang Pariaman. Sebagai daerah Minang, Padang Pariaman masih kental mempertahankan ciri-ciri tradisinya. Gedung-gedung pemerintah dan swasta dibangun dengan mempertahankan atap bagonjong, atap berbentuk tanduk khas Minangkabau.

Alun-alun Pariaman  menjadi tempat paling strategis untuk merasakan denyut kota. Dari situ bisa terlihat jelas kesibukan pasar utama Pariaman. Gambaran suku Minang yang dikenal  sebagai saudagar ulung sejak masa lampau hingga kini bisa disaksikan di sini.

Dari alun-alun ini, ketika matahari berlahan mulai turun, kita bisa melihat jelas bagaimana langit barat perlahan-lahan berubah warna. Saat itu, sekelompok burung akan melintasi alun-alun berulang-ulang. Untuk melihat jelas bagaimana matahari pelan-pelan tenggelam di punggung bumi, kita tinggal melangkahkan kaki tak lebih dari seratus meter ke arah barat. Di situlah terdapat Pantai Gandoriah.

Pantai Gandoriah hanya salah satu dari jajaran pantai di Kota Padang Pariaman. Masih ada Pantai Kata, Pantai Sunur, dan Pantai Cermin. Pantai-pantai itu berpasir lembut tanpa karang sehingga bisa digunakan untuk berenang.

Posisi Padang Pariaman yang terletak di pantai barat Sumatera, menjadikan setiap pantainya sebagai titik sempurna untuk menikmati matahari terbenam.Dan keindahan-keindahan itu tak  musnah oleh goncangan…

 

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan