oleh: Okky Madasari
Menjelang akhir Ramadan ini, dua perempuan pemandu lagu di Sumatera Barat diarak, ditelanjangi, ditenggelamkan ke laut oleh ratusan orang. Sementara di penjara Sukamiskin, Jawa Barat, seorang koruptor disambut bak pahlawan.
MEMANG tidak perlu terlalu kaget ketika melihat mantan napi koruptor sekaligus mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum disambut begitu meriah saat keluar dari penjara. Bukan karena itu hal yang benar, namun karena memang begitulah level kesadaran masyarakat dan moral politik kita hari ini.
Kebetulan saja penyambutan Anas tampak mencolok mata karena hadir dalam bentuk pertunjukan fisik. Ratusan orang menunggu Anas keluar dari pintu penjara dan mendengarkan pidato pertama Anas setelah 9,5 tahun meringkuk di penjara. Tanpa harus terlalu keras berpikir, kita bisa menduga bahwa peristiwa politik seperti itu tak pernah terjadi begitu saja. Selalu ada komando, harus ada yang merancang dan mengatur pelaksanaan di lapangan. Siapa yang akan berdiri di sisi mana, media mana yang akan diundang, apa yang akan dipublikasikan di media sosial.
Tak banyak politikus nasional yang mendapatkan kemewahan penyambutan seperti Anas. Entah karena tak berpikir sampai ke sana, entah karena masih malu dan memilih keluar penjara dengan diam-diam, atau memang mereka tak memiliki apa yang Anas miliki: pendukung akar rumput yang setia.
Meski demikian, ada atau tidaknya penyambutan di depan penjara bukanlah penentu sambutan yang sebenarnya. Lihat saja Andi Mallarangeng, yang sekarang mendapat jabatan sebagai sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat dan dengan percaya diri mewakili partai bicara di publik. Keberadaan Andi ini membuat Partai Demokrat tak bisa berteriak pada Anas –yang sekarang berseberangan kubu itu– dengan berkata, ”Koruptor kok disambut!”
Tak berbeda jauh dengan partai tetangga. Mantan Ketua Umum PPP yang juga mantan napi koruptor Muhammad Romahurmuziy pun disambut dengan karpet merah oleh pengurus dan kader partai tersebut. Di hadapan kader saat perayaan HUT ke-50 partai, Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono menyebut Romahurmuziy sebagai tokoh baru stok lama di PPP yang akan siap bekerja untuk memenangkan partai di Pemilu 2024.
Karpet merah untuk koruptor ala partai biru dan partai hijau juga terjadi di partai merah. Bahkan di partai pemenang pemilu ini, ibu ketua umum sampai perlu menitikkan air mata untuk koruptor. Silakan lihat kembali video rekaman sambutan Megawati Soekarnoputri dalam pidato dalam peringatan HUT Ke-50 PDIP awal Januari lalu. Megawati menitikkan air mata saat menceritakan perjalanan hidup kadernya, Tasdi, dari seorang sopir truk hingga menjadi seorang bupati Purbalingga yang konon dicintai rakyat. Bu Mega seolah lupa atau memang tak peduli bahwa Tasdi terbukti korupsi dan mendapat hukuman bui.
Tak cukup hanya dipuji Megawati, nama Tasdi ini pula yang sempat disebut-sebut akan diangkat Menteri Sosial Tri Rismaharini menjadi staf ahli. Beberapa hari setelah kabar itu ramai di media sosial, Bu Risma baru mengklarifikasi bahwa tak ada rencana mengangkat Tasdi menjadi staf ahli.
Di tingkat kepala daerah yang tak terlalu banyak mendapat sorotan publik, banyak bupati, wali kota, dan gubernur yang juga mendapat sambutan meriah seperti Anas ketika keluar dari penjara karena kasus korupsi. Sebut saja beberapa di antaranya mantan bupati Rokan Hulu, mantan bupati Karanganyar, mantan bupati Morotai, dan mantan bupati Batang. Para mantan napi kasus korupsi ini tak hanya disambut meriah oleh simpatisan atau massa bayaran, tapi juga disambut oleh pejabat aktif di kabupaten mereka. Penyambutan itu biasanya akan berlanjut pada pengajian, simbol ucapan syukur sekaligus tanda bahwa mereka orang yang saleh dan dekat dengan agama.
Penyambutan seperti ini memang sama sekali tak menyalahi aturan. Undang-undang membolehkan mantan napi koruptoruntuk maju dalam kontestasi politik. Upaya KPU tahun 2018 untuk melarang mantan koruptor ikut pemilihan umum legislatif telah digugurkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi kemudian mengatur bahwa mantan koruptor tidak boleh mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun setelah keluar penjara. Setelah lima tahun, mereka akan bebas untuk nyaleg.
Memang ada benarnya pembelaan yang mengatakan bahwa para koruptor itu telah menjalani hukuman yang dijatuhkan pengadilan. Artinya, ketika mereka telah bebas, sudah sewajarnya pulih juga hak-hak politik mereka. Setiap manusia berhak atas kesempatan kedua, termasuk para koruptor ini.
Masalahnya, kesempatan kedua yang diberikan pada mantan napi koruptor lebih banyak didasari pada sikap permisif dan pemakluman atas tindakan korupsi dibanding atas dasar moral kemanusiaan. Korupsi tak pernah menjadi sebuah dosa besar dalam masyarakat kita. Kita terbiasa untuk memaklumi pejabat yang punya harta berlimpah meski kita tahu itu tak sepadan dengan penghasilan resminya. Kita pun sudah akrab dengan istilah lahan basah dan lahan kering, yang alih-alih mengoreksi apa yang salah, kita akan berlomba-lomba untuk bisa ikut menikmati lahan basah itu.
Bagi kebanyakan kita, koruptor jauh lebih mulia dibanding perempuan pemandu lagu yang mesti terus bekerja untuk mendapat penghasilan di bulan Ramadan. Di masyarakat kita hari ini, seseorang yang korupsi ratusan miliar jauh lebih bisa dimaafkan dibanding seorang maling ayam dan ibu-ibu pengutil celana dalam. (*)
Terbit di Jawa Pos: Menyambut Koruptor