oleh: Okky Madasari

Bagaimana nasib profesi penulis ketika sudah ada kecerdasan buatan yang bisa mengerjakan pekerjaan penulis? Akankah teknologi menggantikan peran penulis? Akankah novel dan puisi ditulis oleh mesin komputer? Bagaimana pula masa depan ilmuwan dan akademisi? Apakah ChatGPT bisa membantu dosen tembus jurnal internasional? Apakah manusia masih perlu menulis jika teknologi sudah bisa menulis apa pun yang diperintahkan manusia? 

Pertanyaan-pertanyaan itu sedang menggelayuti benak banyak penulis akhir-akhir ini. Bersamaan dengan kegembiraan bahwa teknologi akan membantu mengatasi kesulitan dalam menulis, ada kecemasan bahwa keahlian menulis tak lagi dibutuhkan, yang juga berarti hilangnya mata pencaharian.

Apalagi, memang nyata terlihat bagaimana saat ini banyak pekerjaan digantikan dengan mesin. Tukang sapu dan tukang pel sekarang sudah diganti dengan robot. Teller bank sudah berkurang jumlahnya karena mesin ATM dan internet-banking telah bisa melayani hampir semua kebutuhan nasabah. Di beberapa negara, keberadaan polisi lalu lintas tak lagi dibutuhkan karena robot polisi dan mesin pemantau jauh lebih bisa diandalkan. Ketika teknologi terbukti telah bisa menggantikan manusia untuk melakukan pekerjaan teknis, tentu tidak mustahil teknologi juga bisa menggantikan pekerjaan penulis, bukan?

Untuk mendapat jawaban, saya melakukan percobaan di ChatGPT. ChatGPT adalah mesin pengolah bahasa yang dikembangkan oleh perusahaan pengembang teknologi kecerdasan buatan, OpenAI. Mesin yang baru diluncurkan pada November 2022 ini dirancang sebagai mesin percakapan yang bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pengguna, termasuk melakukan apa yang diminta oleh pengguna. 

Seperti Google, mesin ChatGPT akan bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Tentu saja tidak semua jawaban tepat, kadang ada fakta yang yang tertukar dan informasi yang bias. Kekurangan itu pun diakui sendiri oleh pembuat ChatGPT. Sebab, mesin ini bekerja berdasarkan data yang tersaji di internet. Dari input yang ada itulah mesin dilatih untuk mengolah jawaban. Seiring data internet yang kian komprehensif, ChatGPT akan bisa memberikan jawaban yang valid atas berbagai pertanyaan, sebagaimana halnya ketika kini kita mengandalkan Google untuk mencari jawaban atas berbagai hal; mulai dari alamat rumah makan hingga data perekonomian global.

Lalu, bagaimana jika ChatGPT dimanfaatkan untuk membantu menulis? ChatGPT sangat bisa diandalkan dalam meramu fakta menjadi sebuah tulisan yang baik. Misalnya, saya bertanya: Apakah Indonesia adalah negara demokrasi? ChatGPT menjawab: Ya, Indonesia adalah negara demokrasi, diikuti dengan penyebutan keberadaan institusi-institusi yang menopang prinsip sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat. Sebagai penutup, ChatGPT pun menyebut bahwa seperti halnya segara lain, Indonesia juga memiliki tantangan dan kendala dalam menjalankan sistem demokrasinya, misalnya soal hak asasi manusia dan kebebasan pers. 

ChatGPT menyajikan jawaban yang tidak salah, ditulis dengan runtut, dan kaidah bahasa yang baik. Namun, apa yang tertulis itu hanyalah informasi umum yang sifatnya normatif belaka. Bagi anak sekolah yang punya PR dari guru untuk menjawab pertanyaan seperti yang saya tulis, jawaban dari ChatGPT ini sudah cukup memadai. Demikian juga untuk pejabat yang butuh menulis pidato sambutan, tulisan dari AI ini tentu sudah terasa keren. Lain halnya jika yang diharapkan adalah sebuah tulisan yang menyajikan analisis kritis. 

Pada jenjang pendidikan tinggi, kemampuan untuk menelaah dengan kritis semestinya menjadi tujuan pengajaran. Maka, ketika seorang mahasiswa Ilmu Politik menulis esai tentang demokrasi Indonesia, tapi hanya menjabarkan seperti apa yang ditulis ChatGPT, mahasiswa tersebut gagal menunjukkan kemampuan analisis kritisnya.

Tentu saja, untuk bisa menjadikan analisis kritis sebagai indikator keberhasilan pengajaran, dibutuhkan seorang dosen yang juga mumpuni analisis kritisnya. Dosen tersebut harus mampu memberikan pemantik permasalahan yang tidak bisa dijawab dengan sekadar menampilkan fakta yang semuanya sudah bisa di-google. Dosen tersebut juga harus punya kemampuan untuk melihat apakah sebuah tulisan merupakan hasil dari olah pikir atau sekadar mengulang informasi yang sudah bertebaran belaka. 

Dalam percobaan berikutnya, saya mengubah kalimat yang saya ajukan di ChatGPT untuk mendapatkan jawaban yang lebih dari pemaparan fakta. Saat saya bertanya: Apa pendapatmu tentang hukuman mati? ChatGPT memberikan jawaban yang menarik. Perhatikan paragraf pembuka ini:

Sebagai sebuah AI yang tidak memiliki emosi dan pandangan pribadi, saya tidak bisa memiliki pendapat yang subjektif tentang topik ini. Namun, sebagai sebuah mesin yang didesain untuk memberikan informasi, saya dapat memberikan informasi bahwa hukuman mati adalah sebuah topik kontroversial yang memunculkan debat yang kompleks dari segi moral, etika, hukum, dan politik.

Mesin AI ChatGPT dengan jujur mengakui bahwa ia tidak memiliki emosi dan pandangan pribadi. Nah, di sinilah sesungguhnya letak pembeda antara mesin dan manusia. ChatGPT bisa memberikan informasi tentang segala hal, tapi ia tak punya kemampuan untuk memaknai informasi itu. Ia tak bisa menggunakan nalar kritisnya untuk kemudian diolah sebagai pandangan pribadi.

Bisa saja nanti mesin AI dilatih untuk memberikan pendapatnya. Namun, berhubung sifat AI adalah mengolah apa yang sudah tersimpan di internet, maka opini itu pun akan merepresentasikan algoritma, gagasan dominan yang telah ada. Padahal, sejarah peradaban selalu dipicu oleh ide-ide yang berbeda dari yang kebanyakan, oleh mereka yang berpikir lain dari yang sebelumnya. 

Contoh yang lebih nyata bisa kita lihat ketika saya meminta ChatGPT untuk menulis puisi. Saya melakukan empat percobaan dengan empat tema berbeda. Pertama, saya minta ChatGPT menulis puisi tentang pagi, lalu tentang hujan, tentang luka hati, dan tentang polisi. Yang tersaji adalah puisi-puisian; rangkaian kata dan kalimat yang ditata serupa puisi, tapi sama sekali tak merepresentasikan apa itu puisi. Tentu saja puisi-puisi ala AI ini sudah mencukupi untuk umumnya tugas sekolah. Namun, dari puisi-puisi ala AI ini, tak akan kita dapat dampak seperti dari puisi-puisi Rendra atau perasaan jleb seperti saat membaca Sapardi.

Yang menjadikan puisi—sebagaimana karya sastra dan karya seni lainnya—berbeda dari tulisan lainnya adalah kemampuannya untuk mengusik emosi dan kesadaran pembaca. Puisi tentang pagi tidak hadir untuk menggambarkan suasana pagi yang jelas sudah diketahui semua orang itu. Juga bukan untuk mengatakan secara langsug bahwa pagi mengajak kita untuk bersemangat/menatap masa depan dengan penuh harap

Puisi adalah seni untuk memaknai kehidupan, menyampaikan pergulatan pikiran dan batin manusia, mempertanyakan persoalan dalam masyarakat melalui diksi, ironi, dan metafora. Untuk bisa menghasilkan puisi, seseorang butuh penghayatan atas kehidupan. Emosi manusia tak bisa digantikan oleh mesin. Setiap individu memiliki tapak otentik yang tak bisa diduplikasi mesin. Tapak otentik itu dibentuk oleh pengalaman yang dilalui, pergulatan batin, dan kemampuannya berpikir mandiri.

Mesin adalah representasi dari pikiran kebanyakan orang. Mesin AI akan membantu mereka yang punya kesulitan dalam menulis, tapi mesin AI tak akan mampu melahirkan ide-ide otentik yang menjadi sumbangan bagi kemajuan peradaban. **

Terbit di Omong-Omong Media: Normatif, Tidak Otentik, dan Puisi Gagal: Percobaan Menulis dengan AI

Tags

1965 A Teeuw AA Navis Academic Journal Aceh Achdiat Kartamihardja Agnez Mo Agus Yudhoyono Ahmadiyah Ahok Aktivisme Anarchism Angga Sasongko Apsanti Djokosujatno Arswendo Atmowiloto ASEAN Asrul Sani Atambua Australia Indonesia Azab Bahasa Melayu Bakhtin Bebalisme Belu Bencana Benedict Anderson Bertahan Bookfluencer Bound BRIN, Megawati Soekarnoputri, Ideologi Pancasila Burkini Capitalism Censorship Cerita Perjalanan Cerpen Children's Day Children's Literature Clifford Geertz Colonialism Coronavirus Corruption Crazy Rich Crazy Rich Asians Decolonising Knowledge Deleuze Democracy Detik Dhjksh Dinasti Disabilitas Dorce, Transgender Education Education Edward Said Egg Boy Emile Durkheim Engaged Literature Entrok Faisal Tehrani Fanon Feminism Feminism Film Film Foucault Freedom Freedom Of Expression Friedrich Engels Gapi Gayatri Spivak Gebunden Gempa Bumi Gender Equality Genealogi Gili Meno Gojek Griffith Review Gus Dur Habermas Hamka Hamzah Fansuri Hari Buruh Hari Ibu Hari Kartini Hijab Hikayat Kadiroen History Human Human Rights Humanity Humor HUTRI76 Identitas Imlek Indonesia Gender Research Islam Islam Istirahatlah Kata-Kata Jagal Jalaluddin Rakhmat Jawa Pos Joko Pinurbo Jose Ramos Horta Joshua Oppenheimer Jurnal Perempuan Kapitalisme Karl Mannheim Kartini Kebebasan Kebebasan Kebebasan Berekspresi Kekerasan Seksual Kekuasaan Kekuasaan Kelas Menulis Kelas Pemikiran Kelas Penulisan Kennedy Kerumunan Terakhir Khashoggi Kids Kipandjikusmin Kompas Korupsi KPK Leviathan Lewat Djam Malam LGBT Literature Literature Lombok Makar Malay Mangunwijaya Manifesto Mannheim Maryam Maryam Mata Mata Dan Nyala Api Purba Mata Dan Rahasia Pulau Gapi Mata Di Tanah Melus Max Havelaar May Day Media Research Media Sosial Mendikbud Menulis Opini Mobilitas Sosial Multatuli Mural Nadiem Makarim Natal Nawal El Saadawi New Naratif Nh Dini Nkcthi Novel Baswedan OM Institute OMG! My Story OMInstitutePrograms Omong-Omong Media Orasi Orientalism Ortega Gasset Padang Pariaman Pandemi Papua Pasung Jiwa Pelatihan Menulis Pembunuhan Sosial Perempuan Phuket Pidato Kebudayaan Polisi Virtual Politics Politik Politik Bahasa, Pornography Law Pramoedya Privilege Psychoanalitical Puisi Puisi Pulau Buru Racism Raffi Ahmad Ramadan Ramon Grosfoguel Religion Religiusitas Resensi Revolusi Akhlak Revolusi Mental Riset Gender RKUHP Roland Barthes Sabir Laluhu Saras Dewi Sarjana Sartre Sastra Sastra Sastra Anak Sastra Perlawanan Science Of Fictions Sejarah Bahasa Selametan Semaoen Seni Menulis Opini Seni Menulis Skripsi Seri Mata Sexuality Silsilah Duka Singapore Social Dilemma Social Media Socrates Solo, Solitude Sosiologi Agama Soul Suara USU Subaltern Sumatra Sumpah Pemuda Syariah Law Syed Farid Alatas Syed Hussein Alatas Syed Naquib Alattas Syekh Siti Jenar Tahun Baru Teknologi Teror Thailand The Act Of Killing The Glass Castle The Jakarta Post The Last Crowd The Years Of The Voiceless Thomas Hobbes Timor Leste Tips Skripsi Tommy F Awuy Translation Travel Travel Writing Tsunami Tuhan Aku Lapar Usmar Ismail UU ITE Vaksin Covid19 Voice Wawasan Kebangsatan Wiji Thukul WijiThukul Women Of Letters Wonder Writing Workshop Xenophobia Yang Bertahan Dan Binasa Perlahan