Oleh: Okky Madasari
Awalnya, kedatangan kami ke Phuket memang hanya untuk Maya Bay. Impian tentang surga dunia yang dinikmati Leonardo DiCaprio dalam film The Beach. Satu tempat rahasia di Laut Andaman yang tersembunyi di balik karang raksasa. Tempat di mana waktu dan keindahan menjadi milik kami seutuhnya.
Empat hari berada di Phuket menyadarkan kami bahwa pulau ini tak hanya menawarkan Maya Bay, berenang di lautan, atau tiduran di kursi malas di pinggir pantai sambil menunggu matahari terbenam. Menikmati Phuket berarti menyaksikan geliat kehidupan setelah lima ribu nyawa terenggut akibat tsunami pada 26 Desember 2004 .
Kami berada di Phuket minggu pertama Maret 2008, tiga tahun berlalu sejak bencana yang juga memakan ratusan ribu korban jiwa di Aceh. Sudah tak tampak lagi tanda terjadi bencana besar. Wisatawan berkulit putih berkeliaran di sepanjang pantai wisata Patong, Karan, dan Kata. Hampir semua jenis penginapan, mulai yang berbintang hingga kelas backpacker (hostel), habis disewa. Kami yang tak sempat memesan kamar jauh-jauh hari melalui internet harus sedikit bekerja keras keluar-masuk hotel untuk mendapatkan kamar.
Akhirnya, kami mendapat penginapan di satu gang di tepi Pantai Patong. Namanya cukup unik, B&B. Sempat kami mencoba menerjemahkan sendiri makna B&B. Mungkin Beach and Bitch. Tentu hanya sekadar gurauan. Tetapi, bukankah Phuket kerap identik dengan pantai indah dan wisata seks?
Tarif B&B cukup murah, 700 baht satu malam. Meski murah, sebagaimana semua hotel di Phuket, hotel ini juga menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan turis. Mulai dari internet di lobi dengan tarif 10 baht tiap jam, sewa sepeda motor 200 baht untuk 24 jam, hingga layanan tur ke berbagai tempat di sekitar Phuket. Dengan layanan inilah kami ke Maya Bay. Tarifnya 700 baht tiap orang, meliputi perjalanan menggunakan perahu motor besar, makan siang di Pulau Phi-Phi, serta snorkeling dan kano di Maya Bay.
B&B hotel sudah berdiri sejak awal tahun 1990. Pemiliknya, perempuan berusia 45 tahun, Kobsook Aeowpreeda, lahir dan besar di pulau ini. Aeowpreeda menjadi saksi dinamika Phuket sebagai kota wisata, termasuk ketika tsunami menerjang. ”Hotel ini bangunan baru. Hotel yang dulu 200 meter dari sini hancur saat tsunami,” kata Aeowpreeda.
Saat itu gelombang pasang air laut menyapu bersih lantai satu hotelnya. Dia dan keluarga berhasil selamat karena menyelamatkan diri ke lantai dua hotel. Tidak sulit mencari lokasi B&B lama. Meski bangunan tak lagi digunakan, papan nama hotel masih terpasang di bagian depan. Hotel B&B lama terletak lebih dekat dengan bibir pantai Patong, sekitar 100 meter. Tak sampai 50 meter dari B&B lama ke arah bibir pantai, terdapat pasar tradisional tempat penjualan beraneka kerajinan khas Phuket. Tepat di depan pasar, turis-turis bersantai di hamparan pasir menghadap langsung ke Laut Andaman.
Sekilas kami dapat membayangkan detik-detik tsunami tiga tahun lalu. Gelombang pasang air laut dengan kecepatan 900 kilometer per jam menerjang ke arah kerumunan wisatawan yang tengah bersuka ria, menghancurkan bangunan yang berimpitan di sepanjang Patong, bahkan hingga jarak 5 kilometer dari bibir pantai. Saat menyempatkan berenang di pantai, kami juga langsung membayangkan bagaimana tiba-tiba tubuh kami diempas gelombang besar lalu terseret ke lautan lepas.
Dua tanda
Ada dua tanda sisa tsunami yang dapat kami temukan. Pertama, papan petunjuk menyerupai rambu lalu lintas di ruas jalan utama Patong. Papan itu bertuliskan zona tsunami, memberi petunjuk ke mana orang harus menyelamatkan diri jika terjadi tanda-tanda tsunami.
Sejak tsunami 2004, Pemerintah Thailand, khususnya di Phuket, cukup aktif melakukan sosialisasi penyelamatan diri. Salah satunya dalam bentuk pembangunan 50 menara peringatan dini tsunami. Beberapa di antaranya berdiri di sepanjang Patong, setinggi 20 meter yang mirip menara air menghadap ke laut. Jika terjadi tanda tsunami, peringatan bahaya akan disiarkan dalam berbagai bahasa, antara lain Thailand, Jepang, Perancis, Jerman, Inggris, dan China.
Kenang-kenangan tsunami lainnya adalah tonggak papan yang terpancang di bibir pantai Pha Lai. Papan ini sangat sederhana, tipis dan kecil, dengan tulisan ”Tsunami Hazard Zone, 2 m (26 Dec 04)”. Mungkin sekadar pengingat di pantai yang menjadi pusat nelayan ini pernah terjadi gelombang besar setinggi 2 meter.
Hanya cerita Aeowpreeda yang lagi-lagi mengingatkan kami pulau ini telah menjadi kuburan massal 5.000 nyawa. Seminggu setelah tsunami, kata Aeowpreeda, suasana pantai sangat sepi. Di sepanjang pantai terlihat bekas kerusakan akibat terjangan air laut. Evakuasi mayat dilakukan di sepanjang Patong. Hingga sebulan setelah tsunami, Phuket masih berduka. Phuket masih dipenuhi potongan kertas, selebaran, fotokopi bergambar wajah seseorang dengan tulisan berisi hilangnya korban Tsunami.
Aeowpreeda sendiri baru mulai membangun gedung baru B&B pada bulan ketiga. Butuh waktu hampir setahun untuk B&B baru menarik perhatian wisatawan. Bukan karena gedung baru kurang menarik dari yang sebelumnya, tetapi karena sisa trauma wisatawan berkunjung ke Phuket. Kini, pada musim liburan, semua kamar hotel selalu habis dipesan melalui internet.
Mike, wisatawan asal Swedia, mengaku sudah dua kali berkunjung ke Phuket dalam dua tahun terakhir. Tidak takut pada bahaya tsunami? ”Tidak. Saya lebih takut ke Bali karena ada bom,” jawab dia setelah tahu kami dari Indonesia.
Musik Tiger Show terdengar di mana-mana. Tarian perempuan ditampilkan di tiap kelab tidak bersekat sehingga bisa dinikmati orang yang sedang berjalan-jalan. Aroma sop tom-yam bersaing dengan berbagai masakan internasional, mulai spageti Italia hingga kebab asli Turki. Lebih dari itu, sebagaimana yang dirasakan Mike, Phuket tak hanya menawarkan keindahan dan kegembiraan, tetapi juga menjanjikan keamanan.
Dimuat di Harian Kompas Sisa Gelombang Besar Itu Nyaris Tiada