oleh Okky Madasari
Uang kuliah mahal? Tenang, kan ada makan siang gratis…
Pelaporan seorang mahasiswa Universitas Riau ke polisi oleh rektornya sendiri karena mengeluhkan uang kuliah mahal merupakan puncak ironi wajah pendidikan tinggi negeri ini. Walaupun setelah kabar itu ramai di media sosial, Rektor Unri mencabut laporannya, tetap tidak mengubah fakta bahwa seorang rektor melaporkan mahasiswa yang mengkritik kebijakan kampus serta fakta bahwa biaya kuliah kian hari kian memberatkan.
Rektor Unri hanya salah satu contoh saja dari para rektor perguruan tinggi yang ingin membungkam kritik. Upaya pembungkaman juga dilakukan rektor-rektor di banyak perguruan tinggi dalam berbagai bentuk. Mulai dari membatalkan diskusi, mengancam dosen kritis, membekukan organisasi dan komunitas, hingga mengintimidasi aktivis mahasiswa. Para rektor ini tidak segan-segan melanggar Pasal 28 UUD 45 tentang hak warga negara untuk bebas berpendapat dan berekspresi.
Sikap anti kritik yang jelas-jelas berlawanan dengan semangat akademik dan intelektualisme ini justru terlembagakan di kampus-kampus. Pikiran kritis dibonsai dan suara kritis diredam oleh para pejabat kampus dan guru besar yang berlagak seperti politisi bebal sarat kepentingan dibanding sebagai intelektual.
Di sisi lain, uang kuliah yang sekarang dikenal sebagai UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang kian hari kian mahal, kian membabat nalar. Ketika mahasiswa terbebani bahkan dihantui oleh bayaran kuliah yang mahal, pelan-pelan mereka akan kehilangan keberanian dikikis oleh ketakutan akan dipecat dari kampus karena tidak mampu membayar uang kuliah. Mereka kehilangan keberanian untuk mengkritik, keberanian untuk mempertanyakan sesuatu, dan hanya mencari selamat sapaya tidak dikeluarkan dari kampus.
Dengan demikian, mahasiswa-mahasiswa ini juga kehilangan independensi. Biaya kuliah menjadi sebuah alat kontrol dari otoritas. Baik itu otoritas kampus, negara, maupun kelompok-kelompok lain. Ketika mahasiswa terdesak tak bisa membayar kuliah dan terancam dikeluarkan, akan ada kemungkinan bantuan-bantuan bersyarat datang dari pihak-pihak tertentu.
Keadaan ini mendorong mahasiswa menjadi pragmatis dan kehilangan idealisme. Biaya kuliah yang tinggi memaksa siapapun untuk tak berlama-lama di kampus. Buruan lulus, buruan kerja. Jangan demo. Nggak usahlah ikut-ikutan organisasi macam-macam.
Kondisi ini juga akan menyebabkan putusnya tradisi intelektualisme serta menyuburkan kemalasan berpikir. Intelektualisme tak ada hubungannya dengan gelar kesarjanaan. Kita bisa saja surplus sarjana, tapi miskin intelektual. Tradisi intelektualisme adalah bagaimana kita menggunakan pikiran dan pengetahuan kita dalam membangun masyarakat.
Tingginya UKT serta alasan bahwa pendidikan tinggi adalah hal tersier serta tidak diwajibkan UU sangat tidak masuk akal melihat bahwa anggaran pendidikan per tahun adalah 20 persen dari total APBN. Di 2024 saja, anggaran pendidikan mencapai Rp 665 triliun. Jika terdapat 1 juta mahasiswa dan perlu disubsidi misalnya 50 juta per orang, maka hanya diperlukan 50 triliun atau kurang dari 8 persen saja dari total dana APBN pendidikan. Ke mana uang yang sedemikian besar ini?
Makan Siang Gratis
Ironisnya, ketika banyak anak muda Indonesia mengalami kesulitan membayar uang kuliah, rencana makan siang gratis yang telah dicanangkan presiden terpilih Prabowo Subianto selama kampanyenya akan dilaksanakan meski memakan biaya yang sangat besar, yang pada tahap awal saja sudah mencapai Rp 100-120 triliun per tahun dan kemudian akan menjadi 450 triliun per tahun untuk periode-periode selanjutnya.
Apakah penyediaan makan siang gratis akan membuat rakyat menjadi lebih sejahtera? Keluar dari kemiskinan? Atau membuat mereka lebih cukup gizi? Sudah dijelaskan oleh banyak pakar kesehatan bahwa makan siang gratis tidak bisa mencegah stunting. Lagipula, penduduk miskin Indonesia tidak pernah meminta makan siang gratis karena yang mereka butuhkan adalah penghasilan yang dapat menjamin hidup mereka secara manusiawi. Mereka butuh pekerjaan tetap yang menjamin masa depan yang lebih baik.
Kebutuhan ini bisa dijawab dengan pendidikan yang baik, termasuk pendidikan tinggi, karena pendidikan yang baiklah yang bisa membuka peluang pekerjaan bagi anggota keluarga miskin ini.
Adalah kenyataan bahwa pendidikan tinggi masih menjadi barang mewah di negeri ini. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia masih berpendidikan rendah. Hanya 6,4% dari jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Sebanyak 80% dari populasi di Indonesia berpendidikan SMP. Bahkan amanat wajib belajar 12 tahun pun belum bisa sepenuhnya diwujudkan.
Data ini masih ada lanjutannya: Dari total pengangguran yang ada di Indonesia, sebanyak 76% adalah lulusan SD/SMP. Artinya, ada korelasi langsung antara tingkat pendidikan dan kesempatan untuk mendapat pekerjaan. Ketika lapangan kerja hanya terbuka untuk mereka yang menempuh pendidikan tinggi, sementara hanya kurang dari 10% jumlah penduduk yang punya kesempatan untuk kuliah, maka semakin banyak generasi produktif yang akan terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan.
Dari data tersebut jelas bahwa lulusan SD, SMP dan SMA tidak bisa menjamin pekerjaan yang layak yang menjamin penghasilan yang manusiawi. Negara harus memastikan lebih banyak lagi anak Indonesia yang kuliah tanpa diberatkan oleh UKT yang semakin mahal.
Mengapa uang makan siang gratis yang ratusan triliun tersebut tidak dialihkan saja untuk mewujudkan mewujudkan pendidikan bermutu dengan biaya kuliah murah, bahkan gratis? ***
Terbit di UKT Mahal, Makan Siang Gratis