oleh: Okky Madasari
BERADA di Singapura, di tengah wabah virus mematikan yang menyebar cepat dari Kota Wuhan ke berbagai belahan dunia, menyadarkan saya pada dua hal penting. Pertama, bagaimana mitigasi bencana penyakit menular harus dilakukan.
Kedua, bagaimana wabah virus menguji nalar dan kemanusiaan kita; apakah kita bisa tetap adil dan rasional ataukah kita akan tergelincir dalam kebencian, rasisme, dan xenophobia?
Dalam hal mitigasi, Singapura adalah salah satu negara yang sejak awal sigap melakukan pencegahan. Dua minggu sebelum pemerintah Tiongkok memutuskan mengisolasi Kota Wuhan dan perbincangan tentang virus Wuhan mendunia, pemerintah Singapura telah memberikan peringatan kepada warganya. Setiap lembaga pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, melakukan pendataan siapa saja bagian dari lembaga tersebut yang baru saja pulang dari Tiongkok. Padahal, saat itu belum ada kasus terkonfirmasi virus Wuhan di Singapura. Bahkan, belum ada pernyataan resmi dari Beijing dan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang bagaimana virus itu menyebar dan seberapa banyak kasus yang telah terjadi di Tiongkok.
Sesaat setelah Wuhan diisolasi, berbagai tindakan mitigasi makin digiatkan secara masif dan terstruktur. Mulai peringatan untuk tak melakukan perjalanan ke Tiongkok, kewajiban untuk mengisolasi diri sendiri selama 14 hari bagi siapa pun yang baru kembali dari Tiongkok, hingga persiapan fasilitas karantina. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah perintah untuk mengosongkan beberapa gedung di tiga universitas di Singapura untuk dijadikan fasilitas karantina. Di National University of Singapore, misalnya, empat gedung apartemen 13 lantai dikosongkan dalam waktu 24 jam. Penghuninya dipindahkan ke gedung lain.
Kebijakan terakhir Singapura yang cukup mengejutkan adalah melarang kedatangan semua orang dari Tiongkok atau yang tercatat baru melakukan perjalanan dari Tiongkok untuk masuk ke Singapura. Kebijakan itu dikeluarkan sesaat setelah WHO meningkatkan status wabah Wuhan sebagai darurat internasional.
Kesigapan dalam mitigasi bencana wabah bukan karena ketakutan yang berlebihan atau sekadar gaya-gayaan. Selain karena fakta merupakan kota internasional yang dihuni dan disinggahi banyak orang dari berbagai negara, Singapura memiliki trauma mendalam atas wabah SARS tahun 2003 yang menelan lebih dari 800 korban di seluruh dunia. Saat itu perekonomian langsung terpukul, pariwisata mandek, semua orang takut untuk datang ke Singapura, sebagaimana orang juga tak mau datang ke Hongkong dan Tiongkok. Karena itu, bisa dimengerti pula kenapa kini otoritas tertinggi Hongkong memutuskan untuk menutup perbatasan dengan Tiongkok.
Bicara tentang wabah bukan sekadar bicara angka kematian. Dampak kesehatan juga tak sesederhana mati atau tidak mati.
Ujian Nalar
Situasi krisis seperti wabah selalu menguji nalar dan kemanusiaan individu. Ketika sudah menjadi fakta bahwa virus itu berasal dari Tiongkok, tentu sudah menjadi naluri bertahan hidup setiap orang untuk mewaspadai bahwa setiap orang yang baru kembali dari Tiongkok memiliki kemungkinan terkena virus tersebut dan akan menularkannya kepada orang lain. Tentu sudah naluri juga jika kita memilih untuk menghindari, untuk tidak bersalaman, untuk selalu memakai masker ketika berada di keramaian atau berinteraksi dengan siapa saja. Dalam situasi ini, bisa dimengerti jika kita memiliki kecurigaan bahwa seseorang berpotensi menyebarkan virus. Bisa dipahami juga jika kita –juga masyarakat di seluruh dunia– mengkritik dan menggugat penanganan wabah yang dilakukan pemerintah Tiongkok.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana timbangan nalar dan rasa kemanusiaan kita mampu mengendalikan rasa takut dan waspada agar tidak bermuara pada generalisasi, labelisasi, stereotipe, kebencian, apalagi rasisme dan xenophobia. Ujian nalar ini bukan hanya persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia, tapi juga masyarakat di berbagai negara, termasuk Singapura.
Sebagaimana di Indonesia, ujaran-ujaran yang menunjukkan kebencian dan xenophobia pada orang Tiongkok yang baru datang dari daratan mengemuka di linimasa media sosial publik Singapura seiring datangnya wabah. Di Italia, seorang perempuan berteriak kepada seorang pemuda ras Tionghoa dan mengatakan bahwa si pemuda akan menularkan virus. Nyatanya, si pemuda lahir dan besar di Italia dan tak pernah ke Tiongkok seumur hidup. Di Jepang, toko-toko memasang tulisan yang melarang orang Tiongkok masuk.
Ketika fakta menunjukkan virus korona berasal dari Tiongkok, apakah itu serta-merta membuat kita menganggap bangsa Tiongkok dan semua yang rasnya Tionghoa adalah pembawa penyakit yang harus ditolak keberadaannya? Ketika melihat video orang Tiongkok makan kelelawar, apakah itu kita artikan bahwa semua orang Tiongkok suka makan kelelawar, tikus, dan aneka macam satwa lainnya? Ketika kita tahu ada diskriminasi pada muslim Uighur, apakah kita akan simpulkan bahwa wabah itu merupakan azab karena telah menyiksa orang muslim?
Apakah wabah akan menjadi alasan bagi kita untuk menyalakan kebencian dan sikap rasis? Itulah ujian nalar dan rasa yang dihadapkan pada kita di tengah wabah virus korona. (*)
Dimuat di Jawa Pos Wabah dan Ujian Nalar