Oleh Okky Madasari
Fufufafa tak membaca buku bagai landak menggelinding dari puncak Semeru
INDONESIA dibangun dengan intelektualisme. Kesadaran merebut kemerdekaan untuk menjadi bangsa yang berdaulat merupakan buah dari akumulasi pengetahuan, dari refleksi atas ribuan bacaan, dan kemampuan untuk menghayati penderitaan dan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.
Indonesia didirikan oleh para intelektual. Pemimpin-pemimpin yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah sosok-sosok yang terlatih untuk menuangkan gagasan, yang punya kapabilitas dalam membayangkan arah ke depan bangsa dan punya kemampuan untuk menggambar peta jalan dalam mencapai tujuan.
Sudah merupakan pengetahuan umum bahwa tokoh-tokoh pendiri bangsa, mulai Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Soepomo, hingga Sutan Sjahrir, merupakan orang-orang terpelajar yang menjadikan kegiatan membaca, menulis, diskusi gagasan sebagai bagian dari kebutuhan dasar. Bagi para pendiri bangsa ini, aktivitas dan proses intelektual menjadi landasan dalam setiap langkah memimpin dan membangun gerakan.
Pentingnya kemampuan intelektual juga sudah jauh-jauh hari digarisbawahi oleh H.O.S. Tjokroaminoto yang dikenal sebagai guru para pendiri bangsa, termasuk Sukarno. Kepada Sukarno, Tjokro berujar: ”Jika ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”
Kemampuan menulis dan berbicara jelas membutuhkan intelektualitas. Jangankan menulis, seorang pemimpin yang tak punya intelektualitas tak akan sanggup melayani pertanyaan-pertanyaan langsung dari wartawan dan akan menganggap tak penting segala bentuk adu pemikiran. Maka jangan heran jika kemudian keluar ungkapan-ungkapan ya ndak tau kok tanya saya, I want to test my minister, atau yang paling epik adalah ungkapan I don’t read what I sign dari seorang pemimpin yang intelektualitasnya tak terasah.
Jangan terkecoh dengan upaya untuk meremehkan pentingnya membaca buku lewat pernyataan ”kan tak setiap orang harus suka baca buku” atau ”ah baca buku cuma menang teori aja”. Itu sama halnya dengan mengatakan proses diskusi dan adu gagasan sebagai omon-omon belaka. Padahal, setiap hal-hal besar, setiap kebijakan publik, setiap keputusan seorang pemimpin, harus selalu diawali dengan mekanisme omong-omong yang melibatkan berbagai pihak dengan berbagai sudut pandang dan warna gagasan.
Gibran dan Fufufafa
Dalam sebuah video lama yang beredar luas baru-baru ini, wakil presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka terang-terangan mengaku tak gemar membaca buku. Ia juga menyebut bahwa di keluarganya tidak ada budaya membaca buku. Sebuah pernyataan langka di era di mana pemimpin seharusnya menjadi contoh masyarakat dalam mencintai ilmu pengetahuan.
Keengganannya terhadap buku mungkin dianggap sepele oleh segelintir orang, namun bagi bangsa yang sedang membangun literasi dan mengharapkan kebangkitan pemikiran dan inovasi, hal ini bisa menjadi preseden yang berbahaya.
Kritik terhadap Gibran ini bukannya tanpa alasan. Di dunia di mana perubahan terjadi begitu cepat dan kompleksitas masalah semakin meningkat, seorang pemimpin harus memiliki kedalaman pikiran yang sering kali hanya bisa dicapai melalui kebiasaan membaca. Buku –baik itu sejarah, filsafat, sains, maupun ekonomi– menyediakan perspektif berharga yang mungkin tidak segera tampak dalam kesibukan sehari-hari seorang pemimpin.
Lebih dari itu, ketidaktertarikan pada buku bisa dianggap mencerminkan sikap apatis terhadap pembelajaran berkesinambungan, sebuah elemen krusial dalam pengambilan keputusan berbasis pengetahuan. Sejarah mencatat, banyak pemimpin besar yang diingat karena kapasitas mereka untuk belajar dan beradaptasi yang diperoleh melalui kebiasaan membaca yang konsisten.
Dalam kehidupan yang terhubung lewat teknologi informasi, intelektualitas seseorang tecermin dari caranya berkomunikasi di media sosial. Intelektualitas yang rendah akan membuat seorang pengguna internet mudah termakan hoaks dan sekaligus mudah tergiring untuk menyebarkan hoaks. Intelektualitas yang rendah akan menghasilkan netizen yang mudah menyebarkan kebencian, kata-kata jahat, kegagalan logika dalam menyusun narasi yang ditulis. Lebih-lebih ketika seseorang dengan intelektualitas rendah itu bersembunyi di balik nama anonim, ia akan merasa bisa melakukan apa saja tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang ia tuliskan dan sebarkan. Contohnya adalah yang terjadi pada satu akun kaskus yang diduga milik Gibran, Fufufafa.
Akun Fufufafa mengejek dan menghina banyak tokoh terkenal Indonesia, termasuk presiden terpilih Prabowo Subianto. Celetukan dan perkataan-perkataan Gibran melalui akun Fufufafa tersebut merefleksikan seorang yang rendah moral dan rendah intelektualitas paralel dengan pengakuannya yang tidak suka membaca. Karakter seperti ini sama sekali jauh dari seorang bijaksana dan sama sekali tidak mencerminkan seorang yang dapat menjadi pemimpin, apalagi pemimpin bagi bangsa yang besar dengan ratusan juta rakyat dengan tradisi wakil presiden seperti Hatta, Adam Malik, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pemimpin Ideal, Pemimpin Filsuf
Pentingnya intelektualitas, pengetahuan, serta moral dan kebijaksanaan bagi seorang pemimpin tecermin dari sosok pemimpin ideal yang disebut oleh Plato sebagai ”philosopher-king” atau filsuf-raja dalam karyanya The Republic. Bagi Plato, seorang pemimpin adalah gabungan antara raja yang punya kekuasaan politik dan seorang filsuf, seorang yang mempunyai kebijaksanaan dan pengetahuan yang dalam.
Filsuf-raja dilihat sebagai pemimpin yang ideal karena mereka memiliki pengetahuan yang mendalam tentang filosofi dan etika. Mereka dianggap mampu membuat keputusan yang lebih baik karena mereka bisa melihat ke depan dan memahami implikasi dari kebijakan yang mereka buat.
Filsuf-raja adalah individu yang mampu memahami kebenaran yang lebih tinggi dan memerintah dengan adil dan bijaksana karena mereka berfokus pada kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan daripada kepentingan pribadi.
Sebagai individu yang berusaha mencapai kebenaran dan keadilan, filsuf-raja menempatkan kepentingan masyarakat di atas ambisi pribadi. Ini membedakan mereka dari pemimpin yang mungkin lebih fokus pada keuntungan politik atau ekonomi mereka sendiri.
Dengan pengetahuan yang komprehensif dan kemampuan untuk menganalisis situasi yang kompleks, seorang filsuf-raja dapat mengelola masalah dengan pendekatan yang bijaksana, terutama dalam situasi krisis.
Seorang filsuf-raja harus memiliki integritas moral. Filosofi moral yang kuat memberikan landasan bagi pemimpin untuk bertindak dengan integritas dan tidak melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan mewariskan kekuasaan kepada anak cucunya.
Ini adalah gambaran ideal seorang pemimpin. Dalam kenyataannya, pemimpin semacam ini hanya ada dalam kitab suci, dongeng-dongeng, atau cerita pewayangan. Mendapatkan pemimpin seperti ini hampir mustahil. Tetapi, paling tidak kita harus mencari seseorang dengan ciri-ciri yang mendekati karakter ideal ini. Tentu itu tidak akan kita dapatkan dalam diri Gibran.
Bagaimana dengan Prabowo? Berkebalikan dengan Gibran, Prabowo jelas gemar membaca dan seorang pembelajar serta dididik dalam tradisi intelektual dan membaca yang sangat kuat. Ia adalah putra dari salah satu intelektual terbesar bangsa ini, Sumitro Djojohadikusumo. Jika H.O.S. Tjokroaminoto adalah guru bagi banyak pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia di paro pertama abad 20, Sumitro adalah guru besar bagi banyak teknokrat Indonesia di paro kedua abad 20, termasuk secara tidak langsung, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan ekonom Chatib Basri.
Dengan demikian, Prabowo mempunyai modal intelektualitas untuk menjadi pemimpin yang baik. Pertanyaannya adalah, apakah ia berkeinginan meninggalkan nama harum dan legasi yang dikenang oleh generasi mendatang? (*)
Terbit di Jawa Pos Wapresku Tak Baca Buku